Theme images by Igniel

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

Jumlah Pengunjung

Archive

Universitas Megarezky

Universitas Megarezky
FKIP Universitas Megarezky

Prodi Pendidikan Jasmani Ada Di Univ. Megarezky

Prodi Pendidikan Jasmani Ada Di Univ. Megarezky
Yukkss Daftarkan Segara Diri Anda untuk menjadi Bagian dari Kami

Ayo Kuliah Di Univ. Megarezky

Ayo Kuliah Di Univ. Megarezky
Pendaftaran Calon Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2020/2021

Translate

Follow Us

Halaman Facebook

Universitas Megarezky

Comment

Bacaan Favorit

Adakah hubungan Latihan Dan Kortisol ?

Post a Comment

LATIHAN DAN GLUKOKORTIKOID (KORTISOL)
BY ; Aminuddin, S.Or.,M.Kes


A.    Pendahuluhan
Jika tubuh bertemu dengan stressor, tubuh akan mengaktifkan respon saraf dan hormon untuk melaksanakan tindakan-tindakan pertahanan untuk mengatasi keadaan darurat (Sherwood, 2001). Faktor-faktor yang menyebabkan stres berasal dari rangsangan fisik, psikologis, atau dapat keduanya. Stres fisik disebabkan oleh paparan  stressor yang berbahaya bagi jaringan tubuh misalnya terpapar pada keadaan dingin atau panas, penurunan konsentrasi oksigen,infeksi, luka, latihan fisik yang berat dan lama. Sedangkan pada stres psikologis misalnya pada perubahan kehidupan, hubungan sosial, perasaan marah, takut, depresi
( Hole, 1981).
Latihan merupakan suatu stres yang terbukti mengakibatkan inflamasi pada tubuh sehingga terjadi perubahan sel sel kekebalan tubuh akibat infeksi dan kerusakan otot. Konsentrasi kortisol meningkat saat latihan dilakukan dalam durasi yang panjang akibat dari akumulasi stres yang meningkat. Hal tersebut berkaitan dengan fungsi dari kortisol sebagai anti inflamasi dan anti imunosupresif. Latihan yang lama akan mengurangi cadangan  glikogen otot, dan hal tersebut  akan merangsang peningkatan sekresi kortisol, karena kortisol berperan dalam memelihara kadar glukosa darah (Cordova et al., 2009).
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis ingin membahas mengenai pengaruh latihan terhadap kadar hormon kortisol dalam tubuh.



B.       Hormon Glukortikoid  (Kortisol)
Glukokortikoid merupakan salah satu hormon yang disekresikan oleh kelenjar medula adrenal. Sedikitnya 95 % aktivitas glukokortikoid dari sekresi adrenokortikal merupakan hasil dari sekresi kortisol, yang dikenal juga sebagai hidrokarbon. Namun sebagian kecil dari aktivitas glukokortikoid yang cukup bermakna disediakan oleh hormon kortikosteron (Guyton, 2006).  Kortisol merupakan glukokortikoid utama yang berperan dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Sherwood, 2001).   
Kortisol seperti hormon steroid lainnya membawa pengaruhnya dengan pertama kali berinteraksi dengan reseptor intrasel pada sel target, oleh karena kortisol adalah hormon yang larut lemak, maka dari itu kortisol mudah  berdifusi melalui membran sel. Setelah  berada di dalam sel, kortisol berikatan dengan reseptor protein didalam sitoplasma, kemudian kompleks hormon reseptor berinteraksi dengan urutan DNA pengatur spesifik yang disebut elemen respons glukokortikoid untuk membnagkitkan transkipsi gen (Guyton, 2006).















Gambar 2.1 Struktur dari kelenjar adrenal
(Guyton, 2006).
             Perubahan emosi atau stress karena rangsangan olahraga akan merangsang hipotalamus untuk mensekresikan  corticotropin- releasing hormone (CRH) yang menyebabkan  kelenjar hipofisis  mensekresikan acdrenocorticotropin releasing hormone (ACTH). ACTH akan merangsang medula adrenal untuk mensekresikan glukorkortikoid (McArdle, 2007).





















Gambar 2.2 Sekresi kortisol
(Sumber : Shilvertone, 2001)

          Hampir setiap jenis stres fisik maupun stres mental dalam waktu beberapa menit saja dapat meningkatkan ACTH dan akibatnya sekresi kortisol juga sangat meningkat, bahkan hingga sampai 20 kali lipat. Stres mental dapat menyebabkan peningkatan secara cepat sekresi ACTH., keadaan ini dianggap sebagai akibat dari naiknya aktivitas dalam sistem limbik, yang kemudian menjalarkan sinyalnya ke bagian posterior medial hipotalamus. Kortisol memiliki efek umpan balik negatif langsung terhadap hipotalamus untuk menurunkan pembentukan CRH dan kelenjar hipofisis anterior untuk menurunkan pembentukan ACTH. Kedua umpan balik tersebut membantu menjaga kadar kortisol dalam plasma (Guyton, 2006).
Kecepatan sekresi CRH, ACTH, dan kortisol semuanya tinggi pada awal pagi hari, tetapi rendah pada akhir sore hari. Kadar kortisol plasma paling  tinggi kira-kira 20 ug/dl satu jam sebelum matahari terbit di pagi hari dan paling rendah kira-kira 5 ug/dl sekitar tengah malam. Efek ini dihasilkan dari perubahan siklus sinyal dari hipotalamus selama 24 jam, yang menimbulkan sekresi kortisol. Bila seseorang mengubah kebiasaan tidur sehari-hari, maka akan menimbulkan perubahan siklus juga. Oleh karena itu, pengukuran kadar kortisol dalam darah  hanya akan berarti apabila dinyatakan dalam ukuran waktu dari siklus sewaktu pengukuran dilakukan (Guyton, 2006). 

C.    Peran Hormon Kortisol
Hormon glukorkortikoid memiliki beberapa efek terhadap sistem metabolisme tubuh maupun efek fisiologis lainnya.

1.      Efek metabolisme
a)      Metabolisme karbohidrat
Hormon glukokortikoid merangsang glukoneogenesis yang mengacu pada perubahan sumber-sumber non karbohidrat seperti asam amino menjadi karbohidrat di hati. Terjadi di saat diantara waktu makan dan sewaktu puasa, saat tidak ada nutrien baru yang diserap dalam darah untuk digunakan dan disimpan, glikogen di hati akan terurai habis menjadi glukosa untuk dibebaskan dalam darah ( Sherwood, 2001).  
Kortisol juga menyebabkan penurunan pemakaian glukosa oleh kebanyakan sel tubuh. Walaupun penyebab penurunan ini masih belum diketahui dengan jelas. Dugaan mekanisme ini didasarkan pada pengamatan yang menunjukkan bahwa glukokortikoid menekan oksidasi nikotinamid adenin dinukleotida (NADH) untuk membentuk NAD+, karena NADH harus dioksidasi agar menimbulkan glikolisis, efek ini dapat berperan dalam mengurangi pemakaian glukosa oleh sel (Guyton, 2006). Peningkatan kecepatan glukoneogenesis dan berkurangnya kecepatan pemakaian glukosa darah oleh sel-sel dapat meningkatkan konsentrasi glukosa darah. Peningkatan glukosa darah yang kadang cukup besar merupakan suatu keadaan yang disebut diabetes adrenal. Pada keadaan diabetes adrenal, pemberian insulin sedikit menurunkan tingginya konsentrasi glukosa darah.
b)      Metabolisme lemak
Hormon glukokortikoid juga meningkatkan lipolisis atau penguraian cadangan lemak di jaringan adiposa, sehingga terjadi pembebasan asam-asam lemak dalam darah. Asam-asam lemak yang  dimobilisasi ini dapat digunakan sebagai bahan bakar metabolik alternatif bagi jaringan yang dapat memanfaatkan sumber energi ini sebagai penganti glukosa, sehingga glukosa dapat dihemat untuk otak (Sherwood,2001).
c)      Metabolisme protein
Hormon glukokortikoid merangsang penguraian protein dibanyak jaringan, terutama otot. Dengan menguraikan protein otot menjadi asam-asam amino konstituennya kortisol akan meningkatkan kadar asam amino darah. Asam-asam amino yang dimobilisasai ini telah siap digunakan untuk glukoneogenesis atau dipakai ditempat lain yang memerlukannya, misalnya untuk memperbaiki jaringan yang rusak atau sintesis struktur sel yang baru (Sherwood, 2001).
2.       Efek permisif
Glukokortikoid harus tersedia dalam jumlah kecil agar sejumlah reaksi metabolik dapat berlangsung, walaupun glukokortikoid sendiri tidak menimbulkan reaksi tersebut, efek ini yang disebut dengan efek permisif. Efek permisif mencakup kebutuhan tersedianya glukokortikoid agar glukagon dan katekolamin dapat menimbulkan efek kalorigeniknya, yakni agar katekolamin dapat menunjukkan efek lipolitiknya, dan agar katekolamin menunjukkan respon  peningkatan tekanan darah dan bronkodilatasi (Ganong, 1999).
3.      Efek dalam mengatasi stres
Kortisol berperan dalam adaptasi terhadap stres. Stres mengacu pada respons umum nonspesifik tubuh terhadap faktor yang mengalahkan atau yang akan mengalahkan kompensantorik tubuh dalam mempertahankan homeostasis. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan stres adalah
a)       Fisik seperti trauma, pembedahan, panas atau dingin
b)       Kimia, seperti penurunan pasokan oksigen, ketidakseimbangan asam basa
c)     Fisiologis seperti syok berat, olahraga berat, nyeri dan pendarahan
d)      Psikologis atau emosi seperti rasa cemas, ketakutan, dan kesedihan
e)       Sosial seperti konflik pribadi, perubahan gaya hidup  (Sherwood, 2001).
Pembentukan kortisol dan sekresi kortisol meningkat sampai enam kali lipat pada seekor tikus dalam waktu 4-20 menit setelah fraktur kedua tulang kakinya, walaupun  kita sudah mengetahui bahwa sekresi kortisol seringkali sangat meningkat dalam keadaan stres, namun sampai saat ini kedaan tersebut masih belum jelas. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa glukokortikoid dapat menyebabkan pengangkutan asam amino dan lemak dengan cepat dari cadangan sel selnya, sehingga dapat dipakai untuk energi dan sintesis senyawa lain, termasuk glukosa, yang dibutuhkan oleh berbagai jaringan tubuh yang berbeda. Semuanya itu hanyalah dugaan saja, dengan asumsi bahwa kortisol biasanya tidak memobilisasi protein-protein dasar fungsional dari sel-sel, seperti protein kontraktil otot dan protein neuron, sampai hampir semua protein lainnya dilepaskan. Efek khusus kortisol dalam memobilisasi protein yang labil ini dapat menyebabkan tersedianya asam amino yang berguna bagi sel untuk mensintesis bahan-bahan yang berguna untuk hidup (Guyton, 2006).


D.    Sekresi glukokortikoid (Kortisol) Saat Latihan
Sesuai yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kortisol merupakan hormon yang disekresikan oleh kelenjar adrenal akibat stres atau sinyal kimia lainnya. Saat latihan tubuh berada tidak dalam keadaan homeostasis sehingga hal tersebut dirasakan sebagai stres yang merangsang untuk pengeluaran hormon kortisol dalam tubuh (Mahoney, 2010). Menurut Cordova (2009) Latihan merupakan keadaan dimana situasi stres yang telah terbukti dapat menyebabkan perubahan kedaan  inflamasi dengan terjadinya perubahan sel-sel kekebalan menyerupai saat terjadinya kerusakan otot dan fase imun akut. Keadaan tersebut yang menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dalam tubuh oleh kelenjar adrenal.
Respon kortisol terhadap latihan tergantung pada durasi dan  intensitas dari latihan. Secara umum latihan yang dilakukan dengan intensitas moderat seperti aktifitas aerobik tidak terjadi perubahan kadar kortisol dalam tubuh (Kraemer, 2005). Selain dipengaruhi oleh intensitas dan durasi dari latihan, respon kortisol juga dipengaruhi oleh status kebugaran, status nutrisi, dan ritme sirkadian tubuh (McArdle, 2007). Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa terjadi peningkatan sekresi kortisol berdasarkan intensitas latihan dengan terjadinya lipolisis, proteolisis dan ketogenesis. Peningkatan kortisol terjadi setelah latihan dengan durasi yang lama seperti lari maraton atau latihan resistance yang intensif. Kadar kortisol juga mengalami peningkatan sekitar 2 jam setelah latihan dengan anggapan bahwa kortisol berperan dalam mengatur pemulihan jaringan dan perbaikan jaringan yang rusak (McArdle, 2007).  Latihan aerobik intensitas tinggi dan berlangsung lama dan juga latihan resistance yang berat juga akan meningkatkan kadar kortisol (Kent et al., 1997). 














Gambar 2.4 Kontrol sekresi kortisol saat latihan fisik
(Sumber: Powers et al., 2009).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kraemer (2005) pada saat latihan moderat tidak terjadi peningkatan kadar kortisol secara signifikan, namun hal berbanding terbalik terhadap latihan dengan intensitas tinggi dan durasi yang lama justru meningkatkan kadar kortisol dalam tubuh. Kortisol akan meningkat saat atlet berlari sejauh 1500m sampai 10.000 m dibandingkan dengan atlet yang berlari 100 m atau lempar cakram. Latihan dengan durasi pendek hanya memberikan pengaruh yang sedikit terhadap perubahan kadar kortisol dalam darah, hal tersebut mungkin dikarenakan variasi diurnal dari kadar kortisol tidak begitu diamati dalam latihan yang berdurasi pendek.
Hubungan latihan resistance terhadap kadar kortisol juga masih belum diketahui dengan jelas, hal tersebut sebagian dipengaruhi oleh intensitas dan beban dari latihan resistance. Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa latihan resistance yang dilakukan secara berulang dapat meningkatkan kadar hormon kortisol dalam darah lebih tinggi dari pada latihan isotonik maksimal (Ahtiainen et al., 2003).  Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban latihan berpengaruh terhadap kadar kortisol (Smilios et al., 2003). Perlu dicatat bahwa peningkatan kadar kortisol selama latihan terjadi pada pertengahan latihan hingga 15 menit setelah latihan (Volek et al., 1997).

Hill et al., (2008) menyatakan dalam penelitiannya bahwa latihan dengan intensitas sedang sampai tinggi yakni sekitar 60 % sampai 80 % VO2 maks lebih meningkatkan kadar kortisol darah, dibandingkan dengan latihan dengan intensitas rendah (sekitar 40 % VO2 maks). Peningkatan kadar kortisol tersebut mungkin berkaitan dengan perubahan hemokonsentrasi dan juga rangsangan pada ACTH.  Setelah di tinjau kembali pada latihan dengan intensitas rendah apabila dikaitkan dengan volume palsma dan irama sirkadian tubuh, sebenarnya terjadi penurunan  kadar kortisol darah.
Latihan merupakan suatu stres yang terbukti mengakibatkan inflamasi pada tubuh sehingga terjadi perubahan sel sel kekebalan tubuh akibat infeksi dan kerusakan otot. Konsentrasi kortisol meningkat saat latihan dilakukan dalam durasi yang panjang akibat dari akumulasi stres yang meningkat. Hal tersebut berkaitan dengan fungsi dari kortisol sebagai anti inflamasi dan anti imunosupresif. Latihan yang lama akan mengurangi cadangan  glikogen otot, dan hal tersebut  akan merangsang peningkatan sekresi kortisol, karena kortisol berperan dalam memelihara kadar glukosa darah (Cordova et al., 2009).  
Peningkatan sekresi kortisol merupakan respon umum terhadap stres. Oleh karena itu, dalam latihan ringan dimana tingkat stres rendah, perubahan kadar kortisol tidak signifikan. Di sisi lain, selama latihan berat dimana tingkat stres maksimal maka  kadar kortisol akan meningkat. Kortisol pada saat latihan akan berpengaruh gluconeogenic pada hati yakni dapat meningkatkan pembentukan glukosa  dari sumber nonkarbohidrat (lemak dan protein) sehingga membuat glukosa sebagai bahan bakar metabolik (glukoneogenesis) (Fox, 1993).
Ada perbedaan perubahan konsentrasi kortisol saat orang coba melakukan latihan dengan intensitas rendah, sedang, dan tinggi. Pada hasil penelitian di atas menerangkan bahwa latihan dengan intensitas tinggi ada peningkatan signifikan pada kortisol setelah menit 20 menit dengan lama durasi 59 menit (Jacks et al., 2002).

E.    Simpulan
Sekresi kortisol saat latihan dipengaruhi oleh intensitas dan durasi latihan, selain itu juga dipengaruhi oleh status kebugaran, status gizi dan ritme diurnal. Secara umum latihan intensitas moderat sampai tinggi dengan durasi yang lama lebih meningkatkan kadar kortisol dibandingkan latihan dengan intensitas rendah dengan durasi singkat. 





DAFTAR  PUSTAKA
Ahtiainen JP, Pakarinen A, Kraemer WJ & Häkkinen K. 2003. Acute hormonal and neuromuscular responses and recovery to forced vs. Maximum repetitions multiple resistance exercisesInternational Journal of Sports Medicine 24: 410–418.

Cordova A, Sureda A. 2009. Cortisol and exercise: effect in athletik performa.  University of Valladolid : Spanyol.

Fox EL, Bowers RW, and Foss ML. 1993. The Physiological Basic Of Exercise     and Sport. Fifth edition. USA.Wim C. Brown Publisher.

Ganong, 2005. Review of medical physiology, 20 th edition . New York: Lange Medical Books/ Mc Graw Hill
Guyton AC, Hall JE, 2006. Textbook of medical  physiology. 11th   ed.WB Saunders Co,   Philadelphia
Hole J.W. 1981. Human Anatomy and Physiology, 2th. Ed. Dubuque- Lowa. WCB.

Hill EE, Jack KR, Batagglini CK, Viru M. 2008. Ecercise and circulating corticol levels : the intensity threshold effect.  Journal Endrocrinol Invest. 7: 87-91.

Jacks DE, Sowash J, Anning J, McGloughlin T, Andres F. 2002. Effect of exercise at three exercise intensities on salivary cortisolJournal of Strength and Conditioning Research16: 286–289.

Kent B, Weekes S, Zhou S & Davie AJ. 1997, The acute effect of specific exercise intensities on plasma testosterone and cortisol concentrations'Australian Conference of Science and Medicine in Sport abstract book, Canberra, ACT, 7-10 October, Sports Medicine Australia, Bruce, ACT, pp. 190-191.

Kraemer WJ and Rogol AD. 2005. The Endocrin System On Sport and Exercise. Journal of  encyclopaedia of sport medicine. 11: 217-246.

Mahoney S. 2010. Exercise and corticol levels. Dalam http:// www.livestrong.com/article/86687--exercise-cortisol-levels. Diakses 3 Desember 2013.

McArdle, William D, Katch, Frank I. & Katch, Victor L. 2007. Exercise Physiology:
Energy, Nutrition, and Human Performance. Philadelphia etc: Lippincott.
Powers  SK and  Edward TH. 2009. hormonal responses to exercise. USA :The    McGraw-Hill Companies.

Sherwood. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta. ECG.
Silverthorne. 2001. Human Physiology an Inntegrated Approach, 2th. Ed. San Francisco : Pearson Education, Inc

Smilios I, Pilianidis T, Karamouzis M. & Tokmakidis SP. 2003. Hormonal responses after various resistance exercise protocols. Medicine and Science in Sports and Exercise 35: 444-454.

Volek  JS, Kraemer WJ, Bush JA, Incledon T. 1997.  Testosterone and cortisol in relationship to dietary nutrients and resistance exerciseJournal of Applied Physiology . 82: 49–54.




















aminuddin
Aminuddin S.Or.,M.kes Dg Nyampo, Akademisi dan praktisi di bidang ilmu Kesehatan Olahraga.

Related Posts

Post a Comment