KPK menetapkan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah sebagai tersangka OTT Gubernur Sulaw…
Islam dan Transformasi Sosial
Pengalaman Pesantren
Pendahuluan
Pesantren adalah salah satu segmen dalam
masyarakat Indonesia yang memiliki akar sangat kuat dalam masyarakat Indonesia
pada umumnya, bahkan Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai subkultur, sebuah
kelompok masyarakat yang memiliki sistem nilai dan pandangan hidupnya sendiri
sebagai bagian dari masyarakat luas. Tetapi karena tempatnya yang pada umumnya
di pedesaan dan menerapkan pendidikan dan tradisi keagamaan (Islam) tradisional,
maka dinamika yang ada di dalamnya kurang mendapatkan ekspose yang secukupnya.
Bahkan pergulatan politik dan kemasyarakatannya melalui NU pun kurang
diperhitungkan karena dianggap kurang memberikan kontribusi dalam perjalanan
bangsa.
Banyak orang tiba-tiba tersentak ketika
kelompok tradisionalis yang cukup banyak pengikutnya ini menggeliat merespon
kemodernan dengan kekuatan tradisinya sendiri tanpa kehilangan akomodasinya
terhadap gejala kemodernan. Salah satu momentum itu adalah ketika NU kembali ke
khittah 26 dan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi dengan
mengeser Islam Ahlusunnah Waljamaah yang semula asas menjadi aqidah. Ketika itu
kelompok-kelompok Islam lain maupun agama lainnya masih ragu-ragu dan berupaya
dengan keras menyusun argumen dan mencari legitimasi keagamaan untuk itu. Kiat
yang dilakukan NU (pesantren) ini dianggap sebagai terobosan yang di satu pihak
memberikan jalan keluar dari jalan buntu pertemuan Islam dan modernitas dan di
lain pihak tanpa kehilangan kekuatan tradisinya sendiri.
Tulisan ini akan mencoba melihat apa
sesungguhnya akar-akar tradisi di dalam NU/pesantren dan bagaimana transformasi sosial itu terjadi
dalam menghadapi perubahan masyarakat ke arah modernisasi.
Kembali ke Khittah 26, Kembali ke Tradisi
Sendiri
Dalam salah satu tulisannya, Martin van
Bruinessen mengemukakan pengamatannya yang sangat menarik, bahwa ketika
gerakan-gerakan Islam modernis untuk merespons kemodernan menganjurkan kembali
kepada “sumber Islam yang asli: Al-Qur’an dan hadits”, maka untuk hal yang sama
NU mengajukan “kembali ke khittah 26,” yaitu tradisinya sendiri ketika awal
berdiri. Langkah itu diputuskan bersamaan dengan penarikan diri NU dari politik
praktis, yaitu memutuskan keterlibatannya di Partai Pesatuan Pembangunan (PPP)
yang ketika itu berasaskan Islam, diiringi dengan membebaskan kepada warganya
untuk memilih partai yang disukainya di luar partai Islam (PPP) dalam pemilu,
serta penerimaan asas tunggal Pancasila.
Momentum ini sebagai tonggak bagi NU untuk
meraih masa depan dan merespon kemodernan. Pengamatan sepintas, akan menggiring
orang pada anggapan bahwa seolah-olah NU hanya mengikuti apa saja kemauan
penguasa ketika itu yang represif dan tidak memberikan pilihan kepada
kelompok-kelompok sosial untuk memilih jalannya sendiri. Di luar sikap bahwa
baik untuk tetap bernaung di bawah partai Islam maupun mengambil langkah mundur
adalah sama-sama harus mengikuti kemauan penguasa, maka itu semua sesungguhnya
sebagai sikap kreatif untuk menghindari tekanan penguasa secara langsung di
satu pihak dan menuntut kemandirian di lain pihak. Sikap demikian kalau
ditelusuri lebih jauh ternyata memiliki dasar-dasar paham keagamaan dan
tradisinya sendiri di dalam NU. Kembali kepada khittah 26, sesunggunya
merupakan transformasi lanjutan dari apa yang telah diperjuangkan NU sejak
berdirinya. Selalu ada dua faktor, pengaruh ekternal dan internal dalam
perubahan di dalam NU--atau di dalam organisasi apapun. Tetapi, tampaknya,
untuk menanggapi itu semua pesantren/NU
lebih mengandalkan pada kemampuan dan tradisinya sendiri ketimbang
pencomotan tradisi lain dengan penuh kekaguman.
Bersamaan dengan gerakan anti kolonialisme,
kalangan Islam tradisional di awal abad ke 20 juga telah memperlihatkan geliat
untuk melakukan gerakan yang terorganisir misalnya melalui kepeloporan KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah dkk. Wahab Chasbullah dengan seizin Hasyim
Asy’ari, misalnya membentuk semacam kelompok diskusi yang diberi nama Tashwirul
Afkar dan pengembangan ekonomi yang disebut Nahdlatut Tujjar serta Nahdlatul
Wathan, yang terakhir ini pembaruan dalam bidang pendidikan.
Ada dua situasi eksternal yang mendorong
terbangunnya para ulama tradisional itu, yaitu kolonialisme dan serangan yang
tajam dan terus menerus oleh kalangan apa yang disebut Islam modernis. Kolonial
Belanda melakukan represi kepada masyarakat di bidang politik dan ekonomi
sementara kalangan Islam modernis melakukan represi di bidang paham dan praktek
keagamaan. Semua ini memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi masyarakat
luas, yaitu kemiskinan dalam ekonomi, kebodohan dalam pendidikan dan politik,
serta kegelisahan dan tekanan dalam beragama.
Ketegangan pun terus terjadi, baik di dalam
masyarakat maupun dalam pertemuan-pertemuan kongres Al-Islam—sebuah kongres
yang diikuti oleh sebagian besar kelompok-kelompok Islam di nusantara—antara
kelompok Islam modernis dan Islam tradisionalis. Salah satu topik diskusi di
kalangan Islam yang sedang hangat ketika itu adalah tentang kekhilafahan Islam
internasional sehubungan dengan penghapusan kekhalifahan Daulah Utsmaniyah oleh
penguasa Kemalis Republik Turki. Di dalam negeri terjadi perdebatan tentang
representasi Islam untuk mengikuti arus internasional tersebut, di samping
kecaman dan bahkan pengrusakan oleh Islam modernis terhadap tradisi-tradisi
ritual lokal yang juga dipraktekkan dan diajarkan oleh kalangan pesantren.
Ketika itu ada dua orang yang berambisi
untuk mendirikan kembali kekhalifahan internasional dengan mencari dukungan dan
legitimasi dari gerakan-gerakan Islam di negara-negara yang bermayoritas
penduduknya beragama Islam. Mereka adalah
Raja Fu’ad di Mesir dan Abdul Aziz Ibn Sa’ud di Saudi Arabia setelah
melakukan “kudeta” terhadap Syarif Husen di Mekah. Ibnu Sa’ud adalah seorang
modernis Wahabi fanatik yang melakukan pembersihan dan perusakan dengan
kekerasan terhadap praktek-praktek keagamaan, terutama tarekat sufi dan wirid
serta pendidikan Islam tradisional, termasuk aliran-aliran pemikiran dalam
Islam. Di samping menghancurkan tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat,
juga melarang pusat-pusat tarekat tasawuf dan pengajaran mazhab-mazhab klasik.
Untuk meraih ambisinya itu, Ibn Sa’ud mengadakan Kongres Internasional Islam
untuk meraih kepemimpinan kekhalifahan internasional yang dihapuskan oleh
Kemalis di Turki tersebut.
Dari Indonesia mereka mengundang hanya
kelompok Islam yang sealiran dengan mereka, yaitu Sarekat Islam dan Muhammdiyah
yang mengutus dua orang, masing-masing Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer
(Muhammadiyah). Merasa aspirasi kelompoknya tidak akan tertampung, kelompok
tradisionalis yang dipimpin oleh kyai Wahab Chasbullah membentuk apa yang
kemudian disebut Komite Hijaz untuk menemui Ibnu Sa’ud guna mengimbangi
undangan dalam kongres internasional tersebut. Mereka membentuk Komite Hijaz ini
karena khawatir dan cemas tentang perlakuan penguasa Ibn Sa’ud dan juga
kalangan modernis di dalam negeri terhadap kalangan tradisionalis. Ini pula
antara lain yang kemudian mendorong mereka untuk membentuk organisasi resmi
yang disebut Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan kelanjutan dari
gerakan-gerakan sebelumnya di atas.
Setidaknya ada tiga misi penting yang dibawa
oleh Komite Hijaz itu, yaitu 1) kebebasan beribadah dan mengamalkan agama
sesuai dengan ajaran yang dianut, termasuk ajaran mazhab dan tarekat sufi; 2)
agar tetap diizinkan untuk mengajarkan dan membaca kitab-kitab mazhab klasik, dan membaca shalawat nabi;
serta 3) perbaikan dan keamanan perjalanan ibadah haji. Di luar misi yang
ditugaskan kepada tim Komte Hijaz ini, tujuan didirikannya organisasi NU
menurut KH. Wahab Chasbullah, di samping untuk membela kepentingan Islam dan
ulama tradisionalis serta praktek-praktek ajaran dan ibadah yang terus menerus
dihujat oleh kalangan modernis, adalah tidak lain untuk meraih kemerdekaan. Hanya dengan kemerdekaan,
maka Islam bisa jaya. (Haidar, hlm. 58-59).
Jadi, dari kombinasi gerakan rintisan menuju
NU, isi Komite Hijaz dan tujuan didirikannya bisa diambil benang merah sejumlah
poin yang mengilhami didirikannya NU, yaitu 1) kemerdekaan Indonesia, 2) memperjuangkan
aspirasi Islam ahlussunnah wal jamaah, 3) melindungi kebebasan beribadah, 4)
kebebasan mengajarkan dan membaca buku ajaran-ajarannya, 4) pembangunan ekonomi
seperti tercermin dalam Nahdlatut Tujjar, serta 5) pembaruan pemikiran
Islam seperti tercermin dalam Tashwirul Afkar. Dari semua tujuan itu dalam perjalanan
sejarahnya, masing-masing memperoleh tekanannya sendiri menurut konteks zaman
dan waktu secara evolutif.
Islam dan Negara: Upaya Akomodasi
Substansial
Tidak bisa dipungkiri organisasi apapun yang
lahir sebelum 1945 yang didirikan oleh masyarakat pribumi termasuk yang di luar
negeri selalu mengedepankan kemerdekaan Indonesia sebagai avant garde
cita-cita yang ingin diraih. Demikian juga NU, dengan caranya sendiri,
membangun basis gerakan dan argumentasi tentang kemerdekaan Indonesia. Salah
satu keputusan NU tentang ini yang cukup monumental adalah keputusan yang
diambil pada Muktamarnya tahun 1938 di Banjarmasin. Ketika itu dipertanyakan,
apakah negara Hindia Belanda yang nota bene di bawah kekuasaan Belanda
sah dan perlu dipertahankan. Jawabnya wajib dipertahankan, karena Hindia
Belanda adalah dar al-Islam (negara Islam). Keputusan tersebut
mendasarkan pada argumentasi bahwa Hindia Belanda adalah mayoritas penduduknya
beragama Islam dan pemeluk Islam memperoleh kebebasan untuk melaksanakan ibadah
di samping bekas wilayah di bawah kekuasaan kerajaan Islam.
Pertanyaan itu sesungguhnya berangkat dari
problem keagamaan internal dalam tradisi fiqh pesantren, yaitu apakah absah
perkawinan pasangan Islam yang didinikahkan oleh penghulu negara di bawah
pemerintahan Belanda yang nota bene kafir. Konsep yang masih tersisa dalam
pesantren ketika itu adalah bahwa pernikahan harus disahkan oleh penguasa yang,
dalam masyarakat tradisional, adalah raja atau penguasa yang berisfat individual. Bagaimana dengan sistem
negara nasional seperti Hindia Belanda. Gejala tentang munculnya pertanyaan ini
oleh M. Ali Haedar disebut sebagai bermulanya persentuhan antara konsep fiqh
dengan negara modern dalam wacana pesantren. Pertanyaan yang sama sesungguhnya
sudah terjadi sebelumnya, misalnya menyangkut keterlibatan orang-orang NU dalam
Volksraad (Dewan Rakyat) tentang bagaimana hukumnya terlibat dalam
lembaga bentukan pemerintahan Belanda yang kafir itu. Pertanyaan tersebut tidak
terlalu peka untuk zaman itu bagi kalangan pesantren karena tidak menyangkut
langsung kepentingan individu rakyat atau umat dan tidak berkaitan langsung
dengan keagamaan orang per orang. Ini berbeda dengan soal keabsahan pernikahan,
di samping itu berimplikasi pada status anak absah ataukah tidak, karena itu
juga kepentingan orang per orang, juga menyangkut pewarisan. Dengan demikian
berkaitan langsung dengan kepentingan orang per orang dalam umat.
Pertanyaan yang sama muncul lagi ketika gerakan
DI/TII Kartosuwirjo memproklamirkan Negara Islam Indonesia dan itu berarti
dalam wacana fiqh di pesantren menggoyahkan kedudukan keabsahan Soekarno
sebagai presiden Indonesia. Dan karena itu juga keabsahan pernikahan oleh wali
negara di bawah kekuasaannya ikut tergoyahkan. Tanggapan para kyai atas gejala
tersebut kemudian dikenal dengan pemberian gelar “Waliyul Amri adh-Dlaruri
bi-Syaukah.” Konsekuensi dari gelar tersebut adalah pengesahan kembali
kedudukan Soekarno sebagai presiden dan keabsahan perkawinan dengan wali negara
di bawah pemerintahan Soekarno. Dalam konteks di bawah penjajahan, konkuenasi
dari pengakuan negara Hindia Belanda sebagai dar al-Islam adalah bahwa daerah
tersebut juga harus dibebaskan dari penjajahan itu sendiri. Dalam semangat ini
pula sesungguhnya, Hasyim Asy’ari selaku pemimpin tertinggi (Ro’is Akbar) NU
menyerukan untuk mempertahankan kemerdekaan melalui Resolusi Jihad kepada umat
Islam untuk mempertahankan RI melawan kembalinya penjajah Belanda yang
dinyatakan pada 22 Oktober 1945 dan diulangi lagi pada Maret 1946. Tetapi pada
masa Konstituante NU bersatu dengan Masyumi untuk menggolkan negara berdasarkan
Islam, sebaliknya pada masa NASAKOM yang ditentang keras oleh sekutunya
Masyumi, NU justru mendukungnya.
Hendak dikatakan di sini bahwa semua sikap
di atas menunjukkan bahwa pandangan NU terhadap negara yang ketika itu sebagai
fenomen modernitas paling jelas, diletakkannya bukan sebagai alternatif dari
bentuk Islam melainkan sebagai instrumen belaka. Sebaliknya, Islam juga bukan
sebagai alternatif dari bentuk negara yang baru itu sendiri. Titik temu paling
siginifikan antara modernitas yang ditampilkan melalui negara dan Islam adalah
apakah masing-masing bisa mengakomodasi pada tingkat substansi. Substansi itu
dalam konteks cara pandang fiqh pesantren adalah jaminan keabsahan keberagamaan
yang esensial dalam Islam yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dan
tuntutan orang per orang umat—menurut fiqh—yang terrepresentasi dalam keabsahan
pernikahan, dan sisi lainnya adalah kebebasan beribadah menurut keyakinan dan
kepercayaannya. Sedangkan kemerdekaan politik merupakan prasyarat utama bagi
berlangsungnya dua hal di atas.
Bentuk negara Pancasila, negara Islam atau
NASAKOM sekalipun tidak menggoyahkan keseluruhan bangunan argumentasi
ke-Islam-an dan kenegaraan (juga kemodernan) NU. Ini jelas berbeda dengan
kalangan modernis ketika itu yang menyodorkan ke-Islam-an (dalam arti struktur
bukan substansi) sebagai alternatif dari keseluruhan struktur negara riil yang
ada. Sikap NU untuk memperjuangkan dasar negara Islam dalam Konstituante maupun
menyetujui NASAKOM tidak membatalkan keabsahan negara Indonesia riil yang
sedang berlaku, karena proses itu dilakukan dengan cara demokratis dan tidak
serta merta membatalkan keabsahan negara yang ada. Ini berbeda dengan
proklamasi yang dilakukan oleh DI/TII yang dilakukan secara sepihak membatalkan
keabsahan negara yang ada dan mendirikan negara sendiri..
Dari Negara ke Kebudayaan
Pergulatan NU/pesantren dan negara—yang
merupakan representasi dari modernitas paling menonjol ketika itu—berjalan
begitu lama dan cukup rumit. Ini dikarenakan tidak tersedianya literatur dan
pengalaman tradisi yang cukup memadai di dalam pesantren sendiri tentang negara
modern. Dalam tradisi pesantren,
hubungan masyarakat atau Islam yang dianutnya dengan kekuasaan—seperti tecermin
dalam pernikahan--bersifat sporadis dan individual dan bukan sistematis. Tentu
saja hubungan yang demikian membuat pesantren tidak memiliki konsern yang
memadai terhadap pembaruan negara karena hal itu berada di luar agenda dan area
konsern pesantren itu sendiri.
Kebutunan itu baru benar-benar mendesak
setelah tradisi berorganisasi yang sistematis cukup merasuk dalam tradisi
pesantren melalui NU. Sebagai partai politik tersendiri dan kemudian bergabung
dengan PPP, barulah dirasakan bahwa eksistensi negara benar-benar harus
disikapi. Khususnya di bawah pemerintahan otoriter dan menindas semacam Orde
Baru, negara demikian merasuk ke dalam seluruh kehidupan manusia termasuk agama
dan ikut menentukan dalam pilihan-pilihan hidup seperti partai politik. Maka
mulai dirasakan acuan yang bersifat individual seperti pernikahan tidak cukup
untuk merespon eksistensi negara tersebut melainkan haruslah sistematis.
Misalnya, keputusan yang mewajibkan bagi umat untuk memilih partai Islam, NU
maupun PPP, ternyata tidak memadai lagi karena pada kenyataannya banyak juga
warga NU yang menyebal dari aturan-aturan demikian. Di samping itu kenyataan
bahwa seruan semacam itu juga tidak memberikan kebebasan bagi seseorang untuk
menyalurkan aspiranya dalam politik dan hidup keseharian.
Salah satu caranya adalah memberikan
kebebasan kepada umat orang per orang untuk menyikapi negara dan bahkan juga
agama. Sikap itu diwujudkan melalui semboyan dan ketetapan “kembali kepada
Khittah 26.” Yaitu, mengembalikan masalah agama dan negara kepada masyarakat
orang per orang, bukan lagi urusan organisasi NU. Wujud dari itu semua adalah
penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan memberikan kebebasan kepada
warga NU untuk memberikan pilihannya dalam partai politik, serta menempatkan
Islam ahlussnnah wal jamaah sebagai aqidah. Dari titik inilah kemudian dicanangkan proyek humanisasi Islam, konsern
NU bukan lagi negara melainkan masyarakat.
Sebagaimana dikaji antara lain oleh Martin
van Bruinessen, pasca kembali ke Khittah 26, muncul berbagai tema diskusi dan
usaha tentang keagamaan dan kemasyarakatan, mulai dari soal pengembangan
masyarakat melalui pesantren, kajian pemikiran keagamaan itu sendiri dan dalam
waktu ini pula munculnya berbagai kelompok dalam pesantren yang mengkhususkan
pada kajian keagamaan dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat. Respon
sistematis terhadap gejala modernitas ini memang belum bisa dilihat prestasinya
yang menonjol, tetapi proses itu terus berjalan. Hanya saja, harus segera
dicatat bahwa proses itu akan terus berjalan dan semakin cepat jika kebebasan
yang selama ini diberikan kepada warga dan terutama kalangan muda terus
diberikan.
Penutup: Menyongsong Masa Depan dengan
Was-was
Naiknya Abdurrahman Wahid sebagai Kedua Umum
dan tokoh pemikir terkemuka NU menjadi presiden mungkin juga sebagai prestasi
NU setelah ia justru meninggalkan pergulatan langsung dengan negara dan kembali
kepada masyarakat atau kebudayaan. Tetapi eksistensi kepresidenan Gus Dur juga
bisa mengancam proses transformasi yang sedang berlangsung di dalam NU dan
pesantren. Kepresidenan Gus Dur akan menjadi ancaman jika setidaknya ia
melahirkan tiga hal: 1) menguras seluruh potensi dan energi pesantren dan NU ke
dalam negara atau politik praktis pada umumnya sehingga NU mengakumualsi
seluruh konsernnya hanya kepada negara (baca: kekuasaan) dan tidak lagi kepada
masyarakat dan kebudayaan; 2) lahirnya sikap monolitik, yaitu pemaksaan
terhadap individu di pesantren dan NU untuk hanya memilih kepada satu partai
tertentu, baik sekadar untuk mebesarkan partai Gus Dur dan NU maupun untuk
lebih-lebih hanya memperpanjang kekuasaan. Dalam pemilu 2000 yang baru lalu
kita menyaksikan pluralisme politik dalam NU. Warga NU tidak saja banyak yang
tersebar di berbagai partai politik tetapi warga NU sendiri mendirikan partai
yang berbeda-beda.; 3) menjadikan isu agama untuk tujuan-tujuan politik
pesantren dan NU.
Kepresidenan Gus Dur akan memberikan
kontribusi yang besar kepada pesanren dan NU dan kepada masyarakat luas jika:
1) posisi itu dijadikan alat sebagai penguatan masyarakat sipil dan mendorong
independensi kelompok-kelompok masyarakat, termasuk pesantren dan NU; 2)
menjamin kebebasan dan pilihan-pilihan kepada masyarakat baik individu maupun
kelompok dan menggali kearifan lokal masing-masing, termasuk pesantren dan NU;
3) menjadikan agama sebagai pendorong kebebasan dan pluralisme sebagaimana
diperjuangkan oleh Gus Dur selama ini.
Pesantren dan NU sendiri tidak bisa
melakukannya sendirian kecuali mengikutkan seluruh komponen masyarakat itu
sendiri. Wallau a’lam.
Bahan Bacaan:
Deliar Noer, Partai Islam di Pesanmtas
Nasional (Jakarta: Grafitipers, 1987).
Greg Fealy & Greg Barton Tradisionalisme
Radikal, Persinggungan NU dan Negara (Yogyakarta: LKiS 1996).
Martin van Bruinessen, NU, Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS 1994).
M. Ali Haedar, Nahdlatul Ulama dan Islam
Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Ramedia 1994).
Muhammad Abed Al-Jabiri, Post
Tradisionalisme Islam (Yogyakarta: LKiS 2000).
• Lembaga Kajian
Islam dan Sosial - Yogyakarta 2001
Post a Comment
Post a Comment