Theme images by Igniel

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

Jumlah Pengunjung

Archive

Universitas Megarezky

Universitas Megarezky
FKIP Universitas Megarezky

Prodi Pendidikan Jasmani Ada Di Univ. Megarezky

Prodi Pendidikan Jasmani Ada Di Univ. Megarezky
Yukkss Daftarkan Segara Diri Anda untuk menjadi Bagian dari Kami

Ayo Kuliah Di Univ. Megarezky

Ayo Kuliah Di Univ. Megarezky
Pendaftaran Calon Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2020/2021

Translate

Follow Us

Halaman Facebook

Universitas Megarezky

Comment

Bacaan Favorit

LATIHAN INTERVAL DENGAN INTENSITAS SUBMAKSIMAL

1 comment
LATIHAN INTERVAL DENGAN INTENSITAS SUBMAKSIMALTERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE II


Pendahuluan
Penyakit diabetes mellitus sudah banyak dikenal oleh masyarakat, namun masih banyak dari masyarakat yang kurang paham mengenai penyakit degeneratif tersebut baik tanda-tanda maupun cara penatalaksanaannya. Berdasarkan data WHO tingkat prevalansi penderita diabetes mellitus mengalami kenaikan yang sangat signifikan setiap tahunnya.  Menurut WHO, Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia. Pada tahun 2006 diperkirakan penderita diabetes mellitus meningkat secara signifikan  menjadi 14 juta orang, dimana baru 50 % yang sadar mengidapnya dan diantara mereka baru sekitar 30 % yang datang berobat teratur (Soegondo dalam Suryanto, 2010: 2). Kenyataannya sekarang ini diabetes mellitus sudah tidak mengenal perbedaan kelas dan usia. Di Asia prevalansi diabetes mellitus berkembang secara merata baik dikalangan orang kaya maupun daerah kumuh. Diabetes mellitus secara tidak pandang bulu juga menyerang golongan muda (Vitahealth, 2004: 2).



Bertambah meningkatnya prevalansi penderita diabetes mellitus dikarenakan salah satunya adalah penatalaksanaan terhadap penderita diabetes yang kurang tepat, selama ini terutama di Indonesia penatalaksaan diabetes mellitus hanya dititikberatkan pada penggunaan obat hipoglikemik, diet teratur serta penyuluhan (Suryanto, 2010: 4). Padahal ada empat macam pengelolaan diabetes mellitus yaitu dengan mengatur pola makan, mengkonsumsi obat obat hipoglikemik secara teratur, Penyuluhan (edukasi) dan juga yang tidak kalah penting adalah dengan latihan jasmani (olahraga) (Vitahealth, 2005:2). Pada penderita diabetes mellitus tipe I pemberian obat-obatan dan diet menjadi sangat penting, sedangkan pada penderita diabetes mellitus tipe II dimana penderita kebanyakan tidak tergantung pada obat, maka kombinasi diet dan latihan olahraga menjadi upaya yang paling sesuai untuk mengendalikan kadar glukosa darah ( Ismawati, 2005: 2-3).
Menurut WHO dalam seri laporan tentang diabetes mellitus mengatakan bahwa latihan olahraga yang dirancang menurut usia dan status merupakan bagian dari pengobatan pada penderita diabetes mellitus. Latihan olahraga bagi penderita diabetes mellitus selain dapat mengontrol kadar glukosa darah juga banyak manfaat yang diperoleh seperti dapat mengurangi presentasi lemak tubuh, menjaga kebugaran penderita dan juga meningkatkan sirkulasi darah (Bararah, 2012: 7). Saat ini telah banyak penelitian dibidang kesehatan olahraga yang fokus mengenai efek latihan dan penurunan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus khususnya tipe II. Menurut Tobing, (1992: 56) resiko diabetes mellitus berkurang 23-42% pada laki-laki yang melakukan latihan olahraga 1-5 x per minggu dengan intensitas sedang (submaksimal).
Penelitian yang dilakukan oleh Herawati,(2004:22) menunjukkan bahwa latihan olahraga dengan intensitas sedang (submaksimal) secara interval dan kontinyu dapat meningkatkan penurunan kadar glukosa darah pada 30-60 menit postpandrial pada penderita diabetes mellitus tipe II.  Penelitian yang dilakukan oleh Marliss, (2002: 642) menunjukkan bahwa latihan olahraga dapat menurunkan kadar glukosa darah oleh karena dapat meningkatkan kepekaan sel otot dan peningkatan translokasi glut 4 melalui peningkatan ion kalsium dan stress metabolik selama kontraksi otot.
Latihan olahraga dengan intensitas submaksimal secara interval pada keadaan puasa, belum mengungkapkan kadar glukosa darah dengan jelas (Marliss, 2002: 643). Peneliti lain menjelaskan bahwa penurunan kadar glukosa darah postpandrial yang signifikan pada latihan fisik interval. Penggunaan latihan fisik oleh penderita diabetes mellitus sebaiknya memenuhi salah satu prinsip CRIPE ( Countinous, Rhytmical, Interval, Progessive, and Endurance) (Ismawati, 2005: 4).
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti ingin melakukan studi lebih lanjut mengenai pengaruh latihan interval dengan intensitas submaksimal selama 15 menit terhadap kadar glukosa darah anggota klub jantung sehat Unesa yang menderita diabetes mellitus tipe II.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dijelaskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Apakah kadar glukosa darah puasa anggota klub jantung sehat Unesa penderita diabetes mellitus tipe II sebelum dan sesudah latihan interval dengan intensitas sedang (submaksimal) berbeda secara signifikan?
2.    Apakah kadar glukosa darah postpandrial anggota klub jantung sehat Unesa  penderita diabetes mellitus tipe II sebelum dan sesudah latihan interval dengan intensitas sedang (submaksimal) berbeda secara signifikan?

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun sesuai dengan rumusan masalah yang diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah
1.    Menjelaskan perbedaan kadar glukosa darah puasa anggota klub jantung sehat penderita diabetes mellitus tipe II sebelum dan sesudah latihan interval dengan intensitas submaksimal selama 15 menit.
2.    Menjelaskan perbedaan kadar glukosa darah postpandrial anggota klub jantung sehat penderita diabetes mellitus tipe II sebelum dan sesudah latihan submaksimal selama 15 menit.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang manfaat latihan olahraga interval dengan intensitas submaksimal bagi penderita diabetes mellitus, selain itu juga dapat menambah pengetahuan bagaimana penatalaksanaan diabetes mellitus yang benar.
1.4.2 Manfaat Praktis
          Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi penderita diabetes mellitus terutama penderita tipe II  mengenai jenis  latihan olahraga yang sesuai untuk menjaga kadar glukosa darah supaya tetap normal serta prinsip-prinsip olahraga yang diajurkan. Bagi pengurus atau instansi kesehatan dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam membina penderita diabetes mellitus, sedangkan bagi kalangan akademisi khususnya dibidang kesehatan olahraga dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian yang sejenis supaya lebih sempurna lagi.

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Latihan  Interval  
Latihan olahraga merupakan gerakan atau kegiatan fisik yang melibatkan penggunaan kelompok otot besar, seperti dansa, kalistenik, permainan dan aktivitas yang lebih formal seperti jogging, berenang, dan berlari (Kent dalam Soni, 2008: 72). Latihan olahraga adalah suatu bentuk kegiatan jasmani yang terdapat di dalam permainan, perlombaan dan kegiatan intensif dalam rangka memperoleh relevansi kemenangan dan prestasi olahraga (Menpora Maladi, 2009: 34).
Menurut Mc Ardle menyebutkan ada dua macam istilah latihan yang kita kenal yaitu acute exercise dan chronic exerciseAcute exercise adalah latihan yang dilakukan hanya sekali saja atau disebut juga dengan exercise, sedangakan chronik exercise adalah latihan yang dilakukan secara beerulang-ulangsampai beberapa hari atau bahkan sampai beberapa bulan. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah dengan melakukan Training akan terjadi perubahan penting di dalam tubuh sedangkan dengan melakukan exercise perubahan yang terjadi kurang penting. Perubahan yang terjadi saat seseorang melakukan exercise disebut dengan respon. Sedangkan perubahan yang terjadi karena training disebut adaptasi (Supriadi dalam Bawono, 2008: 103).


 Metode latihan interval adalah suatu metode latihan daya tahan umum yang dapat dikembangkan pada hampir semua cabang olahraga, dengan menggunakan teknik dasar sesuai dengan cabang olahraga tertentu. Latihan interval merupakan latihan dapat digunakan untuk melatih sitem energi anaerobik maupun sistem energi aerobik bahkan dapat digunakan secara bersama-sama.  Latihan latihan fisik yang dapat digunakan secara selang-seling antara fase kerja dan fase istirahat. Fase istirahat dapat dilakukan dengan cara aktif yaitu dengan melakukan aktifitas ringan atau istirahat pasif misalnya dengan melakukan jalan atau hanya duduk bisa juga dengan kombinasi antara keduanya. Latihan interval dapat dilakukan sebagai berikut:
1.      Perbandingan 1 ; ½ dan 1;1 yaitu perbandingan kerja dan istirahat untuk kerja ringan dan berlangsung lama, artinya jika melakukan latihan fisik i menit maka waktu istirahat ½ menit atau jika melakukan latihan fisik 1 menit dan waktu istirahat 1 menit dengan tujuan meningkatkan ketahanan aerobik.
2.      Perbandingan 1:2 yaitu perbandingan kerja dan istirahat untuk kerja sedang artinya jika melakukan latihan fisik 1 menit maka waktu istirahat 2 menit dengan tujuan meningkatkan daya tahan aerobik
3.      Perbandingan 1:3 yaitu perbandingan kerja dan istirahat untuk kerja ringan artinya jika melakukan latihan fisik 1 menit maka waktu istirahat  3 menit dengan tujuan meningkatkan ketahanan anaerobik (Fox, 1993: 243-245).

2.2 Prinsip-Prinsip Latihan
     Dalam memepelajarai prinsip umum berolahraga kita perlu memeperhatikan tiga disiplin ilmu yaitu: Ilmu Faal (Fisiologik), Ilmu Jiwa (Psikologik), dan Ilmu Kependidikan (Pedagogik). Dari ketiga disiplin ilmu tersebut menghasilkan tiga hukum/prinsip dasar berolahraga yaitu: hukum pedagogik, hukum psikologik, hukum fisiologik. Dalam berolahraga dipengaruhi oleh tiga hukum fisiologik, yaitu : hukum overload, hukum kekhususan (Specificity), dan hukum reversibilitas (Reversibility) (Roger, 2009: 22).
1.      Prinsip overload
Prinsip overload banyak memperbaiki dalam kebugaran seorang, sehingga membutuhkan suatu peningkatan beban latihan yang akan menantang keadaan kebugaran seseorang. Beban latihan berfungsi sebagai suatu stimulus dan mendatangkan suatu respon dari tubuh (Roger, 2009: 2). Beban latihan berupa tugas-tugas latihan yang berfungsi  sebagai stress dan membangkitkan daya adaptasi fungsi fisiologis. Akibat dari pembebanan latihan adalah kelelahan, dan disusul dengan proses pemulihan. Hanya dengan prinsip overload atau pembebanan yang meningkat seacara bertahap akan menghasilkan overkompensasi dalam kemampuan biologik. Karena itu, bisaterjadi beban latihan terlampau ringan, jauh dibawah demand yang  sesungguhnya dan sebalikinya bila proses pembebanan tersebut  berlebihan maka akan terjadi overtraining (Sudrajat dkk, 2000: 28).
2.        Prinsip kekhususan (Specificity)
Prinsip kekhususan adalah bahwa beban latihan yang alami menentukan efek latihan. Latihan harus secara khusus untuk efek yang diinginkan. Metode latihan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan latihan. Beban latihan menjadi spesifik ketika itu memiliki rasio latihan (beban terhadap latihan) dan struktur pembebanan (intensitas terhadap beban latihan) yang tepat.
Intensitas latihan adalah kualitas atau kesulitan beban latihan. Mengukur intensitas tergantung pada atribut khusus yang dikembangkan atau diteskan. Kecepatan berlari diukur dalam meter per detik (m/dtk) atau langkah per detik (m/sec). kekuatan diukur dalam pound, kilogram, atau ton. Lompat dan lempar diukur oleh tinggi, jarak, atau jumlah usaha. Intensitas usaha berdasarkan pada persentase usaha terbaik seseorang (Roger, 2009: 4).
3.        Prinsip kebalikan (Reversibility)
Prinsip kebalikan (reversibility) adalah apabila kita berhenti berlatih maka tubuh kita akan kembali ke keadaan semula atau kondisinya tidak akan meningkat. Tingkat kebugaran akan menurun jika pembebanan latihan tidak dilanjutkan (continued). Dalam pembebanan latihan, tuntutan ini adalah bahwa beban latihan harus berkelanjutan jika kebugaran umum dan khusus terus ditingkatkan, beban latihan harus ditingkatkan secara regular (Roger, 2009: 12).
Program latihan olahraga yang dianjurkan bagi penderita diabetes mellitus untuk meningkatkan kesegaran jasmani adalah CRIPE, karena program ini dianggap memenuhi kebutuhan.
1. Continuous, artinya latihan olahraga terus menerus tidak berhenti dapat menurunkan intensitas, kemudian aktif lagi dan seterusnya intensitas dikurangi lagi. Aktif lagi dan seterusnya, melakukan aktivitas latihan olahraga terus-menerus selama 50-60 menit.
2. Rhytmical, artinya latihan  olahraga harus dilakukan berirama, melakukan latihan otot kontraksi dan relaksasi. Jadi gerakan berirama tersebut diatur dan terus menerus.
3. Interval, artinya latihan olahraga  dilaksanakan terselang-seling, kadang  kadang cepat, kadang-kadang lambat tetapi kontinyu selama periode latihan.
4. Progresif, artinya latihan harus dilakukan peningkatan secara bertahap dan beban latihan juga ditingkatkan secara perlahan-lahan.
5. Endurance, artinya latihan untuk meningkatkan kesegaran dan ketahanan sistem kardiovaskuler dan kebutuhan tubuh penderita diabetes mellitus (Mardi Santoso (2008: 19-22).
Porsi latihan harus ditentukan supaya maksud dan tujuan latihan oleh penderita diabetes mellitus memberikan manfaat yang baik. Latihan yang berlebihan akan merugikan kesehatan, sedangkan latihan yang terlalu sedikit tidak begitu bermanfaat. Penentuan porsi latihan harus memperhatikan intensitas latihan, lama latihan, dan frekuensi latihan
1.      Intensitas latihan
Untuk mencapai kesegaran kardiovaskuler yang optimal, maka idealnya latihan berada pada VO2 max, berkisar antara 50 - 85 % ternyata tidak memperburuk komplikasi diabetes mellitus dan tidak menaikkan tekanan darah sampai 180 mmHg. Intensitas latihan dapat dinilai dengan target nadi/area latihan. Penderita dapat menghitung denyut nadi maksimal yang harus dicapai selama latihan. Meskipun perhitungan ini agak kasar tapi dapat digunakanm rumus denyut nadi maksimal= 220 – umur penderita. Denyut nadi yang harus dicapai antara 60 - 79 % adalah target nadi/zone latihan yang diperbolehkan. Bila lebih dari 79 %, maka dapat membahayakan kesehatan penderita, apabila nadi tidak mencapai target atau kurang dari 60 % kurang bermanfaat. Area latihan adalah interval nadi yang ditargetkan dicapai selama latihan/segera setelah latihan maksimum, yaitu antara 60 sampai 79 % dari denyut nadi maksimal. Sebagai contoh penderita diabetes mellitus tidak tergantung insulin umur 40 tahun, interval nadi yang diperbolehkan adalah 60 % kali (220 – 40) dan 79 % kali (220 - 40) dan hasilnya interval nadi antara 108 sampai dengan 142 permenit. Jadi area latihan antara 108 – 142 denyut nadi per menit.
Tabel 2.1 Ukuran Intensitas Latihan
intensitas
Denyut jantung (bpm)
VO2 (L/min)
Cal/min
MET
Ringan
100
1
5
4
Sedang
(Submaksimal)
135
2
10
8.1
Tinggi
170
3
15
12.2
(Sharkey, 2003: 107).
2. Lama latihan
Untuk mencapai efek metabolik, maka latihan inti berkisar antara 30-40 menit dengan pemanasan dan pendinginan masing-masing 5 - 10 menit. Bila kurang, maka efek metabolik sangat rendah, sebaliknya bila berlebihan menimbulkan efek buruk terhadap sistem muskuloskeletal dan kardiovaskuler serta sistem respirasi.

        3. Frekuensi
Frekuensi olahraga berkaitan erat dengan intensitas dan lamanya berolahraga, Menurut hasil penelitian, ternyata yang paling baik adalah 5 kali seminggu. Tiga kali seminngu sudah cukup baik, dengan catatan lama latihan harus diperpanjang 5 sampai 10 menit lagi. Jangan sampai 7 kali seminggu, karena tidak ada hari untuk istirahat, lagipula kurang baik untuk metabolisme tubuh (Arcole, 1995 dalam suryanto, 2010: 13).

2.3 Latihan dan Kontrol Kadar Glukosa Darah
Dalam pengelolaan penderita diabetes mellitus  ada 4 macam: yakni Perencanaan makanan (Diet), edukasi (penyuluhan), obat-obatan (OHO, Insulin) serta olahraga. Olahraga teratur untuk program pengobatan diabetes mellitus terutama diabetes mellitus tipe II sudah dikenal sejak lama selain diet dan obat-obatan. Olahraga pada  diabetes mellitus berperan utama dalam pengaturan kadar gula darah. Pada tipe ini produksi insulin umumnya tidak terganggu terutama pada awal menderita. Masalah utama adalah kurangnya respons reseptor insulin terhadap insulin,sehingga insulin tidak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh kecuali otak. Otot yang berkontraksi atau aktif tidak memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa ke dalam sel, karena pada otot yang aktif sensitivitas reseptor insulin meningkat. Oleh karena itu olahraga pada diabetes mellitus  tipe II akan menyebabkan berkurangnya kebutuhan insulin eksogen.
Respons penderita diabetes terhadap latihan pada diabetes tipe I tergantung beberapa faktor termasuk adanya tambahan insulin eksogen. Jika diabetes terkontrol tanpa komplikasi  ketosis, latihan akan menurunkan kadar gula darah sehingga kebutuhan terhadap insulin eksogen menurun. Sebaliknya apabila kadar gula darah tidak terkontrol atau insulin tidak cukup tersedia sebelum latihan fisik dilakukan, transport glukosa ke sel otot akan terhambat sehingga glukosa tidak tersedia sebagai sumber energi (Gardner et al. 2001: 755). Pada keadaan ini, asam lemak bebas akan dipergunakan oleh tubuh dan benda-benda keton akan diproduksi tubuh sehingga timbul ketosis yang mengakibatkan kenaikan keasaman tubuh. Pada keadaan lanjut, tubuh akan bereaksi dengan memproduksi lebih banyak gula yang dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan sel otot terhadap glukosa sehingga semakin memperburuk keadaan hiperglikemi. Oleh karena hal-hal tersebut, latihan fisik pada penderita diabetes tipe I hanya boleh dilakukan apabila kadar gula darah penderita diabetes tersebut terkontrol dengan baik (Sigal et al. 2004: 2518).
Selain bermanfaat dalam mengontrol kadar gula darah, olahraga pada penderita diabetes mellitus tipe II diharapkan dapat menurunkan berat badan dan ini merupakan salah satu sasaran yang ingin dicapai, bahkan sebagian ahli menganggap bahwa manfaat olahraga bagi penderita diabetes mellitus tipe II akan lebih jelas bila disertai dengan penurunan berat badan. Dengan demikian diabetes mellitus tipe II tidak disebabkan kurang atau tidak adanya produksi insulin tetapi disebabkan karena kurangnya respons reseptor insulin terhadap insulin.  berdasarkan penemuan baru dinyatakan bahwa kepekaan insulin berkurang sangat besar bila didapatkan lemak di dalam darah, juga didapatkan tanda khusus bahwa penderita diabetes mellitus mempunyai kadar lemak yang tinggi dalam darah. Dengan demikian sangat jelas bahwa diabetes disebabkan bukan ketidak hadiran insulin, tetapi akibat berkurangnya dayaguna dari insulin yang disebabkan oleh kehadiran lemak tersebut (Suryanto, 2010: 6-9).
Dengan melihat penemuan tersebut, diabetes disebabkan karena kurang berdayagunanya insulin dalam tubuh yang disebabkan kehadiran lemak, maka kita dapat melihat peranan olahraga dalam penyembuhan penderita diabetes. Bila seorang penderita diabetes berolahraga ia akan menggunakan lemak yang berada dalam darah. Dengan olahraga yang terus menerus kadar lemak dalam darah akan berkurang, sementara kadar lemak makin menurun, insulin dalam tubuhnya makin bertambah peka, dan akhirnya kadar gulanya akan menurun.
Menurut Kushartanti (2010: 6) Sebagian besar pakar diabetes mellitus di Indonesia menjadikan olahraga sebagai pilar utama dalam penatalaksanaan diabetes mellitus. Diabetes Melitus yang ringan dapat dikendalikan secara efektif dengan diet dan olahraga. Hal senada juga dikatakan oleh blake dalam Kushatatik (2010, 8) yaitu bahwa penderita yang baru terdiagnosa dapat mengelola penyakitnya tanpa obat.

Berikut ini akan dijelaskan secara jelas beberapa macam latihan olahraga dengan penurunan kadar glukosa darah:
1.    Latihan dengan intensitas rendah
Pada latihan dengan intebsitas rendah selama 40 menit ( 40% VO2 maks) tidak terjadi penurunan kadar glukosa darah secara signifikan (Cooper, dalam Widyanto, 2011: 9). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Marlis tahun 2002, dengan latihan fisik intensitas rendah (kurang dari 60 % VO2 maks) glukosa darah konstan selama latihan fisik post absorsive dan menurun selama latihan fisik post pandrial. Pada latihan fisik intensitas rendah dalam keadaan puasa, glukosa yang digunakan awalnya disuplai dari asam lemak sehingga asam laktat yang meningkat lebih sedikit. Namun apabila lipolisis dihambat oleh respon insulin setelah makan atau mengkonsumsi kharbohidrat selama latihan fisik, glukosa menjadi sumber energi yang utama. Penelitian yang dilakukan oleh Fathoni pada tahun 2005 juga menunjukkan bahwa latihan fisik dengan intesitas rendah dengan durasi 20 menit yang dilakukan oleh penderita diabetes mellitus sama-sama dapat menurunkan kadar glukosa darah. 

2.    Latihan dengan intensitas sedang
Pada latihan submaksimal yang berdurasi lebih dari 20 menit, glukosa adalah sumber energi yang dominan. Pada latihan fisik intensitas submaksimal postabrsobsi terjadi keseimbangan antara utilisasi glukosa dan produksi glukosa. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sukamoto, (1999 dalam Widiyanto, 2011:10) latihan dengan intensitas sedang dapat menurunkan kadar glukosa darah. Penurunan kadar glukosa darah ini berhubungan dengan peningkatan transporter glukosa karena stimulasi oleh hormon insulin. Latihan aerobik dengan durasi lama yakni 30-60 menit dengan 60-70  VO2 maks dapat secara signifikan menurunkan kadar glukosa darah. Fatoni (dalam Widiyanto, 2011: 10) menjelaskan bahwa dengan latihan fisik intensitas sedang selama 10 menit pada pendeerita diabetes mellitus sudah dapat menurunkan kadar glukosa darahnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Guelfi dalam (Widiyanto, 2011: 11) latihan dengan intensitas sedang dapat menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan dari pada latihan dengan intensitas tinggi. hal tersebut karena penurunan hormon katekolamin dan growth hormon yang lebih besar pada latihan intensitas tinggi sehingga dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Herawati, (2004: 22) menyimpulkan bahwa latihan fisik intensitas sedang secara kontinyu dan interval dapat meningkatkan penurunan kadar glukosa darah pada 30-60 menit postpandrial. Namun tidak dapat meningkatkan penurunan kadar glukosa darah pada 60-120 menit postpandrial. 
3. Latihan dengan intensitas tinggi
Latihan dengan intensitas tinggi dengan durasi yang pendek (2-20 detik) produksi ATP didominasi oleh sistem ATP PC sehingga kadar glukosa darah relatif konstan. Sedangkan apabila latihan fisik lebih dari 20 menit produksi ATP didominasi oleh glikolisis anaerobik. Glikolisis anaerobik sumber energi utamanya adalah glikogen atau glukosa sehingga kadar glukosa darah akan menurun. Pada latihan dengan intensitas tinggi lebih dari 45 detik produksi ATP merupakan kombinasi dari sistem ATP PC, glikolisis anaerobik serta glikolisis aerobik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Cooper (1989, dalam Widiyanto, 2011: 11) pada latihan dengan intensitas tinggi (80 % VO2 maks) terjadi penurunan kadar glukosa darah secara signifikan. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Guelfi (2007, dalam Widiyanto, 2011: 12) pada latihan dengan intensitas tinggi dengan durasi 30 menit dapat menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan, namun bila dibandingkan dengan latihan intensitas sedang penurunan kadar glukosa darah masih lebih signifikan dibandingkan intensitas tinggi.
Selama latihan dengan intensitas tinggi sumber energi untuk kontraksi otot didominasi oleh kharbohidrat (glikogen dan glukosa). Latihan fisik intensif ( > 80 % VO2 maks bahkan sampai 100% VO2 maks) untuk waktu yang singkat seperti pada lari sprint atau latihan repetisi yang singkat dengan waktu istirahat yang singkat pula seperti hoki dan baseball sistem energi yang digunakan adalah dominan anaerobik. Oleh karena itu latihan fisik ini hampir seluruhnya tergantung pada glukosa dan glikogen sebagai sumber energinya (Marliss dalam Widiyanto, 2011: 12).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Asril, ( 2002: 19) respon kadar glukosa darah baik atlet maupun non atlet setelah diberikan latihan intensitas anaerobik dengan pemberian gula 60gr/200 sebelum latihan, menunjukkan penurunan kadar glukosa darah. Pada latihan fifik intensitas tinggi, 40% glukosa darah akan diambil yang menyebabkan hipoglikemia. Menurut Guelfi dalam Widiyanto, (2011: 13) pada latihan intensitas tinggi dapat menurunkan kadar glukosa darah namun lebih kecil bila dibandingkan dengan latihan intensitas sedang. Hal ini dapat disebabkan karena pada latihan intensitas tinggi selain terjadi peningkatan uptake glukosa juga terjadi counter regulasi glukosa oleh peningkatan glukoneogenesis, produksi katekolamin dan hormon pertumbuhan. Sementara itu kadar glukagon dan kortisol lebih sedikit menurun pada latihan intensitas tinggi.
Respon katekolamin pada latihan intensif bertanggung jawab untuk peningkatan produksi glukosa dan utilisasi glukosa. Pada latihan fisik intensif katekolamin dapat meningkat 14-18 kali. Peningkatan katekolamin pada latihan fisik intensif (87 % VO2 maks selama 5 menit) akan memicu produksi glukosa 7-8 kali dan utilisasi glukosa meningkat 3-4 kali, sehingga terjadi hiperglikemia (Marliss dalam Widiyanto, 2011: 12).  Disaat latihan fisik yang sangat berat penggunaan glukosa lebih dulu turun dibandingkan produksi glukosa, yang akan mengarahkan ke hiperglikemia yang sangat hebat dan hal ini memerlukan insulin yang substansional selama 40-60 menit untuk memulihkan ketahap sebelum latihan.
Latihan fisik yang intensif bercirikan peningkatan cepat dan masif (sampai 8 kali) pada produksi glukosa hati dan meningkatkan hiperglikemia. Pada orang normal yang melakukan latiahan intensif akan terjdi sedikit terjadi peningkatan kadar glukosa dana akan makin meningkat pada latihan yang sangat berat dan hal ini akan menetap sampai 1 jam. Kemudian saat pemulihan peningkatan insulin darah terjadi yang diduga berguna untuk pengisian glikogen otot. Pada latihan fisik intensif peningkatan insulin plasma bisa berlangsung hingga 60 menit selama pemulihan, yang diawali dengan penurunan cepat katekolamin. Keadaan ini mencerminkan inhibisi yang dimediasi reseptor alfa pada sel beta berakhir. Tingginya konsentrasi glukosa dan insulin saat pemulihan berguna untuk mengisi kembali glikogen otot yang telah berkurang selama melakukan latihan fisik (Marliss dalam Widiyanto, 2011: 12).

2.4 Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus  atau kencing manis merupakan suatu penyakit, dimana tubuh penderitanya tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat glukosa dalam darahnya. Pada tubuh  yang sehat, pangkreas melepas hormon insulin yang bertugas mengangkut gula  melalui darah ke otot- otot dan jaringan lain untuk memasok energi (Vitahealth, 2004:13). Sedangkan menurut Misnadiarly dalam Rudi, (2008: 8) Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang  yang disebabkan adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.  Dapat disimpulkan bahwa apabila kadar glukosa darah melebihi kadar normal baik akibat kekurangan insulin maupun penurunan sensitivitas reseptor insulit bisa disebut dengan diabetes mellitus.
Menurut Arcole, (1995 dalam Suryanto, 2010: 2) dalam bukunya menyebutkan bahwa faktor keturunan memegang peranan untuk timbulnya diabetes mellitus, yang berarti anggota keluarga dari penderita diabetes mellitus lebih besar kemungkinannya untuk memperoleh penyakit ini.
2.4.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi atau jenis diabetes ada bermacam-macam, tetapi di Indonesia yang paling banyak ditemukan adalah tipe diabetes tidak tergantung insulin (DMTTI/DM tipe II).  Menurut Jonathan, K. dan Kathleen, L.K. (1992: 66-67) DM yang sekarang dikenal ada dua macam, yaitu:


1.         Diabetes Mellitus Tergantung Kepada Insulin
Diabetes ini bisa datang kepada segala usia, terutama orang muda. Tanda yang sangat menonjol ialah bergantungnya kepada suntikan insulin. Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel dengan akibat kadar glukosa dalam darah meningkat. Keadaan inilah yang terjadi pada diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI).
2.  Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Kepada Insulin.
Diabetes ini umumnya datang kepada mereka yang berusia di atas 40 tahun, dan paling sering terjadi bagi mereka yang berusia di atas 55 tahun. Penderita diabetes mellitus ini 85 % adalah orang yang kegemukan pada saat diadakan diagnosa. Pada  keadaan diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI), jumlah insulin bisa normal bahkan lebih banyak, tetapi jumlah reseptor (penangkap) insulin dipermukaan sel kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan DMTTI jumlah lubang kuncinya kurang, sehingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena reseptornya kurang, maka glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit. Sehingga sel kekurangan bahan makan (glukosa) dan kadar glukosa dalam darah meningkat.
Arcole (1995 dalam Suryanto, 2010) menyatakan bahwa penderita biasanya diabetes mellitus ikarenakan kelenjar pankreas atau kelenjar ludah perut tidak mampu atau tidak cukup memprodusir hormon insulin yang dibutuhkan tubuh, sehingga pembakaran karbohidrat sebagai bahan bakar tubuh kurang sempurna. Beberapa faktor yang sering menyuburkan dan bisa menjadi pencetus adalah  kurang gerak, (makan secara berlebihan,  kehamilan, kekurangan hormon insulin, dan Hormon insulin yang terpacu berlebihan. Adapun penyebab diabetes mellitus menurut Soegondo dalam Suryanto (2010: 5) penyebab diabetes mellitus lainnya adalah: kadar kortikosteroid yang tinggi, kehamilan diabetes gestasional, akan hilang setelah melahirkan, obat-obatan yang dapat merusak pankreas, dan (racun yang mempengaruhi pembentukan atau efek dari insulin

Menurut Suryanto, (2010 :6) adapun tanda-tanda atau gejala awal yang dialami oleh penderita diabetes secara umum adalah:
1.    Penurunan  berat badan atau rasa lemah
2.    Banyak kencing  (poliuri)
3.    Banyak minum (polidiksi)
4.    Banyak makan (polifagi)
5.    Gannguan penglihatan
6.    Gangguan saraf tepi / kesemutan.

2.5  Kadar  Glukosa Darah
Kadar glukosa darah adalah suatu nilai hasil pemeriksaan jumlah glukosa (dalam milligram) yang terdapat dalam tiap desiliter darah (Wise, 1997: 23). Pada orang sehat atau normal, total glukosa dalam darah berkisar antara 80-100 mg/ml. Kadar glukosa darah naik hingga mencapai 120-130 mg/100ml sesaat setelah makan. Namun beberapa saat kemudian beransur-ansur turun hingga mencapai kadar normal, karena kelebihan glukosa darah telah dirombak kedalam bentuk energi cadangan.
Kadar glukosa darah dapat turun hingga mencapai 60-70 mg/100 ml pada saat puasa dan dapat naik kembali setelah makan. Keadaan dimana kadar glukosa darah di atas normal disebut hiperglikemia. Keadaan dimana kadar glukosa darah lebih rendah dari nilai normal disebut hipoglikemia. Bila kadar glukosa darah sanggat tinggi, sebagian glukosa akan dikeluarkan kedalam urin dan menjadi indikator penyakit kencing manis atau Diabetes Mellitus (Erman, 2007:68).

Tabel 2.2  Kadar Glukosa Darah
Pemeriksaan
Kadar Glukosa Darah Penderita Diabetes Mellitus

Kadar glukosa darah normal
Sebelum Makan (puasa)
90-130
< 110
Setelah Makan
90-130
< 110
Dua Jam Setelah Makan
120-160
< 140
Sebelum Tidur
110-150
< 120
(Vitahealth, 2004: 60).
Kadar glukosa darah sebaiknya diperiksa sebelum dan sesudah latihan olahraga serta setiap 20-30 menit sekali jika latihan olahraga belangsung lama (lebih dari 40 menit). Jika sebelum latihan olahraga kadar glukosa darah dibawah 100mg/dl berarti kadar glukosa darah rendah (hipoglikemi), dianjurkan untuk makan makanan ringan yang mengandung 15-30 gram karbohidrat. Menurut Tobing, (2004: 1-2) Penderita diabetes mellitus tipe II dengan kadar glukosa darah di atas 250 mg/dl atau penderita diabetes mellitus tipe I dengan kadar glukosa darah  di atas 200 mg/dl sebaiknya latihan olahraga ditunda terlebih dahulu.
Dengan mengkonsumsi karbohidrat yang didapat dari padi-padian, gula, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan didalam tubuh kita akan mengubahnya menjadi glukosa yang merupakan bahan bakar utama tubuh. Fungsi tubuh akan sangt baik jika kadar glukosa darah dalam keadaan normal, oleh sebab itu tubuh bekerja keras untuk menjaga kadar glukosa darah supaya tetap seimbang. Karena kadar glukosa darah akan meningkat setelah makan, tes fungsi glukosa darah yang umum adalah tes glukosa darah pada saat puasa, yaitu pada pagi hari sebelum makan. Setelah makan glukosa darah mula-mula akan naik kemudian secara perlahan menurun.
Kerika kita mengkonsumsi karbohidrat, tubuh kita akan memberikan sinyal kepada pangkreas, suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang rongga perut, yang fungsinya adalah mengeluarkan hormon insulin. Hormon ini akan bekerja layaknya kunci yang membuka pintu sel tubh dan membiarkan glukosa masuk ke dalam sel sehingga glukosa darah dibakar dalam suatu reaksi untuk menghasilkan energi. Apabila insulin bekerja dengan baik, glukosa tidak akan menumpuk didalah darah (hiperglikemik) yang akan mengakibatkan diabetes mellitus ( Smith, 2003: 16).

2.6  Mekanisme Kerja Insulin
Insulin merupakan suatu  polipeptida yang mengandung  dua rantai asam, amino yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Insulin disekresikan oleh sel pangkreas tepatnya pada sel beta pangkreas. Insuli dibentuk di retikulum endoplasma sel beta pangkreas, kemudia dipindahkan ke aparatus golgi yang selanjutnya mengalami pengemasan dalam granula-granula berlapis membran. Granula-granula ini bergerak ke dinding sel melalui suatu proses yang melibatkan mikrotubulus, dan menbran granula berfusi dengan menbran sel, mengeluarkan insulin ke eksterior melaui eksositosis. Selanjutnya insulin akan melintasi lamina basalis sel beta serta kapiler dan endotelium kapiler yang berpori untuk mencapai aliran darah (Ganong, 1998: 329-330).
Waktu paruh insulin dalam sirkulasi pada manusia sekitar 5 menit. Insulin berikatan dengan reseptor insulin lalu mengalami internalisasi, insulin dirusak di dalam endosom yang terbentuk melalui endositosis. Enzim utama yang ebrpewran adalan insulin protease yang merupakan suatu enzim di menbran sel yang mengalami internalisasibersama insulin. Reseptor insulin banyak ditemukan didalam sel dalam tubuh selain sel-sel yang peka terhadap insulin klasik dimana hormon meningkatkan ambilan glukosa. 80 % insulin yang dikeluarkan secara normal akan diuraikan di hati dan ginjal. Efek faali insulin bersiaf luas dan kompleks, efek tersebut biasanya dibagi menjadi efek cepat, menengah dan lambat. Efek yang paling banyak diketahui adalah efek hipoglikemik, tetapi terdapat efek-efek lain pada transport elektrolit dan asam amino, berbagai enzim dan pertumbuhan. Efek akhir hormon ini adalah penyimpanagn kharbohidrat, lemak dan protein. Dengan demikian insulin dapat diebut juga hormone abundance (Ganong,1998: 331).
Tabel 2.3 Efek Utama Insulin

Cepat (detik)
Peningkatan transport glukosa, asam amino, dan K+ ke dalam sel peka insulin
Menengah (menit)
Stimulasi sintesis protein
Penghambatan pemecahan protein
Pengaktifan glikogen, sintetase dan enzim-enzim glikolitik
Penghambatan fosforilase dan enzim-enzim glukuneogenik
Lambat (jam)
 Peningkatan mRNA enzim lipogenik dan enzim lain
(Sumber: Ganong, 1998: 332)
Glukosa masuk kedalam semua sel melalui difusi fasilitasi, tetapi pada otot, lemak, dan berbagai jaringan lain insulin mepermudah glukosa masuk ke dalam sel dengan meningkatkan jumlah trasnporter glukosa di menbran sel. Insulin juga meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel hati, tetapi tidak melalui peningkatan jumlah transporter GLUT 4 di menbran sel. Insulin menginduksi heksokinase dan hal ini meningkatkan fosforilasi glukosa sehingga konsentrasi glukosa bebas intrasel tetap rendah, memudahkan masuknya glukosa ke dalam sel.              
Transpoerter glukosa yang berperan dalam difusi fasilitasi glukosa melintasi menbran sel adalah sekelompokprotein yang saling berhubungan yang memotong menbran 12 kali. Telah diketahui lima transporter glukosa yang berbeda-beda yang diberi nama sesuai urutan penemuan menjadi GLUT 1 sampai 5. Molekul-molekul ini mengandung 492-524 asam amino dan afinitasnya terhadap glukosa bervariasi. Masing-masing transporter memiliki tugas khusus. GLUT 4 adalah transporter dijaringan otot dan adiposa yang dirangsang oleh insulin. Dalam sitoplasma sel-sel peka insulin terdapat cadangan molekul GLUT 4 dan bila sel-sel ini terpapar insulin maka transporter tersebut bergerak cepat ke menbran sel, tampaknya melalui eksositosis.

2.7 Metabolisme Energi Pada Penderita Diabetes Mellitus
Gangguan yang mendasari penyakit diabetes mellitus adalah penurunan pemasukan glukosa ke berbagai jaringan perifer, dan peningkatan pembebasan glukosa dari hati ke dalam sirkulasi (glukoneogenesis hati). Dengan alasan inilah banyak ahli mengandaikan sel penderita Diabetes mellitus sebagai sel yang mengalami kelaparan ditengah lumbung beras. Kelebihan glukosa ekstra sel pada Diabetes Mellitus disebabkan oleh hiperglukagonemia. Disamping metabolisme glukosa, metabolisme secara keseluruhan mengalami gangguan pada penderita Diabetes Mellitus. Kecepatan katabolisme menjadi CO2 dan H2O meningkat. Disamping itu, lebih banyak asam amino diubah menjadi glukosa di hati (glukoneogenesis) (Ganong, 1998: 334-335).
Peningkatan glukoneogenesis tersebut disebabkan antara lain oleh adanya hiperglukagonemia pada diabetes mellitus  sehingga rangsangan glukoneogenesis meningkat, adanya peningkatan glukokortikoid adrenal terutama pada diabetisi yang sedang sakit berat, sehingga meningkatkan glukoneogenesi, meningkatnya pasokan asam amino pada glukoneogenesis karena tanpa insulin, sintesis protein di otot akan menurun dan kadar asam amino akan meningkat; dan adanya peningkatan aktivitas enzim-enzim glukoneogenesis. Efek akhir dari peningkatan perubahan protein menjadi CO2 dan H2O, dan glukosa serta berkurangnya sintesis protein menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif, adanya deplesi protein, dan tubuh menjadi kurus. Adanya deplesi protein dan tingginya kadar gula pada cairan tubuh akan  menyebabkan penderita rentan terhadap infeksi bakteri.
Kelainan metabolisme lemak pada diabetes mellitus terutama ditandai dengan meningkatnya katabolisme lemak disertai meningkatnya pembentukan badan keton dan penurunan sintesis asam lemak maupun trigliserida. Gangguan metabolisme lemak terlihat sanga menonjol pada diabetes mellitus dengan adanya penurunan perubahan glukosa menjadi asam lemak di depot karena defisiensi glukosa intra sel. Insulin menghambat lipase-peka hormon di jaringan adipose, dan dengan tidak adanya hormon ini, kadar asam lemak di plasma menjadi lebih dari dua kali lipat. Peningkatan glukagon juga berperan dalam memobilisasi asam lemak bebas. Di hati dan jaringan lain, asam lemak mengalami katabolisme menjadi acetyl Co A. Sebagian acetyl Co A dibakar bersama residu asam amino untuk menjadi CO2 dan H2O di siklus asam sitrat, namun pasokan melebihi kapasitas jaringan untuk mengkatabolisasi acetyl Co A. Ada gangguan mencolok dalam perubahan acetyl Co A menjadi malonyl Co A untuk kemudian menjadi asam lemak. Kelebihan acetyl Co A diubah menjadi benda keton (ketosis). Dengan demikian, baik gangguan metabolisme protein maupun lemak disebabkan oleh berkurangnya kuantitas maupun kualitas insulin (Kushartatik, 2010: 8-9).
Menurut Ganong, (1998: 336) menyatakan bahwa pada penderita diabetes mellitus juga terjadi perubahan dalam metabolisme protein dalam tubuh.  Pada penderita diabetes mellitus kecepatan katabolisme asam amino menjadi COdan H2O meningkat, selain itu banyak asam amino diubah  menjadi glukosa di hati. Peningkatan perubahan protein menjadi CO2, H2O, dan glukosa ditambah berkurangnya sintesis protein adalah keseimbangan nitrogen negatif, deplesi protein dan tubuh menjadi kurus. Deplesi protein oleh sebab apapun berkaitan dengan penurunan resistensi terhadap infeksi, dan cairan tubuh yang penuh dengan media biakan yang baik untuk mikroorganisme. Hal ini mungkin merupakan sebab mengapa penderita diabetes mellitus rentan terhadap infeksi bakteri.
aminuddin
Aminuddin S.Or.,M.kes Dg Nyampo, Akademisi dan praktisi di bidang ilmu Kesehatan Olahraga.

Related Posts

1 comment

Post a Comment