KPK menetapkan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah sebagai tersangka OTT Gubernur Sulaw…
Realitas Pendidikan Zaman Now
Nadiem Makarim
(Mendikbud)
Oleh : Yuswohady
Prof.
Clayton Christensen, pencipta TEORI DISRUPSI, pada tahun 2014 memberikan
prediksi yang membuat dunia tercengang: “50% dari seluruh UNIVERSITAS di AS
akan bangkrut dalam 10-15 tahun ke depan.” Penyebabnya, karena
universitas-universitas itu terdisrupsi oleh beragam terobosan INOVASI seperti
ONLINE LEARNING dan MOOCs ( Massive Online Open Courses).
Prof.
Christensen bukan satu-satunya yang bicara betapa mencemaskannya
gonjang-ganjing disrupsi yang menerpa dunia pendidikan kita, 65% anak-anak kita
yang kini memulai sekolah nantinya bakal mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang
saat ini belum ada. 75 juta (42%) pekerjaan manusia akan digantikan oleh ROBOT
dan ARTIFICIAL INTELLIGENCE pada tahun
2022 ( World Economic Forum, 2018).
Sekitar
60% universitas di seluruh dunia akan menggunakan TEKNOLOGY VIRTUAL REALITY
(VR) pada tahun 2021 untuk menghasilkan lingkungan pembelajaran yang IMERSIF
(Gartner, 2018).
Peringatan
pakar dan lembaga think tank global tersebut menjadi WAKE UP CALL bagi
STAKEHOLDERS PENDIDIKAN kita. Bahwa kalau dunia pendidikan dikelola dengan
cara-cara yang BAU (BUSINESS AS USUAL) pada akhirnya akan menjadi obsolet, tak
relevan, dan akhirnya melapuk.
Celakanya,
PENDIDIKAN adalah salah-satu institusi yang dikenal PALING SULIT BERUBAH
menghadapi terpaan DISRUPSI. Tak heran, jika kondisi dan metode pembelajaran
hari ini tak jauh berbeda dengan kondisi seabad yang lampau. Menjadi sangat
mencemaskan ketika kita menghadapi kenyataan bahwa dunia pendidikan kita
diterpa TIGA GELOMBANG DISRUPSI yang membuat sistem yang bertahun-tahun
dibangun menjadi usang dan tidak relevan lagi.
DISRUPSI MILENIAL
Dari
sisi anak didik, disrupsi datang dari kaum milenial (dan neo-milenial atau
generasi Z) yang perilaku belajarnya berbeda sama sekali dengan generasi
sebelumnya. Perubahan perilaku ini menuntut perubahan radikal dalam pendekatan
pendidikan kita.
Anak
didik milenial adalah generasi yang highly-mobile, apps-dependent, dan selalu
terhubung secara online ( always connected). Mereka begitu cepat menerima dan
berbagi informasi melalui jejaring sosial. Mereka adalah self-learner yang
selalu mencari sendiri pengetahuan yang mereka butuhkan melalui YouTube atau
Khan Academy. Mereka menolak digurui. Mereka adalah generasi yang sangat melek
visual ( visually-literate), oleh karena itu lebih menyukai belajar secara
visual (melalui video di YouTube, online games, bahkan menggunakan augmented
reality) ketimbang melalui teks (membaca buku) atau mendengar ceramah guru di
kelas.
Mereka
juga sangat melek data ( data-literate) sehingga piawai berselancar di Google
mengulik, memproses, mengurasi, dan menganalisis informasi ketimbang pasif
berkubang di perpustakaan. Itu dilakukan dengan super-cepat melalui 3M :
Multi-media, Multi-platform, dan Multi-tasking.
Dan
mereka lebih nyaman belajar secara kolaboratif di dalam proyek riil atau
pendekatan peer-to-peer melalui komunitas atau jejaring sosial (menggunakan
social learning platform). Bagi mereka peers lebih kredibel ketimbang guru. Dan
ingat, mereka lebih suka menggunakan interactive gaming (gamifikasi) untuk
belajar, ketimbang suntuk mengerjakan PR.
DISRUPSI TEKNOLOGIi
Teknologi
pendidikan juga telah berkembang secara eksponensial sehingga berpotensi
mendisrupsi sekolah tradisional. Berbagai inovasi disrupsi di sektor pendidikan
seperti MOOC, open educational resources (OER), situs tutorial online seperti
RuangGuru atau Khan Academy, social learning platform, personalized/customized
learning, professional learning network (PLN), hingga massively multi-player
online (MMO) learning games kini sedang antri untuk mencapai titik critical
mass. Begitu itu terjadi, kita akan mendapatkan pendekatan pembelajaran baru
yang lebih terbuka, kolaboratif, personal, ekperensial, dan sosial.
Dengan
beragam inovasi tersebut barangkali ruang kelas kurang diperlukan lagi. Guru
akan berubah peran secara drastis sebagai MENTOR, MOTIVATOR dan MODEL. Dan yang
jelas akan tersedia begitu banyak learning channel dan sekolah tak lagi bisa memonopoli
proses pembelajaran.
Sebagai
wahana pembelajaran, sekolah tradisional akan tergeser dari posisi “CORE”
menjadi “PERIPHERAL”. Proses pembelajaran tak melulu di kelas tapi bisa
dilakukan anytime, anywhere, any
platform/device. Guru juga tak hanya yang ada di kelas tapi bisa dari manapun
termasuk “GURU” yang diperankan oleh AI atau AR/VR.
DISRUPSI
KOMPETENSI TEKNOLOGI 4.0 menghasilkan kompetensi (skill-set) baru sekaligus
mendisrupsi kompetensi lama yang tak relevan lagi karena tergantikan oleh ROBOT
dan AI. Tak hanya pekerjaan-pekerjaan yang bersifat repetitif,
pekerjaan-pekerjaan analitis dari beragam profesi seperti dokter, pengacara,
analis keuangan, konsultan pajak, wartawan, akuntan, hingga penerjemah.
The fourth industrial revolution seems
to be creating fewer jobs in new industries than previous revolutions ujar Klaus Schwab pendiri
World Economic Forum dan penulis The Fourth Industrial Revolutions (2016).
Dengan
kemajuan teknologi machine learning, AI, big data analytics, IoT, AR/VR, hingga
3D printing, maka pekerjaan akan bergeser dari manual occupations dan
routine/repetitive jobs ke cognitive/creative jobs. Dan nantinya kesuksesan
ditentukan oleh kemampuan kolaborasi HUMAN + ROBOT. Itu dari sisi hard skill.
Untuk
soft skill, Tony Wagner (2008) merumuskan “Seven
Survival Skills for 21st Century” yaitu: critical thinking and probelm solving;
collaboration across network; agility and adaptability; Initiative and
entrepreneurship; Accessing and analysing information; effective communication;
curiosity and imagination.
Celakanya,
tujuh skill-set itu MINIM diajarkan di sekolah-sekolah kita saat ini. Karena
itu sekolah-sekolah kita HARUS meredefinisi kurikulumnya dengan mengakomodasi
skill-set baru tersebut.
Nadiem Mendikbud
Tiga
disrupsi di atas membutuhkan terobosan kreatif dan pendekatan baru yang tidak
BAU. Paradigma baru yang melahirkan tiga disrupsi tersebut membutuhkan
pendekatan baru yang fresh dan bervisi jauh ke depan. Pendekatan lama dari orang-orang lama yang
puritan dan resisten hanya akan membuat ekosistem pendidikan kita kian terpuruk
dan melapuk.
Dunia
pendidikan kita membutuhkan sosok muda (milenial) yang memiliki default
pemikiran yang fit dengan logika zaman baru yang akan kita masuki. Dalam
konteks inilah pengangkatan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud menemukan
substansi dan urgensinya.
Dunia
pendidikan yang terimbas gelombang besar disrupsi membutuhkan pemimpin
disruptif (disruptive leader) yang mumpuni. Dan seperti telah dibuktikannya di
Go-Jek yang menghadapi challenges yang sama, peran ini seharusnya mampu
dimainkan oleh seorang Nadiem. Setidaknya dalam setahun kepemimpinannya, Nadiem
harus melakukan tiga terobosan kunci.
Pertama,
Dia
harus bisa menemukan “end destination” yang menunjukkan ke ARAH mana sektor
pendidikan kita akan dibawa di tengah pusaran disrupsi. Persis seperti ketika
ia mampu menavigasi Go-Jek menjadi mega-platform dengan multi-layanan.
Kedua,
Dia
harus bisa menanggalkan (unlearn) paradigma lama Kementerian dan melumerkan
(unfreeze) budaya kerja lama yang terlanjur mengeras puluhan tahun agar lincah
bertransformasi. Ini adalah pekerjaan tersulit di tengah birokrasi Kementerian
yang terlanjur gemuk, lambat, kronis.
Ketiga,
Dengan
cepat menghasilkan creative solution untuk memecahkan persoalan-persoalan
kekinian pendidikan kita. Kita menunggu terobosan-terobosannya di Go-Jek dengan
segudang cretive solution dari Go-Ride, Go-Car, Go-Send, Go-Food, hingga Go-Pay
bisa terulang untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan kita.
Banyak
tantangan lama pembangunan pendidikan yang telah bertahun-tahun tak kunjung
bisa dituntaskan seperti: pemerataan pendidikan di seluruh pelosok Nusantara,
tingginya angka putus sekolah, kesenjangan dunia pendidikan dan dunia kerja,
hingga yang paling “jadul” pemberantasan buta huruf di pedesaan.
Namun
jangan lupa, tantangan pendidikan ke depan seperti saya gambarkan dengan tiga
gelombang disrupsi di atas tak kalah urgennya untuk disolusikan. Gagal paham
dan kekeliruan dalam merespons tantangan pendidikan masa depan akan dibayar
mahal oleh bangsa ini: alih-alih menjadi negara maju, Indonesia justru bakal
terjebak ke dalam “middle-income trap” bahkan tergelincir kembali menjadi
negara miskin.
Dan
rupanya Jokowi jeli melihat persoalan pendidikan kita dari perspektif tantangan
masa depan dengan mengangkat Nadiem.
Sumber :
Sindonews.com
Post a Comment
Post a Comment