Theme images by Igniel

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

Jumlah Pengunjung

Archive

Universitas Megarezky

Universitas Megarezky
FKIP Universitas Megarezky

Prodi Pendidikan Jasmani Ada Di Univ. Megarezky

Prodi Pendidikan Jasmani Ada Di Univ. Megarezky
Yukkss Daftarkan Segara Diri Anda untuk menjadi Bagian dari Kami

Ayo Kuliah Di Univ. Megarezky

Ayo Kuliah Di Univ. Megarezky
Pendaftaran Calon Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2020/2021

Translate

Follow Us

Halaman Facebook

Universitas Megarezky

Comment

Bacaan Favorit

She is name "DING JIA XI" Protes Kudeta Militer di Myanmar Makin Besar

Post a Comment

 


Perempuan muda heroik itu bernama Ding Jia Xi atau Ma Kyal SIn, sering juga disebut Angel. Usianya baru 19 tahun, usia yang tengah mekar-mekarnya. Dia seorang anak tunggal, yang diharapkan orang tuanya agar kelak menjadi sosok yang mandiri.

Di Myanmar, dia memilih bergabung dengan barisan demonstran. Nalurinya terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi negerinya. Dia tidak berniat untuk sekadar gagah-gagahan lalu berpose alay atau bikin postingan tiktok tentang aksi. 

Dia memang mempersiapkan semua kemungkinan terburuk. Dia memakai kaos hitam bertuliskan ”Everything will be OK.” Dia juga mengantongi pengenal, yang di belakangnya ada informasi golongan darah, jika kelak dia tertembak dan butuh transfusi. 

Dia memang tertembak. Saat aparat menembakkan gas air mata, dia menerobos asap gas untuk membuka keran air yang dipakai para demonstran untuk membasuh mata yang perih. Saat itulah, sebutir peluru bundar menembus kepalanya.

Orang-orang merubung. Semua merinding. Di tanda pengenalnya, dia telah menulis pesan kematian, "Jika saya terluka dan tak dapat kembali ke kondisi yg baik, tolong jangan selamatkan saya. Saya akan memberikan bagian tubuh saya yang berguna pada seseorang yang membutuhkannya."

Di negeri itu, sudah ada 40 orang demonstran yang tewas demi melawan rezim militer. Para aktivis Myanmar menampilkan perlawanan dengan cara yang mengagumkan. Mereka menggunakan semua kanal media. Mereka terjun ke jalan-jalan dan menjadi perisai bagi para demonstran.

Mirip 1998 di Indonesia

Peta sosial politik antara Myanmar sekarang dengan Indonesia pada 1998 ketika gelombang demonstrasi menuntut Presiden Soeharto mundur sekaligus mereformasi tatanan Orde Baru, tidak sepenuhnya berbeda. Hampir semua elemen masyarakat Indonesia ketika itu turun ke jalan.

Semula diawali dengan aksi damai, demonstrasi massal akhirnya berubah frontal dan tidak pelak lagi pecah kekerasan. Syafiq Ali, mantan aktivis komunitas mahasiswa Forum Kota (Forkot) sebelum membentuk Forum Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), mengingat kembali tiga faktor yang mendorong keberhasilan gerakan massal saat itu. "Ketika 1998 ada jutaan orang yang sudah mengalami pengalaman pahit dengan Orde Baru, mulai dari kekerasan, korupsi dan nepotisme. Yang kedua adalah faktor krisis ekonomi yang terjadi saat itu yang kemudian menyadarkan banyak orang bahwa Orde Baru sudah saatnya selesai. "Yang ketiga memang ada penembakan mahasiswa Trisakti yang kemudian diikuti dengan kerusuhan," papar Syafiq yang kini menjadi direktur portal NU Online. Di Myanmar, mereka yang berunjuk rasa, termasuk dalam bentuk pembangkangan sipil, tidak hanya dari kalangan mahasiswa. Elemen masyarakat yang sudah mapan pada profesinya masing; pengacara, guru, pegawai bank dan bahkan pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyebut sebagian, turut mengambil bagian.

Pengejawantahan gerakan pembangkangan sipil (civil disobedient movement, disingkat CDM) antara lain berupa mogok kerja, mogok membayar pajak, memboikot segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan hasil kudeta. "CDM oleh PNS dampaknya paling signifikan karena roda pemerintahan tidak bisa menggelinding tanpa mereka. Oleh karena itu pemimpin militer memerintahkan kepada pegawai negeri lewat medianya untuk kembali bekerja," jelas Khin Lay, seorang pemimpin masyarakat madani di Myanmar. Mereka yang mengabaikan perintah tentu menanggung akibat. "Jika mereka menolak, maka militer akan mengambil tindakan. Oleh karena itulah, setiap malam, sosok-sosok penting di kalangan PNS diciduk. Mereka ditangkapi," tambahnya. Sejauh ini kubu pengunjuk rasa tampak menahan diri untuk tidak melancarkan serangan frontal kepada aparat keamanan atau melakukan pengrusakan. Terinspirasi konsep ahimsa atau tanpa kekerasan yang diusung Mahatma Gandhi, masyarakat Myanmar mengedepankan taktik-taktik yang berisiko rendah untuk mengobarkan semangat pembangkangan sipil. Menurut Khin Lay, strategi itu sudah mengakar di masyarakat dan teruji dalam berbagai pergolakan sebelumnya. Mereka di antaranya menunjukkan salam tiga jari ala novel dan film Hunger Games, sebagai isyarat perlawanan. Di jalan-jalan, pengendara mengemudikan mobil dengan pelan, atau bahkan membuatnya seolah-olah mogok sehingga mengganggu lalu lintas. Setiap pukul 20.00, warga keluar rumah untuk memukul-mukul panci dan wajan sebagai simbol menolak bala. Mayoritas adalah anak muda dalam kelompok generasi Z. "Artinya generasi di mana mereka muda sekali, produk dari perubahan politik-ekonomi selama sembilan tahun ini yang membuka kembali kran demokrasi, ekonomi dan partisipasi," kata pengamat politik Myanmar dari Universitas Flinders, Australia, Dr Priyambudi Sulistiyanto.

Artikulatif dan paham geopolitik

Penulis buku Thailand, Indonesia and Burma in Comparative Perspective itu mencatat bahwa gerakan di Myanmar mirip dengan gerakan prodemokasi di Thailand dan Hong Kong yang tak mempunyai kepemimpinan sentral wakil semua elemen. "Tapi dari sumber-sumber yang kita lihat dari media dan media sosial, mereka sangat artikulatif dan paham sekali tentang percaturan geopolitik," jelas Dr Priyambudi dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir. Keberhasilan perjuangan mereka antara lain tergantung pada konsolidasi seluruh elemen sipil dalam masyarakat Myanmar. Itulah argumen yang dikemukan oleh mantan aktivis '98, Syafiq Ali, berdasarkan pengalaman Indonesia. "Kita tahu ada pertemuan. Pak Harto membantuk Dewan Reformasi, mengundang tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Amien Rais, Nurcholis Madjid, Kyai Yafie dan banyak sekali lainnya. Semua yang diundang memang tidak mau mendukung Pak Harto," kata Syafiq. "Mereka menyarankan tuntutan mahasiswa atau rakyat pada umumnya bahwa sebaiknya Pak Harto harus mundur," jelasnya. Adapun wacana demokratisasinya sendiri sudah lama marak sebelum Presiden Suharto lengser pada 21 Mei 1998. Kondisi tersebut berbeda dengan Myanmar. "Di Myanmar civil society (masyarakat madani) tidak selincah civil society di Indonesia dan wacana tentang demokrasi praktis tidak ada. Karena warga Myanmar yang bersekolah keluar negeri tidak kembali ke Myanmar karena tahu pasti akan dibungkam sehingga bermukim di negara-negara lain." Demikian dikatakan Letjen (Purn) Agus Widjojo, gubernur Lemhanas. Baca juga: Ketegangan di Myanmar Semakin Tinggi, Hampir 40 Orang Tewas dalam Sehari Hotel bintang lima dulu hanya lima Bagaimanapun, setidaknya ada tiga hal yang menjadi pertaruhan kubu prodemokrasi di Myanmar dewasa ini. Pertama, menurut mantan Duta Besar RI untuk Myanmar periode 2013-2018, Ito Sumardi, menyangkut rasa keadilan karena suara mereka melalui pemilu pada 8 November 2020 dirampas oleh militer.

Berbarengan dengan perebutan kekuasaan, beberapa sosok yang disanjung, terutama pemimpin nasional Aung San Suu Kyi, ditahan. Penasihat Negara yang kedudukannya lebih tinggi dari presiden tersebut didakwa dalam kasus pidana yang tampak sepele, bukan lagi sebagai tahanan politik. Kedua, masyarakat Myanmar khawatir tak akan menikmati kebebasan lagi sebagaimana pengalaman mereka di bawah junta militer selama beberapa dekade sebelumnya. Keran kebebasan mulai dibuka pelan-pelan sesudah ada pemerintahan transisi  2011 hingga pemerintahan demokratis pertama hasil pemilu 2015, tetapi digulingkan lewat kudeta 1 Februari 2021. Pertaruhan ketiga adalah kesejahteraan yang dinikmati masyarakat di era pemerintahan sipil itu. "Karena sebelum 2015, hotel berbintang lima di Myanmar hanya 3. Sekarang sudah puluhan. Gaya hidup masyarakat Myanmar sekarang sudah sangat modern. Angka pertumbuhan ekonomi mereka bahkan melampaui Indonesia, sedemikian pesat." Demikian Ito menjelaskan.

Dengan adanya kudeta, maka konsekuensinya para investor kemungkinan menahan diri, sehingga perekonomian bakal kembali terpuruk, apalagi jika semakin banyak negara menjatuhkan sanksi kepada junta militer sebagai respons atas perebutan kekuasaan. Alih-alih menjatuhkan junta militer sebelumnya, sanksi internasional secara bertubi-tubi justru menyengsarakan penduduk dan mengucilkannya dari percaturan dunia.

Militer Myanmar 'beda' dengan TNI

Menurut Gubernur Lemhanas, Letjen (Purn) Agus Widjojo, sulit bagi junta militer Myanmar untuk melepaskan kekuasaan karena ada gerakan anti-kudeta yang sekarang terjadi. Ini dikarenakan militer negara itu belum siap, berbeda dengan kondisi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sesudah rezim Orde Baru tumbang. "Yang memudahkan reformasi militer adalah karena TNI menginisiasi reformasi dirinya dari dalam, dari dirinya sendiri sehingga TNI tahu apa yang perlu direformasi dan nilai-nilai apa yang perlu dipertahankan," jelas Agus Widjojo. Dikatakannya proses tersebut berjalan lancar pula. "Karena pada waktu itu ada vakum de facto dari otoritas politik ketika Presiden Suharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998 sehingga TNI agak leluasa tanpa harus campur tangan, tarik ulur kepentingan politik." Di era reformasi, lanjutnya, TNI tidak melibatkan diri dalam reformasi politik melainkan menyerahkannya kepada elite politik. "Militer Myanmar belum membuka diri bagi proses demokratisasi," tambah Agus Widjojo. Pada 2007, ia diutus oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghadiri pemakaman Perdana Menteri Soe Win, yang juga berasal dari militer. Berdasarkan konstitusi 2008 yang disusun pemerintahan peralihan militer, Tatmadaw atau Angkatan Bersenjata Myanmar secara otomatis mendapat alokasi 25 persen kursi parlemen, mirip dengan Fraksi TNI/Polri di DPR/MPR sebelum dihapus pada 2004. Selain alokasi otomatis, Tatmadaw juga mempunyai proksi di legislatif melalui Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan (USDP). Ini mirip dengan Golkar di zaman Orde Baru.

Di tataran eksekutif, militer mendapat jatah tiga pos kabinet strategis; menteri urusan perbatasan, menteri pertahanan dan menteri dalam negeri. Sehari sesudah kudeta, junta militer Myanmar langsung membentuk Dewan Pemerintahan Negara, beranggotakan 11 orang dan dipimpin langsung oleh Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

Pemerintahan de facto itu menjanjikan pemilu dalam tempo setahun, kendati belum menetapkan tanggal dan memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun pula. Setidaknya jika dilihat dari massa yang berunjuk rasa atau melakukan gerakan pembangkangan sipil, sebagian besar publik Myanmar bersikukuh pemilu baru tidak diperlukan. Sebaliknya, mereka menuntut kekuasaan dikembalikan ke pemerintahan sipil hasil pemilihan umum. "Kami meyakini betul gerakan pembangkangan sipil ini akan berhasil, mungkin dua hingga tiga bulan lagi kami akan menang. Kami harus menang," pungkas Khin Lay, salah seorang pemimpin masyarakat madani Myanmar, dalam wawancara dengan BBC News Indonesia melalui sambungan telepon

Sumber :

https://www.kompas.com/global/read/2021/03/04/101740770/protes-kudeta-militer-di-myanmar-makin-besar-ingatkan-peristiwa-1998-di?page=all



aminuddin
Aminuddin S.Or.,M.kes Dg Nyampo, Akademisi dan praktisi di bidang ilmu Kesehatan Olahraga.

Related Posts

Post a Comment