KPK menetapkan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah sebagai tersangka OTT Gubernur Sulaw…
KETIKA ISLAM BERKUASA
Berkaca pada Sejarah
Cirinya sederhana, efisien, jujur, cakap
Cirinya sederhana, efisien, jujur, cakap
Di saat
kekuasaan Soeharto tumbang, sebagian kita teringat kembali pada peristiwa
kejatuhan rezim-rezim diktator sebelumnya. Terbayanglah bagaimana Ferdinand
Marcos yang sangat berkuasa di Filipina dijatuhkan oleh kekuatan yang sulit
diperhitungkan, yaitu Cory Aquino, seorang wanita, ibu rumah tangga biasa.
Kita juga diingatkan pada peristiwa jatuhnya Nicolae Ceausescu yang
tumbang oleh rakyatnya sendiri secara mengenaskan. Demikian juga dengan
jatuhnya Syah Reza Pahlevi. Semua diktator yang disebutkan di atas jatuh oleh
kekuatan yang kurang diperhitungkan. Sama halnya dengan Soeharto.
Maka kita jadi tersambung dengan pernyataan sosiolog Muslim yang amat
terkenal, Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya. Ia menulis bahwa rezim,
dinasti atau kekuasaan itu ibarat umur manusia. Ia lahir, dewasa, kemudian
mati.
Bermacam-macam cara untuk berkuasa. Ada yang menggunakan cara
kekerasan, baik melalui kudeta maupun revolusi sosial. Ada pula yang
menggunakan cara-cara licik, yaitu dengan membonceng kekuatan atau kekuasaan
orang lain. Secara riil mereka tidak memiliki apa-apa, tapi melalui berbagai
rekayasa, kekuasaan itu akhirnya berada di tangannya.
Di samping ada beberapa usaha yang keras untuk mendapatkan kekuasaan
melalui cara-cara yan tidak halal, ada pula orang yang mendapatkan kekuasaan
karena kualitas dan kapabilitasnya. Ia tidak mencari-cari, apalagi
memperebutkannya. Bahkan kekuasaan itu tidak pernah diinginkannya. Hanya karena
amanat saja ia mau dan bersedia menerima kekuasaan itu.
Dalam sejarah, banyak kita dapati penguasa yang bertype seperti ini.
Para nabi tidak pernah berambisi menempati posisi puncak dalam kepemimpinan
ummatnya. Akan tetapi mereka diberi amanah oleh Allah sebagai Rasul dan
pemimpin ummat, maka merekapun tak sanggup untuk menolaknya. Mereka terima
kepemimpinan itu dengan sungguh-sungguh walaupun ummatnya sendiri banyak yang
belum bisa menerima. Penolakan ummatnya atas kepemimpinan para nabi dan rasul
ini bukan karena pribadi-pribadi mereka, tapi karena lebih banyak faktor ajaran
yang dibawanya.
Selain nabi dan rasul, terdapat pula orang-orang shalih yang berkuasa.
Mereka sama sekali tidak berambisi untuk menduduki kursi kepemimpinan, tapi
tuntutan situasi dan kondisilah yang mengantarkan mereka menerima kedudukan
itu. Khulafa'ur-Rasyidin adalah orang-orang shaleh yang menempati posisi ini.
Jika ada kesan rivalitas kekuasaan di antara mereka sepeninggal Nabi,
sesungguhnya itu hanya kesan belaka. Paling tidak hanya sebatas tanggung jawab
semata.
Yang menarik dalam kaitan ni adalah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.
Meskipun ia bukan Khulafaur-Rasyidin, tapi para ahli sejarah menempatkannya
sejajar dengan mereka. Kepemimpinannya yang singkat ternyata telah mengantarkan
rakyatnya hidup lebih sejahtera.
Umar bin Abdul Aziz berkuasa setelah pamannya, Sulaiman meninggal
dunia. Kedudukannya sebagai kepala negara memang didapatkan melalui garis
keturunan atau warisan, tapi ia telah berhasil mendapatkan legitimasi dari rakyatnya.
Sebelum ia terima kedudukan itu, ia kembalikan kekuasaan kepada pemiliknya,
yaitu ummat atau masyarakatnya. Ia tidak mau menjadi pemimpin hanya karena
faktor keturunan. Karena keshalehannya, juga kepiawaiannya dalam mengendalikan
berbagai urusan, maka ia dipercayai rakyatnya untuk memimpin.
Tidak seperti raja-raja atau para penguasa sebelum dan sesudahnya, ia
mengendalikan negara dengan semangat kesederhanaan. Ia tinggalkan semua yang
berbau glamour. Ia memilih tetap hidup sederhana. Ketika para tukang kuda
kerajaan membawa kuda-kuda pilihan untuknya sebagai kendaraan kerajaan, ia
justru memerintahkan kepada mereka untuk melelangnya kepada masyarakat umum.
Hasil lelang itu kemudian diserahkan kepada baitul maal.
Tidak hanya itu, istrinya yang mendapatkan harta warisan dan berbagai
pemberian dari keluarga kerajaan diperintahkan pula untuk menyerahkannya kepada
baitul maal. Demikian pula kaum kerabatnya, dirayunya agar bersedia melakukan
hal yang sama. Dari hasil lelang dan pengembalian harta kepada baitul maal ini,
maka terkumpullah dana yang tidak sedikit. Dana itu yang kemudian dipakai untuk
modal menyejahterahkan masyarakat yang kurang mampu.
Langkahnya yang sangat reformatif tentu mengundang simpati dan dukungan
masyarakat luas. Meskipun sebagian elite penguasa ada yang kurang puas dengan
berbagai kebijakannya, tapi negara dalam keadaan aman, damai dan sejahtera.
Tidak ada yang berani mengganggu, sebab mereka akan berhadapan langsung dengan
kekuatan rakyatnya sendiri.
Karena ia berhasil mengangkat orang-orang yang shaleh, jujur dan cakap,
serta efisien dalam kabinetnya, maka berbagai prasangka kelompok dapat
diatasinya. Ia adalah bapak bagi rakyatnya, tapi tetap bisa bersikap tegas dan
keras kepada siapa saja yang melanggar hukum. Rasa keadilannya yang tinggi
membuatnya tidak segan-segan menghukum, bahkan memenjarakan kerabat dekatnya,
seperti Yazid bin Muhallab dengan tuduhan penggelapan.
Bila ada penguasa muslim bersikap dan berwatak seperti ini, maka
kepemimpinannya pasti akan abadi. Sejarah akan mencatatnya dengan tinta emas,
dan generasi di belakangnya pasti akan selalu mengenang. Tidak sekadar menjadi
pelajaran, tapi sekaligus teladan.
Akankah kepemimpnan sekarang ini berwatak sederhana, jujur, ikhlash, cakap dan efisien sebagaimana yang melekat pada diri Umar bin Abdul Aziz? Jarum sejarah masih berputar, waktu juga yang akan membuktikan. Kini saatnya kita tunggu sambil kita doakan, semoga Allah memberi kekuatan iman
Post a Comment
Post a Comment