Theme images by Igniel

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

Jumlah Pengunjung

Archive

Universitas Megarezky

Universitas Megarezky
FKIP Universitas Megarezky

Prodi Pendidikan Jasmani Ada Di Univ. Megarezky

Prodi Pendidikan Jasmani Ada Di Univ. Megarezky
Yukkss Daftarkan Segara Diri Anda untuk menjadi Bagian dari Kami

Ayo Kuliah Di Univ. Megarezky

Ayo Kuliah Di Univ. Megarezky
Pendaftaran Calon Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2020/2021

Translate

Follow Us

Halaman Facebook

Universitas Megarezky

Comment

Bacaan Favorit

Pendidikan Merupakan Awal Sebuah Bangsa Bisa Maju

Post a Comment



 

       Pendidikan sebagai Fundamental Dasar Sebuah Peradaban Maju

Anak anak Sekolah


Diujung abad pertama Islam, muncul Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Bani Umayyah yang kelak oleh para ulama dianugerahi gelar mujaddid (pembaharu) pertama dalam Islam. Gelar pembaharu sebenarnya mempunyai dua sisi yang saling berlawanan; di satu sisi merupakan apresiasi atas peran dan jasa besar yang ditorehkan Umar bin Abdul Aziz bagi umat Islam kala itu. Namun di sisi lain adalah pengakuan atas kondisi umat yang terpuruk dan memilukan sebelum kehadiran sang mujaddid.

Para penguasa dan pejabat Bani Umayyah sebelum Umar bin Abdul Aziz banyak melakukan penyimpangan dari model pemerintahan yang dipraktikan Khulafa’ Rasyidin; monopoli kekuasaan, penyalah-gunaan kebijakan keuangan negara, pajak ilegal (tidak sesuai syari`at), kesenjangan sosial, dan sekian banyak dampak negatif yang ditimbulkannya adalah sekelumit persoalan yang dialami umat Islam masa itu. Kondisi ini tentu saja dipandang sebagai kemunduran yang luar biasa bila mengacu kepada pencapaian-pencapaian gemilang Khulafa’ Rasyidin sebelumnya.

Di tengah keterpurukan itulah, Umar bin Abdul Aziz tampil dan mengubah segalanya. Meski masih berdarah Umayyah, kebijakan-kebijakan Umar tidak hanya berbeda, namun mengubah secara radikal segenap kebijakan para pendahulunya. Suksesi khilafah dikembalikan kepada keputusan syura, kebijakan keuangan diperbaiki, pejabat-pejabat zalim diganti dan kekayaan ilegal mereka ditarik, pajak ilegal yang ketika itu disebut al-mukus dihapus, tunjangan rakyat kembali diberikan secara adil, dan seterusnya. Hasilnya sangat mencengangkan. Meski hanya memerintah sekitar dua tahun saja, kondisi umat Islam berubah drastis menjadi sejahtera, tenteram, damai, dan aman.

Penuturan Yahya bin Sa`id, seorang pejabat dinas sosial di masa Umar bin Abdul Aziz dapat menjadi contoh gambaran kondisi masyarakat waktu itu. Ali ash-Shallabi mengutip penuturan tersebut dalam bukunya, al-Khalifatur Rasyid wal Mushlih al-Kabir Umar bin Abdil Aziz, seperti berikut, “Umar bin Abdul Aziz mengangkatku sebagai pegawai zakat di Afrika. Setelah memungut zakat, aku lantas mencari kaum fakir yang berhak menerimanya. Tapi aku dan beberapa pejabat lainnya tidak mendapati seorang pun kaum fakir di sana, sehingga tidak ada yang mengambil harta zakat yang ada di tanganku. Umar bin Abdul Aziz benar-benar telah mensejahterakan rakyat. Akhirnya, aku gunakan harta zakat itu untuk membeli sejumlah budak dan langsung memerdekakan mereka.”

Dengan segala kehebatan dan pencapaian gemilangnya, satu pertanyaan layak dimunculkan, apakah fenomena Umar bin Abdul Aziz muncul secara kebetulan, atau lahir dari sebuah proses yang terarah dan disengaja? Sebenarnya jawaban pertanyaan ini tidak sulit, tapi cenderung terlupakan. Banyak orang yang beranggapan Umar bin Abdul Aziz tampil begitu saja di pentas sejarah sebagai bagian dari kuasa takdir yang menghendaki perubahan di masa itu. Betul, segala sesuatu tidak lepas dari takdir, tapi dalam tataran manusiawi segalanya berproses sesuai hukum sebab akibat.

Bila dicermati lebih dalam, ada beberapa hal unik dalam perjalanan hidup Umar bin Abdul Aziz. Meski lahir dari keluarga penguasa Bani Umayyah; ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, gubernur Mesir, sedang kakeknya, Marwan bin Hakam, dan pamannya, Abdul Malik bin Marwan adalah Khalifah, namun Umar dibesarkan di tengah keluarga ulama, Abdullah bin Umar bin Khaththab, yang juga masih merupakan paman ibunya.

Kisahnya bermula ketika Abdul Aziz bin Marwan, ayah Umar, diangkat jadi Gubernur Mesir. Menurut Ibnu Abdil Hakam, setelah menetap beberapa saat sendirian, Abdul Aziz mengirim surat kepada istrinya di Madinah untuk membawa seluruh anggota keluarganya pindah ke Mesir. Tapi ketika hendak berangkat, Abdullah bin Umar menahannya sejenak dan berkata, “Silakan pergi tapi tinggalkan anakmu yang satu ini (Umar bin Abdul Aziz) bersama kami, karena ia lebih mirip keluarga kami.”

Sikap Abdullah bin Umar ini ternyata didukung sepenuhnya oleh Abdul Aziz. Ia bahkan meminta secara khusus kepada salah seorang ulama terkenal Madinah, Shalih bin Kaisan, untuk menjadi pembimbing pribadi anaknya yang masih kecil itu. Umar pun tumbuh ditengah lingkungan kota Madinah yang secara politik cenderung bersikap netral dan tidak sepenuhnya pro Bani Umayyah, sekaligus dibawah bimbingan ulama-ulama besar. Umar berguru kepada 33 ulama, delapan di antaranya adalah sahabat Nabi SAW dan selebihnya dari generasi tabi`in. Di antara para ulama yang paling berpengaruh dalam membentuk kepribadian Umar, selain Abdullah bin Umar dan Shalih bin Kaisan, adalah Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, salah seorang al-fuqaha’ as-sab`ah (tujuh ulama terkemuka Madinah), Salim bin Abdullah,  dan Sa`id bin Musayyib, seorang ulama wara` yang tidak pernah mau menghadiri undangan penguasa Bani Umayyah, selain Umar bin Abdul Aziz ketika menjadi gubernur Madinah.

Pengaruh lingkungan Madinah dan para ulama terasa sangat kental dalam diri Umar bin Abdul Aziz. Hal ini tampak ketika ia menjabat gubernur Madinah hingga menjadi Khalifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik. Umar membentuk sebuah dewan penasihat Khalifah yang keanggotaannya terdiri dari ulama-ulama besar. Begitu pula para pejabat penting, seperti gubernur dan bendahara, diangkat dari kalangan ulama. Sebagai contoh, Isma`il bin Abu Muhajir di Afrika, Adi bin Adi al-Kindi di Armenia dan Azerbaijan, Ubadah bin Nasi di Jordan, Urwah bin Athiyyah di Yaman, dan Salim bin Wabishah di Raqqah. Maimun bin Mihran sebagai pengawas pajak di Jazirah, Shalih bin Jabir sebagai pengawas pajak di daerah lain, Wahb bin Munabbih sebagai bendahara di Yaman, juga Abu Zinad dan Umar bin Maimun.

Fakta di atas menunjukkan, bahwa keberhasilan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz lebih banyak ditentukan oleh faktor pendidikannya di tengah lingkungan para ulama ketimbang inspirasi politik yang diwarisi dari darah bangsawan keluarganya. Melihat peran signifikan para ulama dalam pemerintahannya, Umar bin Abdul Aziz tidak hanya melakukan sebuah revolusi birokrasi atau politik biasa, tapi revolusi pendidikan yang melahirkan perubahan besar dalam bidang-bidang tersebut.

 

Melahirkan Generasi

Sahalahuddin al-Ayyubi

Pendidikan kembali tampil sebagai unsur terpenting perubahan pada masa perang Salib. Tepatnya pada akhir abad kelima Hijriyah, saat kaum muslim mengalami kekalahan melawan Eropa. Peristiwa ini merupakan salah satu tragedi yang sangat memilukan dalam perjalanan sejarah umat Islam. Puluhan ribu muslim dibantai, harta kekayaan dirampas, dan kehormatannya dinodai. Apa yang sebenarnya terjadi? Fakta sejarah menunjukkan beberapa penyebab kekalahan Islam dalam perang Salib dikarenakan adanya ketidak-beresan dalam tubuh umat Islam itu sendiri, seperti ragam penyimpangan kolektif yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat setelah ditinggalkan oleh salafush shalih yang merambat ke seluruh lapisan umat Islam.

Artinya, umat Islam saat itu mengalami keterpurukan internal dan eksternal sekaligus. Menjamurnya faham-faham destruktif seperti bathiniyyah (aliran kebatinan),  syi`ah ekstrim, dan komunalisme mazhab, menggerogoti kesatuan dan imunitas internal umat sehingga berdampak buruk terhadap kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Institusi Khilafah yang masih eksis seakan lumpuh dan tidak sanggup membendung arus kerusakan dan kemerosotan multi dimensi, yang pada digilirannya tidak mampu menghadapi serangan-serangan pihak luar, terutama pasukan Salib Eropa.

Kondisi chaos yang dialami umat Islam ini dipaparkan dengan apik oleh Dr. Majid al-Kilani dalam karyanya, Hakadza Zhahara Jil Shalahiddin wa Hakadza `Adat al-Quds. Buku analisis sejarah ini menuding disorientasi pendidikan sebagai penyebab kemunduran dan kelemahan umat Islam di masa awal perang Salib. Kesimpulan ini diambil setelah penelitian yang mendalam terhadap faktor-faktor yang membangkitkan umat yang ditandai dengan munculnya fenomena Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.

    Al-Kilani mengungkapkan bahwa dalam rentang sekitar setengah abad, terhitung sejak invasi pasukan Salib ke Palestina hingga munculnya perlawanan berimbang oleh Nuruddin Zanki dan dilanjutkan kemenangan yang diraih oleh Shalahuddin al-Ayyubi, ada sebuah gerakan kolektif yang teroganisir dengan rapi dan solid. Uniknya, bukan sebuah gerakan militer yang dikomandoi oleh institusi politik yang ada saat itu, termasuk Khalifah sekalipun, melainkan gerakan keilmuan dan pendidikan yang dipelopori oleh ulama-ulama besar yang memiliki corak pemikiran dan garis perjuangan yang sama, seperti Abu Hamid al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jilani, Abu Madyan al-Maghribi, Zainuddin Ibnu Naja, al-Qadhi al-Fadhil, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, dan lain-lain. Dari gerakan inilah lahir bukan sekadar sosok, tapi generasi Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mengembalikan kekuatan, martabat dan kegemilangan umat

(editor)

aminuddin
Aminuddin S.Or.,M.kes Dg Nyampo, Akademisi dan praktisi di bidang ilmu Kesehatan Olahraga.

Related Posts

Post a Comment