Perubahan Faali pada keadaan Imobilisasi lama
A. Latar Belakang
Imobilisasi
atau tirah baring adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara
aktif atau bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas ). Berbagai
hal dapat menyebabkan terjadinya imobilisasi, diantaranya gangguan sendi dan
tulang, penyakit saraf, penyakit jantung dan pernafasan dan gangguan
pengelihatan. Semakin lama seseorang berada dalam keadaan istirahat, maka
semakin besar kemungkinan untuk terjadinya perubahan-perubahan pada dirinya,
baik fisik maupun psikis. Dengan demikian, akibat dari imobilisasi tersebut
dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperberat kondisi pasien dan
memperlambat penyembuhan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Perubahan-perubahan apa sajakah
yang terjadi pada keadaan Imobilisasi Lama (Prolonged Bed Rest).
C. Tujuan
A. Pengertian
Imobilisasi
atau tirah baring adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara aktif
atau bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas ). Misalnya
mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada
ekstremitas, dan sebagainya. Imobilisasi secara fisik, merupakan pembatasan
untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan
komplikasi pergerakan.
B. Perubahan Faali pada keadaan Imobilisasi lama
1. Perubahan
Metabolisme
Pembatasan aktivitas dengan cara beristirahat di tempat
tidur akan menimbulkan gangguan keseimbangan metabolik, perubahan yang terjadi
antara lain:
· -Menurunkan kecepatan metabolisme : Bed-rest menurunkan Basal Metabolic Rate (BMR) pasien, pasien yang BMR-nya turun menyebabkan energi untuk perbaikan sel-sel tubuh berkurang, yang secara langsung berhubungan dengan gangguan oksigen sel.
· Atropi jaringan dan katabolisme protein : Selama immobilisasi, proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Kejadian ini lebih jauh atau potensial menimbulkan atropi jaringan.
· Keseimbangan Nitrogen (N) :Penderita yang berposisi tidur dalam jangka waktu yang lama (prolonged bed-rest), pada akhir minggu pertama mulai terjadi keseimbangan N yang negatif, yang menunjukkan adanya kerusakan protein dalam tubuh (terutama protein otot). Diduga terjadi penurunan sintesa/pembentukan protein, sedangkan proses pemecahan protein tidak mengalami perubahan. Immobilisasi selama 7 minggu akan memerlukan waktu pemulihan (recovery) selama 7 minggu juga, untuk kembali ke keadaan normal (keseimbangan positif). Pada orang sakit membutuhkan waktu pemulihan yang lebih panjang, keseimbangan N yang negatif dapat menurunkan kecepatan penyembuhan. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan: Program latihan selama periode bedrest dan diet tinggi protein.
2. Ketidakseimbangan
Cairan Dan Elektrolit
Saat persediaan protein menipis, maka konsentrasi protein
serum akan berkurang dan mengganggu keseimbangan cairan tubuh. Selain itu,
aliran cairan intravaskuler ke intestinal juga terbatas, sehingga timbul edema.
Ketidakseimbangan ini tergantung pada umur pasien, tingkat kesehatan, dan
fungsi ginjal. Hiperkalsemia dihasilkan dari demineralisasi tulang, umumnya
dijumpai pada pasien yang immobilisasi lama dan mengalami ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit (Brooks & Fahey, 1984:563).
· Demineralisasi tulang : Demineralisasi tulang terjadi selama immobilisasi, menyebabkan disuse osteoporosis. Demineralisasi tulang ini dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu: menurunnya aktivitas otot dan menurunnya aktivitas tubuh. Pasien yang immobilisasi aktivitasnya menjadi terbatas dan tidak ada penopang berat badan pada tulang panjang di ekstremitas bawah. Dengan meningkatnya daya demineralisasi tulang, resorpsi kalium menyebabkan kalsium masuk ke dalam darah sehingga terjadi hiperkalsemia.
· Batu di saluran kencing : Pembentukan batu di saluran kencing pada penderita bed-rest, disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Adanya
proses osteoporosis, sehingga terjadi hiperkalsemia selanjutnya hiperkalsiuria.
2. Diet
di rumah sakit yang biasanya kadar Ca-nya tinggi mengakibatkan hiperkalsiuria.
3. Meskipun
bukan berupa kandung kencing neurogenik, bed-rest sendiri menyebabkan terjadinya
stagnasi urine pada saluran kencing sampai pada struktur pelvis ginjal. Selain
disebabkan karena posisi berbaring, juga disebabkan karena hipotonia yang
relatif terjadi pada otot kandung kencing.
4. Stagnasi urin, memudahkan terjadinya infeksi
kandung kencing dan saluran kencing diatasnya. Hal ini memudahkan terjadinya
inti batu yang kecil, selanjutnya akan bertambah besar. Batu saluran kencing
sendiri, memudahkan terjadinya infeksi di saluran kencing (Hamid, 1992:32).
Pencegahan:
1. Sesegera
mungkin melakukan mobilisasi – ambulasi
2. Minum
banyak, diet tidak tinggi Ca.
3. Jika
perlu program latihan kandung kencing (bladder training) Pemeriksaan
rutin urin, jika ada tanda-tanda infeksi dapat diterapi secara adekuat.
3. Gangguan
Dalam Perubahan Nutrisi
Karena menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat menyebabkan terganggunya fungsi kardiovaskuler dan respirasi, perubahan zat-zat makanan pada tingkat sel menurun. Sel tidak menerima cukup glukosa, asam amino dan lemak atau oksigen yang cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme. Tekanan jaringan tubuh yang berlebihan karena immobilisasi dapat menurunkan sirkulasi lokal ke jaringan. Jika tekanan lebih dari dua jam, jaringan benar-benar membutuhkan nutrien dan oksigen karena sel mulai mati (Kusnanto, 2006:5 dalam Yudi Prasetyo). Keadaan seperti inilah yang mendorong terjadinya luka dekubitus.
4. Perubahan
Paru
Immobilisasi
dapat juga menurunkan ekspansi paru karena terjadi tekanan yang berlebihan pada
permukaan paru-paru. Menurunnya ekspansi paru terjadi karena penurunan volume
udara yang masuk, terjadinya perubahan antara paru-paru, peredaran darah dan
peningkatan sekresi respirasi (Sari, 2005:3).
· Hipostatik Pneumonia : Bedrest yang lama dapat menimbulkan kongesti paru-paru dan infeksi (pneumonia). Jika penderita mengalami batuk, sesak napas dan panas, perlu diingat komplikasi ini. Pneumonia adalah penyakit akut atau kronik yang ditandai dengan peradangan pada paru-paru dan disebabkan karena virus, bakteri atau mikroorganisme yang lain (Guyton, 1995:262).
Pencegahan:
dengan merubah posisi setiap 2 jam, termasuk posisi menegakkan dada, latihan
nafas dalam (deep breathing exercise), jika ada indikasi: drainase
postural.
5. Perubahan
Kardiovaskuler
Sistem
kardiovaskuler juga dipengaruhi oleh immobilisasi, perubahan yang terjadi
adalah orthostatic hipotensi, meningkatnya kerja jantung, dan
pembentukan thrombus. Pasien yang immobilisasi lama (prolonged bed-rest)
akan mengalami resiko terjadinya orthostatic hipotensi karena terjadi
penurunan kemampuan saraf otonom untuk memenuhi persediaan darah dalam tubuh.
Respon simpatis ini menyebabkan terjadinya vasokontriksi
perifer yang mencegah terbendungnya darah pada ekstremitas bawah dan
mempertahankan tekanan arteri. Pasien yang immobilisasi, tidak hanya
vasokontriksi perifer yang menyebabkan darah terkumpul atau terbendung pada
ekstremitas bawah. Pada gilirannya aliran vena kembali ke jantung, menyebabkan
penurunan cardiac output dan tekanan darah, sehingga pasien merasakan
pusing pada saat bangun bahkan sampai pingsan (Kusnanto, 2006:5dalam Yudi
Prasetyo).
Immobilisasi yang lama juga menyebabkan penurunan pada
tonus otot, yang mendukung terjadinya orthostatic hipotensi. Penurunan
tonus otot pada tungkai akan mengurangi aliran darah pada pembuluh darah vena
besar di ekstremitas bawah. Walaupun orthostatic hipotensi tidak dapat
dicegah tapi efeknya dapat diminimalkan.
· Meningkatkan daya kerja jantung :Pasien yang immobilisasi pada posisi horizontal akan mengalami peningkatan daya kerja jantung. Pada posisi normal darah yang terkumpul ekstremitas bawah bergerak meningkatkan aliran vena ke jantung, sehingga jantung harus meningkatkan kerjanya (Shephard, 1985:396 dalam Yudi Prasetyo).
Pada penderita usia lanjut akan menunjukkan komplikasi kardiovaskular dengan lebih cepat. Karena itu harus lebih berhati-hati terhadap penderita usia lanjut. Bed-rest yang lama akan menyebabkan terjadinya peningkatan denyut jantung permenit (heart rate).
· Hipotensi ortostatik : Hipotensi ortostatik adalah keadaan beberapa saat akibat insufisiensi respon kompensasi terhadap pergeseran darah karena pengaruh gravitasi yang terjadi saat seseorang berpindah dari posisi horizontal ke posisi vertikal (Sherwood, 2002:337).
Bed-rest yang lama membuat berkurangnya
daya kontraksi reflektoris vaskular, akibatnya sewaktu penderita ditegakkan
terjadi dilatasi pembuluh-pembuluh darah dalam abdomen dan ekstremitas bawah,
sehingga tekanan darah turun dengan cepat. Keadaan hipotensi ortostatik ini
ditandai dengan pusing (vertigo), pucat, keluar keringat, jika berdiri akan
terasa nyeri di kaki dan tungkai bagian bawah, dapat pingsan (Ganong, 2003:605).
Jika posisi tegak dipertahankan juga meskipun sudah ada tanda-tanda tersebut,
maka akan mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan otak yang permanen karena
anoxia (Brooks & Fahey, 1984:563). Yang lebih parah lagi, dapat
menyebabkan terjadinya kematian.
Hal-hal tersebut diatas akan mengganggu atau memperlambat
program rehabilitasi. Oleh karena itu komplikasi ini dicegah, dengan secepat
mungkin memobilisasi dan melatih duduk serta berdiri pada penderita. Begitu
penderita menunjukkan toleransi pada latihan duduk, maka ”program kursi roda”
bagi penderita harus dimulai. Apabila telah terjadi tanda-tanda perubahan
hipotensi ortostatik tersebut, maka dilakukan program menegakkan penderita.
Awalnya penderita disuruh melakukan posisi duduk terlebih dahulu, kemudian baru
berdiri, harus dilakukan secara bertahap, sambil dimonitor tanda-tanda vital,
seperti: denyut nadi, pernapasan dan tekanan darah (Hamid, 1992:30).
· Pembentukan trombus : Pembentukan trombus merupakan salah satu bahaya utama dari sistem kardiovaskuler akibat immobilisasi. Trombus terjadi karena immobilisasi peningkatan statis vena, iperkoagulability dan tekanan luar yang melawan vena (Guyton, 1995:114). Vena statis merupakan hasil penurunan dari kontraksi-kontraksi muskuler.
Kurangnya gerakan pada ekstremitas bawah dan posisi yang
tidak berubah (immobilisasi) dapat menimbulkan thrombophlebitis atau trombosis
vena (lihat gambar). Selanjutnya keadaan ini bisa menimbulkan emboli paru-paru
yang bisa berakibat fatal. Jika penderita mengeluh nyeri pada ekstremitas
bawah, terutama betis, nampak edema dan terdapat nyeri tekan pada betis, harus
diingat ada kemungkinan adanya tromboplebitis ini. Jika ada keluhan nyeri dada,
sesak napas dan batuk darah pada penderita bed-rest dengan immobilisasi
tungkai, perlu diingat kemungkinan adanya emboli paru-paru (Hamid, 1992:36).
Pencegahan komplikasi ini adalah dengan latihan tungkai dan kaki aktif maupun pasif. :Minimal yang harus dilakukan adalah “ankle pumping exercise” yaitu latihan menggerakgerakkan pergelangan kaki: fleksi (dorsifleksi) dan ekstensi (plantarfleksi) aktif secara maksimal. Jika ini tidak mungkin, maka meninggikan letak kaki dan pemberian bebat elastik mungkin dapat menolong.
6. Perubahan
Otot
· Gangguan skeletal : Immobilisasi menyebabkan gangguan utama dalam sistem skeletal yaitu: kontraktur sendi dan osteoporosis. Kontraktur sendi termasuk sistem otot dan skeletal.
· Gangguan pada otot : Bila otot tidak digunakan/hanya melakukan aktivitas ringan (seperti: tidur dan duduk) maka terjadi penurunan kekuatan otot sekitar 5% dalam tiap harinya, atau setelah 2 minggu dapat menurun sekitar 50%. Keadaan seperti ini sangatlah mengganggu program ambulasi, misalnya pada penderita hemiplegia. Karena tungkai yang sehat menjadi lemah karena tidak digunakan (disuse). Padahal saat mulai ambulasi, beban yang ditumpu menjadi lebih berat daripada massa sebelum sakit (karena sebelum sakit ditopang kedua tungkai dengan seimbang). Maka diperlukan program latihan khusus yang berfungsi untuk mempertahankan kekuatan atau memperkuat bagian otot yang sehat tersebut. Juga untuk penderita paraplegia, pentingnya pemberian latihan untuk mempertahankan kekuatan otot pada ekstremitas atas (Hamid, 1992:29). Misalnya dengan melakukan kegiatan berpindah tempat (transfer activities) dan latihan jalan menggunakan tongkat ketiak.
Disamping terjadi kelemahan otot, juga terjadi atrofi
otot (disuse athrophy). Hal ini disebabkan karena serabut-serabut otot
tidak berkontraksi dalam waktu yang cukup lama, sehingga perlahan-lahan akan
mengecil (atrofi), dimana terjadi perubahan perbandingan antara serabut otot
dan jaringan fibrosa. Atrofi otot sering terjadi pada anggota gerak yang
diletakkan dalam pembungkus gips, sehingga dapat mencegah terjadinya kontraksi
otot (Guyton, 1995:111). Bila dilakukan latihan, ukuran serabut-serabut otot
akan kembali bertambah. Untuk mengukur potensial aksi suatu otot dapat
menggunakan elektromiogram (EMG).
Menurunnya fungsi kapasitas otot ini ditandai dengan
menurunnya stabilitas, penurunan massa otot dan kemudian menurunnya kekuatan
yang secara langsung sehubungan dengan disuse dan gangguan nutrisi
karena immobilisasi. Meningkatnya katabolisme dan berkurangnya anabolisme
menghasilkan pengurangan baik jumlah dan ukuran sel (Sari, 2005:3). Kondisi berkurangnya
massa otot ini sering dihungkan dengan atropi otot.
Jika suatu otot tidak digunakan dalam waktu yang lama,
maka kandungan aktin dan miosinnya akan berkurang, serat-seratnya menjadi lebih
kecil. Keadaan yang seperti ini disebut dengan atropi otot. Menurut Sherwood
(2001:237), atrofi otot dapat terjadi melalui dua cara:
1. Atropi denervasi terjadi setelah pasokan syaraf ke
suatu otot terputus. Apabila otot dirangsang secara listrik sampai persyarafan
dapat dipulihkan, seperti pada regenerasi saraf perifer yang terputus, atropi
dapat dihilangkan tetapi tidak dapat dicegah seluruhnya.
2. Disuse atrophy terjadi jika suatu otot tidak
digunakan dalam jangka waktu lama walaupun persyarafannya utuh, seperti ketika
seseorang harus menggunakan gips atau berbaring untuk jangka waktu yang lama.
Atropi ini dihasilkan dari immobilisasi yang teramati dan
terukur. Contoh: otot betis pada seseorang yang telah dirawat selama 6 minggu,
nampak menjadi lebih kecil daripada sebelum immobilisasi. Selain menjadi
atropi, otot-otot tersebut juga menjadi lemah. Jika pasien tersebut tidak mau
melakukan latihan mobilisasi, maka akan terjadi beberapa gangguan dan mengalami
penurunan stabilitas fisik.
Kelemahan otot dan atrofi otot yang berhubungan dengan
denervasi total adalah irreversible, kecuali jika ada reinervasi atau
perbaikan syaraf misalnya dengan penyambungan. Pencegahan terhadap terjadinya disuse
ini, dilakukan dengan latihan penguatan (strenghthening exercise),
kecuali untuk kasus denervasi. Untuk mencegah terjadinya atrofi, dapat dilakukan
dengan memberikan rangsangan listrik pada otot-otot yang mengalami denervasi,
sambil menunggu proses terjadinya reinervasi/regenerasi syaraf (Hamid,
1992:29).
Latihan isometrik dilakukan dengan kerja otot melawan
tahanan atau beban yang tidak bergerak, atau menahan suatu obyek pada suatu
posisi statik. Hettinger dan Muller menyimpulkan bahwa penambahan kekuatan
sebesar 5% per minggu diperoleh melalui satu kontraksi isometrik selama 6
detik, pada 2/3 kekuatan isometrik maksimum, dan dilakukan sekali sehari.
Peningkatan optimal kekuatan otot dapat dicapai, atau dengan sejumlah kecil
kontraksi untuk waktu (duration) lama, atau dengan sejumlah besar
kontraksi dalam waktu singkat. Sebagai contoh, 7 kontraksi selama 1 menit pada
30% kekuatan isometrik maksimal setiap hari atau 42 kontraksi isometrik maksimal
selama 3 detik dengan masa latihan 6 minggu, keduanya menghasilkan 30% peningkatan
kekuatan isometrik.
7.
Kontraktur
sendi
Kontraktur sendi adalah pembatasan luas gerak sendi, yang
disebabkan oleh pemendekan struktur jaringan lunak sekitar sendi. Kontraktur
sendi bisa terjadi karena immobilisasi yang lama, sendi menjadi lebih lama
berada dalam satu posisi tertentu, tidak bergerak melalui seluruh luas geraknya
(range of motion). Contoh kontraktur yang umum adalah foot drop.
Terjadi dimana kaki bengkok secara permanen pada posisi plantar fleksi.
Ambulasi sulit dilakukan pada posisi plantar seperti ini, jika foot drop terjadi
pada kedua kaki, pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan alat/orang lain. Menurut
Hamid, 1992:35), terjadinya kontraktur sendi ini dipercepat pada
kondisi-kondisi:
a. Adanya
spastisitas atau rigiditas otot, misalnya pada penderita stroke,
postmeningitis/encephalitis.
b. Adanya
proses peradangan pada sendi tersebut.
c. Adanya
nyeri otot atau struktur jaringan lunak lain yang berhubungan dengan sendi
tersebut.
d. Adanya “inbalance” dari otot yang mempengaruhi sendi tersebut misalnya pada penderita poliomielitis. Pencegahan terjadinya kontraktur sendi pada immobilisasi lama ialah dengan menggerakkan sendi (baik pasif maupun yang aktif) kesegala arah bidang geraknya masing-masing (latihan luas gerak sendi = range of motion exercise). Untuk penderita dengan kelemahan atau kelumpuhan otot “flaccid” cukup 10-15 kali gerakan, dikerjakan 1 kali sehari, untuk tiap bidang gerak, misalnya: fleksi-ekstensi. Dengan adanya spastisitas/rigiditas otot pada penderita, perlu dilakukan latihan LGS yang lebih sering, dan perlu dibantu dengan “positioning” yang tepat.
Sedangkan
pada penderita nyeri sendi saat digerakkan, maka program “positioning”
menjadi lebih utama, jika terjadi kontraktur pada posisi tertentu dapat lebih
mudah diperbaiki (Takata & Yasui, 2006:3). Latihan untuk kontraktur sendi
dilakukan dengan latihan peregangan (stretching), yang didahului dengan pemberian
terapi panas, sehingga fleksibilitas jaringan sekitar sendi bertambah dan dapat
mengurangi rasa nyeri. Kadang-kadang diperlukan tindakan “casting” atau “bracing”,
atau suatu tindakan bedah (kapsulotomi, pemanjangan tendon otot, dan
sebagainya).
Dengan tindakan ini akan terjadi perubahan yang reversible,
jika immobilisasinya tidak melebihi 30 hari. Sedangkan immobilisasi yang
melebihi 60 hari, akan menimbulkan perubahan-perubahan strukturil yang sulit
diperbaiki dengan latihan dan tindakan konservatif lainnya (Hamid, 1992:38).
· Osteoporosis : Immobilisasi menyebabkan peningkatan resorpsi tulang. Peningkatan resorpsi tulang ini menyebabkan penurunan kalsium dalam darah, pasien yang immobilisasi lama akan meningkatkan terjadinya hiperkalsemia (kalsium dikeluarkan melalui urin dalam jumlah besar). Ganong (2003:373) menyebutkan bahwa Disuse osteoporosis dapat terjadi karena immobilisasi lama (prolonged bed-rest), sehingga terjadi penurunan bone mineral density (BMD).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Takata dan
Yasui (2006:2) menyebutkan bahwa dari 30 orang yang melakukan bed-rest selama
12 minggu akan menurunkan BMD (bone mineral density) pada tulang
vertebra 66%, 50 % pada hip bone, 25% pada tulang radius distal.
Osteoporosis adalah proses hilangnya bone matrix dan
mineral yang terdapat dalam tulang. Hal ini terjadi bila bagian kerangka tubuh
(tulang) tidak digerakkan, sehingga tarikan otot terhadap tulang tidak ada atau
kurang. Beratnya osteoporosis kurang lebih sebanding dengan jumlah keseimbangan
negatif Ca. Rangsangan yang berguna untuk mempertahankan keadaan tulang
kerangka adalah “stress” atau tekanan yang ditimbulkan oleh berat badan
dan kontraksi otot. Pemeriksaan x-foto tulang akan menunjukkan positif.
Gambaran osteoporosis (dengan tehnik standart), jika kehilangan mineral sudah
hampir mencapai 50% (Hamid, 1992:40).
Pencegahan
dan penanganan bagi penderita
1. Sesegera
mungkin di mobilisasi.
2. Latihan: dynamic axial compression exercise, bisa dilakukan di tempat tidur. Jika tidak ada kontraindikasi pemberian obat anabolik
KESIMPULAN
Imobilisasi atau tirah baring adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara aktif atau bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas ). Imobilisasi yang lama atau prolonged bed rest dapat mempengaruhi fungsi anatomi tubuh, hal demikian tergantung dari cedera yang dialami seseorang. Dengan kondisi imobilisasi yang lama perubahan-perubahan fisik yang dapat terjadi antara lain: perubahan metabolisme, tidak seimbangnya cairan dan elektrolit, gangguan dalam perubahan nutrisi, perubahan paru, perubahan kardiovaskuler, perubahan otot, dan kontraktur sendi
DAFTAR PUSTAKA
Brooks,
G. A. & Fahey, T. D. 1984. Exercise Physiology: Human Bioenergetics and
It’s Applications. John Wiley and Sons Publishers.
Ganong,
W. F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology)
E/20. Editor Edisi Bahasa Indonesia: dr. H. M. Djauhari Widjajakusumah.
Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Mc Graw Hill Company.
Guyton,
A. C. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (Human Physiology and Mechanisms
of Disease) E/3. Alih bahasa: Petrus Adrianto. EGC, Penerbit
Buku Kedokteran.
Hamid,
T. 1992. Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Physiatry). Unit
Rehabilitasi Medik, RSUD DR. Soetomo / FK. UNAIR. Surabaya.
Prasetyo, Yudi. “Terapi
Latihan Pada Keadaan Immobilisasi Yang
Lama (Prolonged Bedrest)”
staff.uny.ac.id/ (11 Desember 2011)
Sherwood,
L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, E/ 2. Alih
Bahasa: dr. Braham U. Pendit, Sp.KK. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Takata,
S. & Yasui, N. 2006. The Effect of Bedrest on Various Parameters
of Physiological Function. The journal of medical
investigation, Department of Orthopedic Surgery, The University of Tokushima School
of Medicine, Tokushima, Japan. (Online), (http://www.med.tokushima-u.ac.jp/jmi/vol48/index_2.html. (12
Desember 2011)
Post a Comment
Post a Comment