Pendidikan Merupakan Awal Sebuah Bangsa Bisa Maju
Pendidikan sebagai Fundamental Dasar Sebuah Peradaban Maju
Para penguasa dan pejabat Bani Umayyah sebelum Umar bin Abdul Aziz banyak melakukan penyimpangan dari model pemerintahan yang dipraktikan Khulafa’ Rasyidin; monopoli kekuasaan, penyalah-gunaan kebijakan keuangan negara, pajak ilegal (tidak sesuai syari`at), kesenjangan sosial, dan sekian banyak dampak negatif yang ditimbulkannya adalah sekelumit persoalan yang dialami umat Islam masa itu. Kondisi ini tentu saja dipandang sebagai kemunduran yang luar biasa bila mengacu kepada pencapaian-pencapaian gemilang Khulafa’ Rasyidin sebelumnya.
Di tengah keterpurukan itulah, Umar bin Abdul Aziz
tampil dan mengubah segalanya. Meski masih berdarah Umayyah,
kebijakan-kebijakan Umar tidak hanya berbeda, namun mengubah secara radikal
segenap kebijakan para pendahulunya. Suksesi khilafah dikembalikan kepada keputusan
syura, kebijakan keuangan diperbaiki, pejabat-pejabat zalim diganti dan
kekayaan ilegal mereka ditarik, pajak ilegal yang ketika itu disebut al-mukus dihapus,
tunjangan rakyat kembali diberikan secara adil, dan seterusnya. Hasilnya sangat
mencengangkan. Meski hanya memerintah sekitar dua tahun saja, kondisi umat
Islam berubah drastis menjadi sejahtera, tenteram, damai, dan aman.
Penuturan Yahya bin Sa`id, seorang pejabat dinas
sosial di masa Umar bin Abdul Aziz dapat menjadi contoh gambaran kondisi masyarakat
waktu itu. Ali ash-Shallabi mengutip penuturan tersebut dalam bukunya, al-Khalifatur
Rasyid wal Mushlih al-Kabir Umar bin Abdil Aziz, seperti berikut,
“Umar bin Abdul Aziz mengangkatku sebagai pegawai zakat di Afrika. Setelah
memungut zakat, aku lantas mencari kaum fakir yang berhak menerimanya. Tapi aku
dan beberapa pejabat lainnya tidak mendapati seorang pun kaum fakir di sana,
sehingga tidak ada yang mengambil harta zakat yang ada di tanganku. Umar bin
Abdul Aziz benar-benar telah mensejahterakan rakyat. Akhirnya, aku gunakan
harta zakat itu untuk membeli sejumlah budak dan langsung memerdekakan mereka.”
Dengan segala kehebatan dan pencapaian gemilangnya,
satu pertanyaan layak dimunculkan, apakah fenomena Umar bin Abdul Aziz muncul
secara kebetulan, atau lahir dari sebuah proses yang terarah dan disengaja?
Sebenarnya jawaban pertanyaan ini tidak sulit, tapi cenderung terlupakan.
Banyak orang yang beranggapan Umar bin Abdul Aziz tampil begitu saja di pentas
sejarah sebagai bagian dari kuasa takdir yang menghendaki perubahan di masa
itu. Betul, segala sesuatu tidak lepas dari takdir, tapi dalam tataran
manusiawi segalanya berproses sesuai hukum sebab akibat.
Bila dicermati lebih dalam, ada beberapa hal unik
dalam perjalanan hidup Umar bin Abdul Aziz. Meski lahir dari keluarga penguasa
Bani Umayyah; ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, gubernur Mesir, sedang
kakeknya, Marwan bin Hakam, dan pamannya, Abdul Malik bin Marwan adalah
Khalifah, namun Umar dibesarkan di tengah keluarga ulama, Abdullah bin Umar bin
Khaththab, yang juga masih merupakan paman ibunya.
Kisahnya bermula ketika Abdul Aziz bin Marwan, ayah
Umar, diangkat jadi Gubernur Mesir. Menurut Ibnu Abdil Hakam, setelah menetap
beberapa saat sendirian, Abdul Aziz mengirim surat kepada istrinya di Madinah
untuk membawa seluruh anggota keluarganya pindah ke Mesir. Tapi ketika hendak
berangkat, Abdullah bin Umar menahannya sejenak dan berkata, “Silakan pergi
tapi tinggalkan anakmu yang satu ini (Umar bin Abdul Aziz) bersama kami, karena
ia lebih mirip keluarga kami.”
Sikap Abdullah bin Umar ini ternyata didukung
sepenuhnya oleh Abdul Aziz. Ia bahkan meminta secara khusus kepada salah
seorang ulama terkenal Madinah, Shalih bin Kaisan, untuk menjadi pembimbing
pribadi anaknya yang masih kecil itu. Umar pun tumbuh ditengah lingkungan kota
Madinah yang secara politik cenderung bersikap netral dan tidak sepenuhnya pro
Bani Umayyah, sekaligus dibawah bimbingan ulama-ulama besar. Umar berguru
kepada 33 ulama, delapan di antaranya adalah sahabat Nabi SAW dan selebihnya
dari generasi tabi`in. Di antara para ulama yang paling berpengaruh dalam
membentuk kepribadian Umar, selain Abdullah bin Umar dan Shalih bin Kaisan, adalah
Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, salah seorang al-fuqaha’
as-sab`ah (tujuh ulama terkemuka Madinah), Salim bin
Abdullah, dan Sa`id bin Musayyib,
seorang ulama wara` yang tidak pernah mau menghadiri undangan penguasa
Bani Umayyah, selain Umar bin Abdul Aziz ketika menjadi gubernur Madinah.
Pengaruh lingkungan Madinah dan para ulama terasa
sangat kental dalam diri Umar bin Abdul Aziz. Hal ini tampak ketika ia menjabat
gubernur Madinah hingga menjadi Khalifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik.
Umar membentuk sebuah dewan penasihat Khalifah yang keanggotaannya terdiri dari
ulama-ulama besar. Begitu pula para pejabat penting, seperti gubernur dan
bendahara, diangkat dari kalangan ulama. Sebagai contoh, Isma`il bin Abu
Muhajir di Afrika, Adi bin Adi al-Kindi di Armenia dan Azerbaijan, Ubadah bin
Nasi di Jordan, Urwah bin Athiyyah di Yaman, dan Salim bin Wabishah di Raqqah.
Maimun bin Mihran sebagai pengawas pajak di Jazirah, Shalih bin Jabir sebagai
pengawas pajak di daerah lain, Wahb bin Munabbih sebagai bendahara di Yaman,
juga Abu Zinad dan Umar bin Maimun.
Fakta di atas menunjukkan, bahwa keberhasilan
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz lebih banyak ditentukan oleh faktor
pendidikannya di tengah lingkungan para ulama ketimbang inspirasi politik yang
diwarisi dari darah bangsawan keluarganya. Melihat peran signifikan para ulama
dalam pemerintahannya, Umar bin Abdul Aziz tidak hanya melakukan sebuah
revolusi birokrasi atau politik biasa, tapi revolusi pendidikan yang melahirkan
perubahan besar dalam bidang-bidang tersebut.
Melahirkan Generasi
Sahalahuddin al-Ayyubi
Pendidikan kembali tampil sebagai unsur terpenting
perubahan pada masa perang Salib. Tepatnya pada akhir abad kelima Hijriyah,
saat kaum muslim mengalami kekalahan melawan Eropa. Peristiwa ini merupakan
salah satu tragedi yang sangat memilukan dalam perjalanan sejarah umat Islam.
Puluhan ribu muslim dibantai, harta kekayaan dirampas, dan kehormatannya
dinodai. Apa yang sebenarnya terjadi? Fakta sejarah menunjukkan beberapa
penyebab kekalahan Islam dalam perang Salib dikarenakan adanya ketidak-beresan
dalam tubuh umat Islam itu sendiri, seperti ragam penyimpangan kolektif yang
dilakukan oleh berbagai lapisan umat setelah ditinggalkan oleh salafush shalih yang merambat ke
seluruh lapisan umat Islam.
Artinya, umat Islam saat itu mengalami keterpurukan
internal dan eksternal sekaligus. Menjamurnya faham-faham destruktif seperti bathiniyyah (aliran
kebatinan), syi`ah ekstrim, dan
komunalisme mazhab, menggerogoti kesatuan dan imunitas internal umat sehingga
berdampak buruk terhadap kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Institusi
Khilafah yang masih eksis seakan lumpuh dan tidak sanggup membendung arus
kerusakan dan kemerosotan multi dimensi, yang pada digilirannya tidak mampu
menghadapi serangan-serangan pihak luar, terutama pasukan Salib Eropa.
Kondisi chaos yang dialami umat Islam ini dipaparkan dengan apik oleh Dr. Majid al-Kilani dalam karyanya, Hakadza Zhahara Jil Shalahiddin wa Hakadza `Adat al-Quds. Buku analisis sejarah ini menuding disorientasi pendidikan sebagai penyebab kemunduran dan kelemahan umat Islam di masa awal perang Salib. Kesimpulan ini diambil setelah penelitian yang mendalam terhadap faktor-faktor yang membangkitkan umat yang ditandai dengan munculnya fenomena Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.
Al-Kilani mengungkapkan bahwa dalam rentang sekitar setengah abad, terhitung sejak invasi pasukan Salib ke Palestina hingga munculnya perlawanan berimbang oleh Nuruddin Zanki dan dilanjutkan kemenangan yang diraih oleh Shalahuddin al-Ayyubi, ada sebuah gerakan kolektif yang teroganisir dengan rapi dan solid. Uniknya, bukan sebuah gerakan militer yang dikomandoi oleh institusi politik yang ada saat itu, termasuk Khalifah sekalipun, melainkan gerakan keilmuan dan pendidikan yang dipelopori oleh ulama-ulama besar yang memiliki corak pemikiran dan garis perjuangan yang sama, seperti Abu Hamid al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jilani, Abu Madyan al-Maghribi, Zainuddin Ibnu Naja, al-Qadhi al-Fadhil, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, dan lain-lain. Dari gerakan inilah lahir bukan sekadar sosok, tapi generasi Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mengembalikan kekuatan, martabat dan kegemilangan umat
(editor)
Post a Comment
Post a Comment