Theme images by Igniel

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

Jumlah Pengunjung

Archive

Universitas Megarezky

Universitas Megarezky
FKIP Universitas Megarezky

Prodi Pendidikan Jasmani Ada Di Univ. Megarezky

Prodi Pendidikan Jasmani Ada Di Univ. Megarezky
Yukkss Daftarkan Segara Diri Anda untuk menjadi Bagian dari Kami

Ayo Kuliah Di Univ. Megarezky

Ayo Kuliah Di Univ. Megarezky
Pendaftaran Calon Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2020/2021

Translate

Follow Us

Halaman Facebook

Universitas Megarezky

Comment

Bacaan Favorit

Apa itu Cedera Olahraga: Gejala, Penyebab, Diagnosis, dan Cara Mengobati

Post a Comment

Pendahuluan 

Kesehatan olahraga adalah landasan bagi kinerja atlit dalam berolah raga secara maksimal. Pemahaman dan penerapan tentang pengetahuan ilmu kesehatan olah raga(sport medicine) dapat mendorong para pelaku, pembina  dan pelatih olahraga bertindak dan berbuat secara ilmiah dan akurat, tidak dengan melakukan berbagai perkiraan (terkaan) dalam menyusun dan mengondisikan program latihannya.

Para pelatih olahraga memiliki banyak tanggung jawab selama pelatihan dan pertandingan pelatih mempunyai banyak aturan dan membuat banyak keputusan. Tidak ada keputusan yang lebih signifikan dari pada keputusan yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan para pemain. Setiap orang terbiasa melihat seorang pemain jatuh ke tanah selama kompetisi berlangsung,tiupan peluit tanda tidak sah, permainan berhenti dan semua terfokus pada atlet yang jatuh. Sayangnya, cedera tidak terlalu dikenali dengan jelas.  Seorang atlet yang sakit atau cedera dapat terlihat dalam berbagai cara dan berbagai waktu yang tidak sesuai.  Pelatih olahraga sangat berperan penting dalam aspek penanganan cedera, yang dimulai dengan mengenali pemain yang sakit atau cedera memberikan pertolongan pertama yang sesuai, dan akhirnya membat keputusan yang sulit untuk kembali bermain. Semua unsur individu yang terlibat di dalam olahraga harus memahami cedera dan cara penanganan yang tepat karena ini menyangkut keberlangsungan atlet tersebut.

Cedera olahraga semula semula di maknai sebagai peristiwa kekerasan yang mengenai (jaringan) atau tubuh scara tiba-tiba, keras dan intensif. Pengertian itu kemudian berkembang meliputi juga gejala-gejala mikrotraumatik  yang di sebabkan oleh gerak mekanik yang berulang-ulang yang mengakibatkan adanya dampak kumulatif. Kemudian dipahami juga bahwa cedera dapat terjadi tidak hanya oleh penyebab-penyebab eksternal, tetapi dapat terjadi pula karena kegiatan-kegiatan dinamis yang autogen seperti kegiatan-kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya rupture (sobekan) otot.

Pemahaman yang baik terhadap cedera akan memungkinkan  pengambilan keputusan yang tepat pula, sehingga resiko untuk bertambah parahnya cedera para atlet akan semakin berkurang. Dalam pembahasan ini kami mencoba memaparkan cedera yang sering terjadi serta penanganannya untuk lebih menambah wawasan para pelaku olahraga. 

Pengertian Cedera Olahraga 

Semua aktivitas manusia termasuk olahraga penuh dengan resiko atau bahaya. Seiring dengan meningkatnya aktivitas olahraga maka semakin meningkat pula resiko olahraga. Olahraga adalah kegiatan fisik guna mendapatkan kebugaran jasmani, untuk meningkatkan kegiatan fisik pada stamina dan prestasi (arif Setiawan, 2005).

Cedera Olahraga bisa didefenisikan sebagai cedera yang terjadi selama melakukan aktivitas atau latihan. Hal ini dapatdiperluas untuk mencakupcedera yang mempengaruhipartisipasi dalamolahraga danlatihan, danmempengaruhiatlet dari segalausia dansemua tingkatperforma (Rolf, 2007).

Cedera Olahraga adalah segala bentuk trauma sebagai akibat berolahraga. Cedera olahraga terjadi karena ketidakmampuan jaringan (otot, persendian, tendon,  kulit) dan organ tubuh lainnya dalam menerima beban latihan pada saat berolahraga (Hardianto, 1995).  Cedera olahraga adalah cedera pada sistem integumen, otot dan rangka yang disebabkan oleh kegiatan olahraga (Bahr, et. al, 2003).

Dalam arti umum cedera adalah kerusakan atau luka yang dialami atau diderita seseorang. Dengan demikian, cedera olahraga dapat diartikan sebagai cedera yang terjadi pada waktu  melakukan aktivitas fitness,latihan atau pertandingan olahraga (Congeni, 2004 : Dunkin, 2004).

Menurut (Syamsuri, 1984) cedera olahraga adalah cedera yang terjadi pada sistem kerja otot, sehingga dapat mengganggu fungsi kerja pada otot. Cedera dapat terjadi tidak hanya karena penyebab-penyebab eksternal, tetapi dapat pula terjadi karena kegiatan-kegiatan dinamis yang autogen seperti kegiatan-kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya sobekan pada otot (Giriwijoyo, 2012).

 Jenis-Jenis Cedera Olahraga

Cedera olahraga banyak jenisnya dan dapat dikelompokkan atas dasar tempat, proses dan waktu terjadinya cedera. Berdasarkan tempat terjadinya, cedera olahraga dibedakan jaringan lunak dan cedera jaringan keras. Cedera jaringan lunak adalah cedera pada otot, saraf, tendon, ligamen, kulit, pembuluh darah dll. Sedangkan cedera jaringan keras adalah cedera pada tulang berupa retak atau patah seluruhnya (Rusli Lutan, 2001).

Jika dilihat dari proses terjadinya, cedera olahraga dibedakan menjadi cedera tumbukan, cedera pelintiran, dan cedera gesekan. Cedera tumbukan adalah cedera yang terjadi karena tubuh berbenturan dengan benda keras, seperti berbenturan dengan lawan pada saat pertandingan. Cedera yang terjadi karena tubuh melakukan gerakan berputar disebut cedera pelintiran, seperti melakukan gerakan pivot pada permainan bola basket atau sepakbola. Dan yang dimaksud dengan cedera gesekan adalah cedera yang terjadi karena tubuh terkena gesekan permukaan yang kasar, misalnya sliding dalam permainan sepakbola. Gerakan ini dapat mengakibatkan kulit menjadi terkelupas.

Berdasarkan waktu terjadinya cedera olahraga dibedakan menjadi cedera akut dan cedera kronis atau overuse. Yang dimaksud dengan cedera akut adalah cedera yang terjadi seketika akibat trauma misalnya melakukan across-body block dalam football. Yang termasuk cedera ini antara lain, patah tulang, memar, robek ligamen, robek otot atau tendon, lecet dan tergores. Sedangkan cedera kronis adalah cedera yang disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lama, seperti lari, lemparan overhand, atau servis tenis. Cedera ini meliputi, antara lain : stressfracture, tendinitis, dan epifisitis, dan apofisitis (Congeni, 2002).

Giriwijoyo (2012) membagi cedera olahraga menurut penyebabnya ada 2 yaitu: (1) Overuse injury, terjadi disebabkan oleh gerakan berulang yang terlalu banyak dan terlalu cepat, (2) Traumatic injury, terjadi disebabkan adanya benturan atau gerak melebihi kemampuan.

Kebanyakan orang berfikir bahwa cedera yang sering terjadi hanya pada daerah punggung atau lengan dan tungkai pada saat melakukan olahraga atau aktifitas lainnya. Cedera olahraga dapat mengenai seluruh bagian tubuh manusia, seperti muka, leher, kepala, tangan, kaki, dan organ sex dengan klasifikasinya. Giam (1993), membedakan cedera olahraga menurut tingkatannya menjadi 3, yaitu :

1.    Cedera ringan merupakan cedera dengan robekan yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop, dengan sedikit keluhan tapi tidak mempengaruhi performance atlet, misalnya: lecet, memar, atau robekan ligamen kecil.

2.    Cedera sedang adalah cedera dengan kerusakan jaringan, menimbulkan rasa nyeri, bengkak merah, atau panas dengan menimbulkan gangguang fungsi dan mempunyai pengaruh pada performance atlet, misalnya: robek otot dan robek ligamen.

Cedera berat yaitu cedera dengan robekan otot atau ligamen secara lengkap atau hampir lengkap atau fraktur pada tulang yang memerlukan istirahat total, pengobatan intensif, bahkan operasi.

Penyebab Cedera Olahraga

Kecelakaan atau cedera bukan sesuatu yang terjadi begitu saja, melainkan ada penyebabnya. Rusli Lutan (2001) mengatakan bahwa semua atlet baik yang pemula maupun yang sudah berprestasi, terutama remaja dan anak-anak yang berkembang keterampilannya mempunyai potensi mengalamu cedera. Menurut Bompa (2000) cedera banyak disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang latihan dan penambahan beban secara tepat, sikap tubuh yang salah pada saat mengangkat beban, dan lemahnya otot perut.

Pendapat lain mengatakan bahwa cedera yang terjadi pada waktu berolahraga disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : (1) kecelakaan, (2) Pelaksanaan latihan yang kurang baik, (3) Peralatan yang tidak sesuai, (4) kurang persiapan kondisi fisik, (5) pemanasan dan peregangan yang tidak memadai (Dunkin, 2004). Pendapat yang senada disampaikan oleh para pakar lainnya yang mengatakan bahwa penyebab terjadinya cedera olahraga adalah : (1) latihan yang tidak baik, (2) pemakaian perlengkapan keselamatan yang kurang baik dan sesuai, dan (3) pemakaian alas kaki  yang tidak cocok dan tidak sesuai (Congeni, 2004).

Adanya tekanan dari pihak luar, seperti : harapan orang tua dan coach yang berlebihan tanpa memperhatikan keterbatasan seorang atlet, baik fisik maupun tehnik, dapat pula menjadi penyebab terjadinya cedera (Asrul Ananda, 2007). Atlet yang masih muda terpaksa tetap meneruskan permainannya walaupun harus menahan  sakit karena takut dimarahi oleh orang tua atau coach yang sangat mengharapkan dirinya menjadi juara. Rasa sakit yang atau kram yang timbul pada saat orang melakukan olahraga merupakan “bahasa tubuh” untuk memberitahukan bahwa ada sesuatu yang salah (Congeni 2004). Dan jika ini diteruskan maka mungkin saja dapat menghancurkan masa depannya sendiri.

Khoiron Fadil (2008) bahkan menuding wasit sebagai biang keladi terjadinya cedera pada pemain sepakbola karena tidak dapat melaksanakan tugas memimpin pertandingan dengan baik. Keragu-raguan dan ketidak-tegasan wasit pada waktu memimpin pertandingan dengan baik. Keragu-raguan dan ketidaktegasan wasit pada waktu memimpin pertandingan memberikan angin segar bagi pemain untuk berbuat curang dengan mencederai lawannya. Bambang Pamungkas menderita retak engkel kaki kirinya setelah ditebas oleh agus setiawan dalam sebuah pertandingan yang keras yang menjurus kasar di stadion lebak bulus. Dan kasus serupa menimpa Nurul Huda yang mengalami patah tulang kering setelah ditekel secara keras oleh Andi Sutrisno.

Cedera olahraga disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kesalahan metode latihan, kelainan struktural maupun kelemahan fisiologis fungsi jaringan penyokong dan otot (Bahr, et. al, 2003).

a.    Kesalahan Metode Latihan

Metode latihan yang salah merupakan penyebab paling sering cedera pada otot dan sendi. Beberapa hal yang sering terjadi adalah :

1)   Tidak dilaksanakannya pemanasan dan pendinginan yang memadai sehingga atihan fisik yang terjadi secara fisiologis tidak dapat diadaptasi oleh tubuh.

2)   Penggunakan intensitas , frekuensi, durasi dan jenis latihan yang tidak sesuai dengan keadaan fisik seseorang maupun kaidah kesehatan secara umum.

3)   Prinsip latihan overload sering diterjemahkan sebagai latihan yang didasarkan pada prinsip “no gain no pain” serta frekuensi latihan yang sangat tinggi. Hal ini tidak tepat mengingat rasa nyeri merupakan sinyal adanya cedera dalam tubuh baik berupa micro injury maupun macro injury. Pada keadaan ini tubuh tidak memiliki waktu untuk memperbaiki jaringan yang rusak tersebut (Stevenson, et. al, 2000).

 

b.   Kelainan Struktural

Kelainan struktural bisa meningkatkan kepekaan seseorang terhadap cedera olah raga karena pada keadaan ini terjadi tekanan yang tidak semestinya pada bagian tubuh tertentu. Sebagai contoh,  jika panjang kedua tungkai tidak sama, maka pinggul dan lutut pada tungkai yang lebih panjang akan mendapatkan tekanan yang lebih besar. Faktor biomekanika yang menyebabkan cedera kaki, tungkai dan pinggul adalah pronasi (pemutaran kaki ke dalam setelah menyentuh tanah). Pronasi sampai derajat tertentu adalah normal dan mencegah cedera dengan  cara membantu menyalurkan kekuatan menghentak ke seluruh kaki. Pronasi yang berlebihan bisa menyebabkan nyeri pada kaki, lutut dan tungkai. Pergelangan kaki sangat lentur sehingga ketika berjalan atau berlari, lengkung kaki menyentuh tanah dan kaki menjadi rata. Jika seseorang memiliki pergelangan kaki yang kaku, maka akan terjadi hal sebaliknya yaitu pronasi yang kurang. Kaki tampak memiliki lengkung yang sangat tinggi dan tidak dapat menyerap goncangan dengan baik, sehingga meningkatkan resiko terjadinya retakan kecil dalam tulang kaki dan tungkai (fraktur karena tekanan) (Gleim, et. al, 1997).

c.    Kelemahan Otot, Tendon & Ligamen

Jika mendapatkan tekanan yang lebih besar daripada kekuatan alaminya, maka otot, tendon dan ligamen akan mengalami robekan. Sendi lebih peka terhadap cedera jika otot dan ligamen yang menyokongnya lemah. Tulang yang rapuh karena osteoporosis mudah mengalami patah tulang (fraktur). Latihan penguatan bisa membantu mencegah terjadinya cedera. Satu- satunya cara untuk memperkuat otot adalah berlatih melawan tahanan, yang secara bertahap kekuatannya ditambah (Meeuwisse, 1994).

Menurut (Finch, 2006) ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya cedera, yaitu : 

a.   Kondisi individu/perorangan

Kondisi individu adalah kondisi yang terjadi pada individu tersebut, meliputi :

1)   Umur, kemampuan fungsi tubuh akan menurun setelah usia 30 tahun sehingga lebih beresiko mengalami cedera.

2)   Jenis Kelamin, perempuan lebih rentan terhadap cedera dibandingkan laki-laki karena perbedaan struktur anatomi dan kemampuan fisiologi.

3)   Karakter, tipe kepribadian yang temperamental/emosional akan meningkatkan resiko terjadinya  cedera.

4)   Pengalaman, pemula cenderung lebih mudah mengalami cedera dibandingkan yang sudah berpengalaman.

5)   Pemanasan (Warming Up), pemanasan yang kurang baik akan mempengaruhi kesiapan tubuh dalam menerima beban saat berolahraga.

6)   Kelainan postur, pada tubuh yang sehat, kelelahandan berat badan berlebih akan memudahkan terjadinya cedera olahraga.

b.   Sarana Olahraga

Peralatan yang bentuk dan ukurannya tidak sesuai dengan masing-masing individu akan memudahkan terjadinya cedera .

c.    Karakteristik Olahraga

Jenis olahraga akan mempengaruhi bagian tubuh yang rentan cedera, oleh karena itu bila diperlukan dapat menggunakan pelindung tubuh sesuai kebutuhan olahraga.

d.   Lingkungan Fisik

Suhu dan kelembaban udara yang ekstrem mempengaruhi tubuh saat berolahraga.  Biasanya terjadi pada saat cuaca panas dan dingin yang ekstrem. 

Patofisiologi Dan Diagnosis Cedera Olahraga

Secara umum patofisiologi terjadinya cedera berawal dari ketika sel mengalami kerusakan, sel akan mengeluarkan mediator kimia yang merangsang terjadinya peradangan. Mediator tadi antara lain berupa histamin, bradikinin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator kimiawi tersebut dapat menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah serta penarikan populasi sel- sel kekebalan pada lokasi cedera. Secara fisiologis respon tubuh tersebut dikenal sebagai proses peradangan. Proses peradangan ini kemudian berangsur-angsur akan menurun sejalan dengan terjadinya regenerasi proses kerusakan sel atau jaringan tersebut (Van Mechelen, et. al, 2004). Selain berdasarkan tanda dan gejala peradangan, diagnosis ditegakkan berdasarkan keterangan dari penderita mengenai aktivitas yang dilakukannya dan hasil pemeriksaaan penunjang.

a.    Gejala Cedera Olahraga

Tanda akut cedera olahraga yang umumnya terjadi adalah tanda respon implamasi atau peradangan tubuh berupa tumor( pembengkakaan), kalor(peningkatan suhu), rubor(warna merah), dolor(nyeri) danfunctionleissa(penurunan fungsi). Nyeri pertama kali muncul jika serat-serat otot atau tendon yang jumlahnya terbatas mulai mengalami robekan.Selain nyeri muncul tanda radang seperti bengkak, kemerahan, panas dan penurunan fungsi. Pada proses lanjut tanda-tanda peradangan tersebut akan berangsur angsur menghilang. Apabila tanda peradangan awal cukup hebat, biasanya rasa nyeri masih dirasakan samapai beberapa hari setelah onset cedera. Kelemahan fungsi berupa penurunan kekuatan dan keterbatasan jangkauan gerak juga sering dijumpai (Stevenson. et. al, 2000).

b.   Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari anamnesis (wawancara dengan penderita) serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dapat berupa CT scan MRI, artroskopi, elektromyografi.

Penanganan Dasar Cedera Pada Olahraga

Menurut Ronald Pfeiffer, et. al  (2009) prinsip pertolongan pertama pada cedera olahraga adalah mencegah cedera agar tidak menjadi lebih parah. Dalam upaya mencegah terjadinya cedera yang lebih parah ada suatu program yang harus dilakukan oleh seorang guru/ pelatih atau atlet walaupun nantinya tetap memerlukan pertolongan dokter. Program termaksud adalah (Rest, Ice, Compression, dan Elevation).  Program ini lebih dikenal dengan istilah “RICE”. Jadi langkah-langkah yang harus dilakukan segera setelah terjadi cedera adalah sebagai berikut:

1. Rest = istirahat. Hentikan aktifitas atau istirahatkan bagian tubuh yang mengalami cedera. Menghentikan aktivitas atau mengistirahatkan bagian tubuh yang mengalami cedera memang harus dilakukan, karena hal ini penting untuk pencegahan perluasan cedera dan percepatan penyembuhan.  Bila rest tidak dilakukan dan bagian tubuh yang cedera tetap aktif, maka cedera akan menjadi lebih parah dan kesembuhan menjadi lebih lama.

2. Ice = Es. Artinya dinginkan bagian yang cedera dengan kompres es. Tujuan pemberian es segera setelah terjadi cedera adalah agar jaringan disekitar cedera, termasuk pembuluh darah kapiler menyempit. Keadaan tersebut sangat diperlukan untuk mengurangi pendarahan dan edema, karena bila darah dan cairan tubuh banyak masuk dan tertimbun dalam jaringan yang  rusak akibat cedera, maka waktu yang diperlukan untuk sembuh menjadi lebih lama. Selain itu kegunaan dan kompres es adalah untuk mengurangi rasa sakit. Perlu diingat bahwa kompres es hanya efektif maksimal 3 x 24 jam setelah cedera.

3. Compression = Penekanan. Artinya tekan bagian yang cedera. Penekanan dapat saja dilakukan dengan tangan atau dengan jari, namun demikian cara ini anjurkan hanya dalam keadaan terpaksa atau darurat. Jadi sebaiknya penekanan dilakukan dengan pembalut elastis. Tujuan dari penekanan ialah untuk menghambat darah dan cairan tubuh masuk ke bagian cedera, karena dengan demikian diharapkan pembengkakan menjadi lebih kecil dari yang seharusnya dengan demikian kesembuhan jadi lebih cepat. Karena seperti diketahui bahwa bila terjadi cedera maka jaringan disekitarnya menjadi rusak, mungkin pecah, putus, atau robek. Keadaan demikian memungkinkan darah dan cairan jaringan masuk dan tertimbun di dalam bagian yang cedera makin banyak. Kalau keadaan ini terjadi maka jaringan disekitar yang cedera menjadi teregang dan waktu yang diperlukan untuk sembuh menjadi lama. Memang dalam kondisi tertentu pembengkakan diperlukan, karena ia membawa anti bodi untuk membunuh bibit penyakit, tetapi bila tidak terjadi luka terbuka maka antibodi tidak diperlukan.

4. Elevation = Peninggian. Artinya selama perawatan bagian tubuh yang cedera diletakkan pada posisi yang lebih tinggi dari jantung. Tujuannya yang pertama adalah untuk menghambat darah dan cairan tubuh masuk ke bagian cedera. Kemudian yang ke dua agar pengangkutan cairan yang tertimbun dari selsel yang sudah rusak dapat diangkut dengan cepat dari dalam jaringan yang cedera.

Penerapan RICE

1. Ambil es batu, pecahkan sampai cukup halus, kemudian masukan kedalam kantong plastik. Ambil saputangan/atau kain kasa, lipat dan letakan di atas cedera, letakan es batu yang telah disiapkan, kemudian balut agak kencang.

2. Letakan bagian yang cedera pada posisi lebih tinggi dari jantung.

3. Tunggu sampai 30 menit (untuk derajat dua atau lebih), buka pembalut dan lepaskan es dari bagian cedera. Biarkan selama 30 menit. Setelah itu ulangi pengompresan dengan es dan pembalutan selama 30 menit. Lakukan 3 hari berturut-turut.

Macam–Macam Cedera dalam Olahraga dan Penanganannya

Secara umum menurut pendapat yang dikemukakan oleh Paul dan Diare (1993) cedera yang mungkin dapat terjadi pada saat latihan atau pertandingan olahraga, antara lain: cedera memar, cedera ligamentum, cedera pada otot atau tendo, pendarahan pada kulit, dan pingsan.

Sedangkan menurut Bahr (2003) macam-macam cedera yang mungkin terjadi adalah cedera memar, cedera ligamen, cedera pada otot dan tendon, perdarahan pada kulit, dan pingsan. Struktur jaringan di dalam tubuh yang sering terlibat dalam cedera olahraga adalah: otot, tendo, tulang, persendian termasuk tulang rawan, ligamen, dan fasia.

a.     Memar (Contusio)

Memar adalah keadaan cedera yang terjadi pada jaringan ikat dibawah kulit. Memar  biasanya diakibatkan oleh (bodycontac) benturan atau pukulan pada kulit. Jaringan di bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah kecil pecah, sehingga darah dan cairan seluler merembes ke jaringan sekitarnya. Memar ini menimbulkan daerah kebiru-biruan atau kehitaman pada kulit. Apabila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan di daerah yang terbatas disebut hermatoma (Van Mechelen, et. al, 2004). Nyeri pada memar biasanya ringan sampai sedang dan  pembengkakan yang menyertai sedang sampai berat. Adapun memar yang mungkin terjadi pada daerah kepala, bahu, siku, tangan, dada, perut dan kaki. Benturan yang keras pada kepala dapat mengakibatkan memar dan memungkinkan luka sayat

Gambar 1. Cedera memar di lutut

Penanganan pada cedera memar

1. Kompres dengan es selama 12-24 jam untuk menghentikan pendarahan kapiler.

2. Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat pemulihan jaringan jaringan lunak yang rusak.

3. Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan maupun pertandingan berikutnya.

Sedangkan menurut Ronald Pfeiffer, et. al (2009) ada empat metode dalam merawat atlet yang terkena cedera memar yaitu :

1)      Segera keluakan atlet dari kompetisi.

2)      Kompres dengan kantong es selama 20 menit, tiga sampai empat kali sehari selama 48 jam.

3)      Gunakan perban elastis untuk memberi tekanan pada memar.

4)      Jika tidak segera membaik hendaknya segera mencari pertolongan medis.

a.    Cedera pada Otot atau Tendo dan Ligamen

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Hadianto (1994) ada dua jenis cedera yang dapat terjadi pada otot atau tendo dan ligamentum, yaitu strain dan sprain. Sedangkan menurut pendapat yang dikemukakan oleh Giam dan Teh (1993) strain adalah kerusakan pada suatu bagian jaringan otot atau tendon karena penggunaan yang berlebihan ataupun stress yang berlebihan. Sprain adalah cedera pada bagian persendian dengan diikuti terjadi robekan pada ligamentum, hal ini disebabkan oleh stress berlebihan yang mendadak atau penggunaan yang berlebihan secara berulang-ulang dari persendian.

Menurut Van Mechelen (2004) cedera pada ligamentum dikenal dengan istilah sprain sedangkan cedera pada otot dan tendon dikenal sebagai strain. Ronald Pfeiffer, et. al (2009) mengemukakan bahwa Sprain adalah cedera pada ligamentum yang mengelilingi dan menopang suatu sendi. Sedangkan Strain adalah cedera yang terjadi pada otot atau tendon yang membantu menggerakkan suatu sendi atau tulang.


Gambar 2. Cedera pada otot dan ligamen

(Di ambil dari http://www.google.com/images//search:strain)

               1) Sprain

Sprain adalah cedera pada ligamentum. Ligamen adalah tali pengikat berupa pita fibrosa yang fungsinya adalah untuk menghubungkan ujung tulang yang satu dengan ujung tulang yang lainnya sehingga membentuk suatu persendian. Cedera ini yang paling sering terjadi pada berbagai cabang olahraga, hal ini terjadi karena stress berlebihan yang mendadak atau penggunaan berlebihan yang berulang-ulang dari sendi.

Fakta lapangan menunjukan, di lingkungan para atlet, cedera pada persendian sering diabaikan karena harus bertanding atau berlomba, terutama kalau cedera itu relatif ringan, akibatnya cedera menjadi lebih parah. Mengingat keadaan tersebut di atas perlu diwaspadai, maka pada bagian berikut ini ada beberapa kategori cedera ligamen yang perlu diketahui oleh para atlet dan pelatih.

Dalam sebuah artikel yang berjudul “Ankle Sprains and the Athlete” menyebutkan bahwa 25.000 orang di Amerika menderita angkle sprain setiap hari dan ini merupakan setengah dari jumlah cedera olahraga yang terjadi dan menyebakan banyaknya atlet mengambil cuti dari latihan serta kegiatan lainnya. Selain itu lebih dari 80 persen angkle sprain terjadi karena hasil inversi atau pergelangan kaki bergulir kedalam. (Victor Ibrahim, et. al, 2009).  Berdasarkan Van Mechelen (2004) berat ringannya cedera sprain dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :

a) Sprain tingkat I

Pada cedera ini terdapat sedikit hematoma dalam ligamentum dan hanya beberapa serabut yang putus. Cedera menimbulkan rasa nyeri tekan, pembengkakan dan rasa sakit pada daerah tersebut.

b) Sprain tingkat II

Pada cedera ini lebih banyak serabut dari ligamentum yang putus, tetapi lebih separuh serabut ligamentum yang utuh. Cedera menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan, pembengkakan, efusi, (cairan yang keluar) dan biasanya tidak dapat menggerakkan persendian tersebut.

c) Sprain tingkat III

        
Pada cedera ini seluruh ligamentum putus, sehinnga kedua ujungya terpisah. Persendian yang bersangkutan merasa sangat sakit, terdapat darah dalam persendian, pembekakan, tidak dapat bergerak seperti biasa, dan terdapat gerakan–gerakan yang abnormal


Gambar 3. Angkle Spain, grade 1,2, & 3

(Di ambil dari http://www.google.com/images//search:sprain )

 Menurut Brukner dan Khan (1993) cedera ligament yang sering terjadi pada para atlet secara umum adalah disekitar enkle, persendian lutut, dan jari tangan. Kemudian yang penting juga untuk diketahui oleh para pelatih dan atlet jangan melakukan pemijatan dan jangan melakukan latihan atau pertandingan/perlombaan sebelum rasa sakit hilang. Karena rasa sakit adalah sinyal dari tubuh yang memberi makna ada kerusakan. Bila sinyal tersebut di abaikan, kemungkinan cedera bisa menjadi lebih parah dan kesembuhan menjadi lebih lama.

2) Strain

Strain adalah kerusakan pada suatu bagian otot atau tendon (muscle tendon unit), berupa putusnya beberapa serabut tendon, serabut otot, atau mungkin terjadi pada dua-duanya karena penggunaan yang berlebihan ataupun stress yang berlebihan. Berat ringan cedera yang terjadi cukup bervariasi, bergantung pada suatu kondisi saat cedera terjadi. Selain akibat overuse syndrome strain juga dapat terjadi akibat over stretching dan over stress. Overstretching pada dasarnya terjadi akibat regangan yang berlebihan telah terjadi pada otot dan peristiwanya sendiri dapat terjadi pada saat latihan atau pada saat bertanding/berlomba. Kemudian over stress pada dasarnya terjadi disebabkan oleh beban kerja otot terlalu berat. Biasanya terjadi saat-saat latihan, khususnya pada saat weight training, atau latihan angkat besi. Dapat juga terjadi akibat trauma. Misalnya kondisi otot, berat beban, besarnya tenaga yang menyebabkan cedera. 

Pada pemain bulu tangkis, strain sering terjadi pada achiles, hamstring, daerah bahu, patela, dan pada bagian bawah pinggang (low back pain). Contoh pada pemain bulu tangkis umumnya terjadi saat seorang pemain melakukan gerakan yang eksplosif, seperti waktu mengayun raket untuk melakukan smash, melompat, atau split dalam upaya menjangkau shuttlecock. Sedangkan pada pemain bola voli, sering terjadi pada patela. Selanjutnya pada pelari sering terjadi hamstring dan patela. Kemudian pada pemain sepak bola strain sering terjadi pada otot gastrocnemius, quadricepsfemuris, hamstring, pada groin (pada bagian selangkangan). Cedera pada groin dapat dikatakan sebagai cedera khas pada pemain sepak bola, dengan karena the foothallers’s groin. Kemudian contoh lainnya pada para pemain sepak bola cedera pada tendon achilles. Bahr (2003) membagi strain menjadi 3 tingkatan, yaitu:

a) Strain tingkat I

Pada strain tingkat I, terjadi regangan yang hebat, tetapi belum sampai terjadi robekan pada jaringan otot maupun tendon.

b) Strain tingkat II

Pada strain tingkat II, terdapat robekan pada otot maupun tendon. Tahap ini menimbulkan rasa nyeri dan sakit sehingga terjadi penurunan kekuatan otot.

c) Strain tingkat III

Pada strain tingkat III, terjadi robekan total pada unit musculus tendineus. Biasanya hal ini membutuhkan tindakan pembedahan, kalau diagnosis dapat ditetapkan. Adapun strain dan sprain yang mungkin terjadi dalam cabang olahraga renang yaitu punggung, dada, pinggang, bahu, tangan, lutut, siku, pergelangan tangan dan pergelangan kaki.

Tanda-tanda strain:

1. Sakit setempat dan menusuk

2. Sakit bila ada gerakan atau diregang

3. Sakit bila diraba dengan sedikit tekanan

4. Bila diraba dengan sedikit tekanan di bawah kulit terasa ada masa lunak.

Gambar 4. Strain hamstring

(Di ambil dari http://www.google.com/images//search:strain/hamstring )



Gambar 5. Strain ligamen, grade 1,2, dan 3.

(Di ambil dari http://www.google.com/images//search:strain/ligament )

Penanganan pada Strain dan Sprain

Bahr (2003) menyatakan beberapa hal dapat mengatasi strain dan sprain yaitu :

(a) Sprain/strain tingkat satu

Pada keadaan ini, bagian yang mengalami cedera cukup diistirahatkan untuk memberi kesempatan regenerasi pada otot.

(b) Sprain/strain tingkat dua

Pada keadaan ini penanganan yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip RICE (Rest, Ice, Compession and Elevation). Tindakan istirahat yang dilakukan sebaiknya dalam bentuk fiksasi dan imobilisasi (suatu tindakan yang diberikan agar bagian yang cedera tidak dapat digerakan) dengan cara balut tekan, spalk maupun gibs. Tindakan imobilisasi dilakukan selama 3-6 minggu. Terapi dingin yang dilakukan dilakukan pada fase awal cedera. Pada fase lanjut terapi dingin digantikan dengan terapi panas. Pada keadaan subkronis dimana tanda tanda peradangan sudah menurun dilakukan terapi manual berupa massage. Pada fase akhir dapat dilakukan terapi latihan untuk memaksimalkan proses penyembuhan.

(c) Sprain/strain tingkat tiga

Pada keadaan ini, penderita diberi pertolongan pertama dengan metode RICE  (Rest, Ice, Compession andElevation) dan segera diikirim kerumah sakit untuk dijahit dan menyambung kembali robekan ligamen, otot maupun tendon.

Sedangkan menurut Ronald Pfeiffer, et. al  (2009) penanganan pada sprain dan strain dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1.      Keluarkan atlet dari dari kompetisi.

2.      Kompres dengan es selama 20 menit.

3.      Jika dicurigai terjadi sprain/strainminor dan cedera bersifat lokalisata, maka evaluasi sendi terhadap rentang gerak sendi (range of motion, ROM ) dan kemampuan menopang tubuh.

4.      Pada sprain/strain minor, sarankan atlet untuk menhentikan aktivitas selama sekurang-kurangnya 24 jam dan gunakan prinsip RICE (Rest, Ice, Compession andElevation).

5.      Jika rasa nyeri, bengkak dan gerakan terbatas berlangsung menetap maka carilah pertolongan medis.

c.  Dislokasi                                 

Dislokasi adalah terlepasnya sebuah sendi dari tempatnya yang seharusnya. Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi di bahu, angkle (pergelangan kaki), lutut dan panggul. Faktor yang meningkatkan resiko dislokasi adalah ligamen-ligamennya yang kendor akibat pernah mengalami cedera, kekuatan otot yang menurun ataupun karena faktor eksternal yang berupa tekanan energi dari luar yang melebihi ketahanan alamiah jaringan dalam tubuh (Stevenson, et. al, 2000).

 

Gambar 6. Dislokasi pada bahu

(Di ambil dari http://www.google.com/images//search:dislokasi/bahu/pemainbola )

Penanganan Dislokasi

Menurut Stevenson (2000) prinsip dasar penanganan dislokasi adalah reposisi. Reposisi pada keadaan akut (beberapa saat setelah cedera sebelum terjadinya respon peradangan) dapat dilakukan dengan lebih mudah. Pada keadaan akut dimana respon peradangan sudah terjadi, reposisi relatif sukar untuk dilakukan. Pada keadaan ini, direkomendasikan untuk menunggu berkurangnya respon peradangan. Pada keadaan kronis dimana respon peradangan sudah berkurang, reposisi dapat dilakukan dengan jalan melemaskan kembali persendian supaya dapat dilakukan penarikan dan pergeseran tulang dengan lebih mudah. Pelemasan jaringan persendian dapat dilakukan dengan terapi panas maupun dengan manual therapy pada bagian proksimal dan distal lokasi yang mengalami dislokasi. Penanganan yang dilakukan pada saat terjadi dislokasi adalah melakukan reduksi ringan dengan cara menarik persendian yang bersangkutan pada sumbu memanjang. Setelah reposisi berhasil dilakukan, sendi tersebut difiksasi selama 3-6 minggu untuk mengurangi resiko terjadinya dislokasi ulang. Apabila rasa nyeri sudah minimal, dapat dilakukan exercise therapy secara terbatas untuk memperkuat struktur persendian dan memperkecil resiko dislokasi ulang (Meeuwisse, 1994).

d.  Patah Tulang (Fraktur)

Patah tulang (fraktur) adalah suatu keadaan tulang yang mengalami keretakan, pecah, atau patah. Patah tulang dibagi menjadi dua macam yaitu: fraktur sederhana (simple fracture) dan fraktur kompleks (compound fracture) (Hartono, 1993).  Patah tulang adalah suatu keadaan yang mengalami keretakan, pecah atau patah, baik pada tulang maupun tulang rawan. Bahr (2003) membagi fraktur berdasarkan continuitas patahan, patah tulang dapat digolongkan menjadi dua yaitu:

1.    Patah tulang komplek, dimana tulang terputus sama sekali.

2.    Patah tulang stress, dimana tulang retak, tetapi tidak terpisah.

Sedangkan, berdasarkan tampak tidaknya jaringan dari bagian luar tubuh, Bahr (2003) membagi patah tulang manjadi:

1.    Patah tulang terbuka dimana fragmen (pecahan) tulang melukai kulit diatasnya dan tulang keluar.

Patah tulang tertutup dimana fragmen (pecahan) tulang tidak menembus permukaan kulit.


Gambar 7. Patah Tulang terbuka & Tertutup

Penanganan Patah Tulang

Hal yang harus dilakukan pada keadaan patah tulang adalah olahragawan tidak boleh melanjutkan pertandingan. Penderita harus segera direposisi oleh tenaga medis secepat mungkin dalam waktu kurang dari lima belas menit, sebelum terjadi respon peradangan jaringan lunak yang dapat mengganggu proses reposisi. Setelah dilakukan reposisi bagian yang mengalami patah tulang kemudian difiksasi dengan spalk balut tekan untuk mempertahankan kedudukan yang baru, serta menghentikan perdarahan.

e.  Kram Otot

Kram otot adalah kontraksi yang terus menerus yang dialami oleh otot atau sekelompok otot dan mengakibatkan rasa nyeri. penyebab kram adalah otot yang terlalu lelah, kurangnya pemanasan serta peregangan, adanya gangguan sirkulasi darah yang menuju ke otot sehingga menimbulkan kejang (Parkkari, e. al. 2001). Beberapa hal yang dapat menimbulkan kram antara lain adalah :

1. Kelelahan otot saat berolahraga sehingga terjadi akumulasi sisa metabolik yang menumpuk berupa asam laktat kemudian merangsang otot/ saraf hingga terjadi kram.

2. Kurang memadainya pemanasan serta pendinginan sehingga tubuh kurang memiliki kesempatan untuk melakukan adaptasi terhadap latihan (Parkkari, et. al, 2001).

Gambar 8. Kram pada otot betis

(Di ambil dari http://www.google.com/images//search:kram//otot_betis )

Penanganan Kram Otot

Penanganan cedera pada umumnya terhadap kram otot yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Atlet diistirahatkan, diberikan semprotan chlor ethyl spray untuk menghilangkan rasa nyeri/sakit yang bersifat lokal dan atau es.

2. Menahan otot waktu berkontraksi supaya myiosinfilament dan actinmyosin dapat menduduki posisi yang semestinya sehingga kram berhenti. Pada waktu ditahan dapat disemprot dengan chlor etyl spray, hingga hilang rasa nyeri.

f. Pendarahan

Perdarahan terjadi karena pecahnya pembuluh darah sebagai akibat dari trauma pukulan atau terjatuh. Gangguan perdarahan yang berat dapat menimbulkan gangguan sirkulasi sampai menimbulkan shocks (gangguan kesadaran) (Van Mechelen et al. 2004).


Penanganan Pendarahan

a) Pendarahan pada Hidung

Pada perdarahan hidung, hal yang harus dikontrol terutama adalah airway (jalan nafas) dan breathing (pernapasan). Menurut Bahr (2003), beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :

1) Penderita didudukan, batang hidung dijepit sedikit kebawah tulang rawan hidung, dalam posisi ibu jari berhadapan dengan jari-jari yang lain. Hal ini dilakukan kurang lebih 5 menit dengan jari tangan sementara penderita dianjurkan bernafas melalui mulut

2) Hidung dan mulut dibersihkan dari bekas-bekas darah. Biasanya pendarahan akan berhasil dihentikan. Sebaiknya juga diberikan kompres dingin disekitar batang hidung, sekitar mata hingga pipi.

3) Bila pemijatan tidak berhasil, maka atlet harus diberi perlotongan oleh dokter atau dibawa kerumah sakit. Pada keadaan ini kemungkinan besar perdarahan disertai patah tulang, kadang-kadang deformitas dapat terjadi.

4) Bila terjadi patah tulang/fraktur atau retak pada tulang hidung, maka untuk menghentikan pendarahan pada hidung tidak boleh dipijit, tetapi hanya diberi kompres dingin saja, lalu dikirim kerumah sakit. Pada keadaan ini, tidak diperkenankan untuk meniupkan udara dari hidung dengan paksa untuk mengeluarkan bekuan-bekuan darah, karena ini dapat menimbulkan emboli paru.

b) Pendarahan pada mulut

Seperti halnya pada perdarahan hidung, penanganan perdarahan pada mulut harus memperhatikan aspek airway (jalan napas) dan breathing (pernapasan). Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain adalah:

1) Pendarahan dari bibir atau gusi dihentikan dengan penekanan secara langsung dan kompres dingin.

2) Apabila gigi goyang atau patah tulang, gigi tidak boleh dicabut dan atlet dikirim untuk penanganan lanjut di dokter gigi.

g. Kehilangan Kesadaran (Pingsan)

Pingsan adalah keadaan kehilangan kesadaran yang bersifat sementara dan singkat, di sebabkan oleh berkurangnya aliran darah, oksigen, dan glukosa. Hal merupakan akibat dari (1) Aktivitas fisik yang berat sehingga mennyebabkan deposit oksigen sementara. (2) Pengaliran darah atau tekanan darah yang menurun karena pendarahan hebat. (3) Karena jatuh dan benturan. Terdapat beberapa macam penyebab pingsan yaitu:

a) Pingsan biasa (simple fainting)

Pingsan jenis ini misalnya dijumpai pada orang-orang berdiri berbaris diterik matahari, atau orang yang anemia (kurang darah), lelah, takut, tidak tahan melihat darah.

b) Pingsan karena panas (heat exhaustion)

Pingsan jenis ini terjadi pada orang-orang sehat bekerja di tempat yang sangat panas.

Gambar 10. Pingsan pada saat olahraga & pada saat upacara

(Di ambil dari http://www.google.com/images//search:strain/hamstring )

Penanganan Kehilangan Kesadaran (Pingsan)

(1) Mengeluarkan atau membawa olahragawan ke tempat yang tenang dengan posisi terlentang dan kepala tanpa bantal.

(2) Melakukan pemeriksaan dengan lebih teliti lagi mengenai refleks pupil. Jika ditemukan antara pupil mata kanan dan kiri (anisokur) ini berarti bukan semata-mata gegar ringan tetapi dalam keadaan gawat.

h.  Luka

Luka didefinisikan sebagai suatu ketidaksinambungan dari kulit dan jaringan dibawahnya yang mengakibatkan pendarahan yang kemudian dapat mengalami infeksi. Seluruh tubuh mempunyai kemungkinan besar untuk mengalami luka, karena setiap perenang akan melakukan kontak langsung pada saat latihan dan bisa juga luka karena peralatan yang dipakai. (Stevenson, et. al. 2000).


Gambar 11. Luka pada telapak tangan

Penanganan Luka

a) Luka dibersihkan dari kotoran dengan jalan dicuci dengan hidrogen peroksida (H202) 3% yang bersifat antiseptik (membunuh bibit penyakit), detol atau betadine, PK (kalium permangat) ataupun dengan sabun. Setelah luka dikeringkan lalu diberikan obat-obatan yang mengandung antiseptik dan bersifat mengeringkan luka, misalnya: obat merah, yodium tingtur, larutan betadine pekat. Apabila luka robek lebih dari 1cm, sebaiknya dijahit.

b) Apabila lepuhnya robek, kulit dipotong kemudian dibersihkan dan dibebat dengan bahan yang tidak melekat. Apabila lepuh utuh dan tidak mudah robek maka langsung dibersihkan dan dibebat dengan bahan yang tidak melekat (Stevenson, et. al, 2000).

A.  Pencegahan Cedera Olahraga

Mencegah lebih baik daripada mengobati, inilah kiranya pepatah populer yang sering kita dengar. Karena mencegah biaya akan lebih ringan dan pada pengobatan yang tidak sempurna akan menimbulkan invalid. Orang akan menderita dan mungkin akan putus asa karena kehilangan masa depan dengan cedera yang dialaminya. Kedatipun demikian , orang tidak boleh merasa pesimis apalagi akan takut berolahraga , karena pada prinsipnya cedera itu dapat dicegah. Untuk mencegah cedera dibutukan tanggung jawab dari setiap individu secara terus menerus dan kesiap-siagaan terhadap kebutuhan cedera (Creighton, 1974). Setiap cabang olahraga memerlukan kebutuhan keselamatan yang sama atau hampir sama.

Menurut Bethesda (2001) untuk menurunkan resiko terjadinya cedera perlu dilakukan tindakan pencegahan atau preventif. Pendapat senada disampaikan oleh Congeni (2004) yang mengatakan bahwa cara terbaik untuk menghadapi cedera olahraga adalah mencegahnya. Huisenga (2004) menambahkan bahwa memakai perlengkapan pada waktu berolahraga atau melakukan aktivitas lainnya merupakan kunci untuk mencegah cedera.

Oleh Congeni (2002) tindakan preventif untuk mencegah terjadinya cedera olahraga dijabarkan secara rinci, sebagai berikut :

1.    Mempunyai kondisi fisik yang baik pada waktu berolahraga.

2.    Mengetahui dan melaksanakan aturan main.

3.    Menggunakan alat pelindung yang sesuai dengan baik.

4.    Mengetahui cara menggunakan peralatan.

5.    Melakukan pemanasan sebelum berolahraga.

 Senada dengan pendapat diatas, Creighton, (1974) menganjurkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menghidari terjadinya kecelakaan yang dapat menimbulkan cedera, yaitu : (1) Mengetahui keterampilan dengan benar, (2) memahami dan menerapkan peraturan permainan, (3) memakai pelindung yang sesuai, (4) memelihara peralatan agar tetap dalam kondisi baik, dan (5) fisik dalam keadaan fit, terutama untuk berolahraga.

Menurut Stevenson (2000) beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya cedera olahraga antara lain adalah:

1.      Pemeriksaan awal sebelum melakukan olahraga untuk menentukan ada tidaknya kontraindikasi dalam berolahraga.

2.      Melakukan olahraga sesuai dengan kaidah baik, benar, terukur dan teratur.

3.      Menggunakan sarana yang sesuai dengan olahraga yang dipilih.

4.      Memperhatikan kondisi prasarana olahraga.

5.      Memperhatikan lingkungan fisik seperti suhu dan kelembaban udara sekelilingnya.

Sedangkan menuurt Hadianto Wibowo (1995) ada beberapa hal yang sangat perlu diperhatikan sebagai upaya preventif atau pencegahan terhadap cedera olahraga yaitu adalah :

1.        Pencegahan Melalui Lingkungan, sebelum berolahraga (berlatih atau bertanding), seorang pemain atau pelatih harus mempersiapkan lapangan dan sarananya, baik kelayakannya, situasi dan kondisi lapangan, cuaca, dan kebersihan lapangan sehingga aktivitas dapat dilakukan dengan aman dan nyaman.

2.        Pencegahan melalui Perlengkapan yang Dipakai (Equipment),  pemilihan dan penggunaan pakaian, sepatu atau perlengkapan lainya harus disesuaikan dengan kondisi lapangan atau cuaca. Pakaian harus bisa menyerap panas dan keringat sedangkan pemilihan jenis sepatu yang baik disesuaikan dengan kondisi tanah atau lapangan.

3.        Pencegahan melalui Latihan, latihan merupakan proses untuk meningkatkan dan menyempurnakan keterampilan dan otomatisasi gerakan sehingga tubuh akan adaptif, fisik, kekuatan, dan daya tahan tubuh meningkat. Dengan meningkatnya adaptasi tubuh tersebut kemungkinan terjadinya cedera dapat dicegah atau diminimalisasi.

4.        Pencegahan melalui Pemanasan, Penguluran, dan Pendinginan, (sebelum dan sesudah latihan) memberikan banyak manfaat seperti menyiapkan organ tubuh, mempersingkat waktu istirahat (recovery), mengurangi ketegangan otot dan stress/tekanan jiwa. Pemanasan-penguluran dan pendinginan yang baik diharapkan dapat mencegah atau mengurangi terjadinya cedera.

5.        Pencegahan melalui Keterampilan, pengusaan tingkat keterampilan, teknik maupun taktik baik secara individu maupun kerja sama tim yang dilakukan dengan baik dan benar diharapkan dapat mencegah atau mengurangi terjadinya cedera.

6.        Pencegahan melalui Pola dan Pemilihan Makanan, makanan dan minuman yang baik, menyehatkan dan dapat segera diserap oleh tubuh sebagai sumber tenaga dan pengganti ion/cairan tubuh dapat mencegah dan mengurangi terjadinya cedera.

7.        Pencegahan melalui Pelatih atau Maseur, Seorang pelatih pada saat menyusun atau melaksanakan program (beban) latihan perlu mempertimbangkan kondisi atlet agar atletnya tidak overload atau overtraining sehingga cedera dapat dicegah atau diminimalisasi. Apabila seorang atlet mengalami ketegangan otot dan kelelahan akibat latihan, perlu dilakukan relaksasi atau pemijatan oleh pemijat (maseur) agar kondisi ototnya menjadi pulih kembali.

    Pencegahan melalui Alat Bantu atau Pertolongan, Seorang atlet yang pernah mengalami cedera atau dalam masa penyembuhan perlu menggunakan alat bantu pengaman(deker, tensocrab, pembalut, dll) agar tidak terjadi cedera yang lebih parah lagi.


DAFTAR PUSTAKA

 

Ananda. Azrul. 2007. “Cegah Cedera Olahraga pada anak” Jawa Pos. (23 April 2007). Halaman 20. “http://www.jawapos.com. Diakses pada tanggal 26 Juni 2013.

Bahr, R., and Holme,I. 2003. "Risk Factors for Sports Injuries: A Methodological Approach." British journal of sports medicine37(5): 384.

Bethesda. 2001.”Childhood Sport Injuries and Their Prevention: A guide for Parents with Ideas for Kid.“ http://www.Niams.nih.gov/hi/topics/child sports/child_sport.htm. Diakses tanggal 26 Juni 2013.

Bompa, T. O. 2000. Total Training for young Champins. USA: Human Kenetic.

Brukner, P. dan Khan, K. 1993. Clinical Sports Medicine. Australia: McGraw-HillBook Company.

Congeni, J. A.  2002. “ Play it Safe Sport: A Guide to Safety For Young Athletes”. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/sportsafety.html. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013.

Congeni, J. A.  2004. ”Dealing With Sport Injury” http:/kidshealth.Org/teen /food_fitness/sports/sport_injuries.html. Diakses pada tanggal 26 Juni 2013.

Creighton, H. 1974. Health Education: Safety. Sydney: The Health Commision of MSW.

Dunkin, M. A. 2004.” Sport Injuries.” http://www. niams. nih.Gov /hi /topics /sport _injuries /SportInjuries.htm. tanggal 1 juli 2013.

Fadil, Khoiron. 2008. “ Wasit Kalah Cerdik, Pemain Babak Belur.” Jawa Pos. (23 April 2008). Halaman 7.

Finch, C.  2006. A New Framework For Research Leading To Sports Injury Prevention. Journal Of Science And Medicine In Sport.Sports Medicine Australia9 (1-2): 3. 

Giam, C. K. dan Teh. K. C. (1993). Ilmu Kedokteran Olahraga. (terjemahan oleh Hartono Satmoko). Jakarta: Binarupa Aksara.

Giriwijoyo, H. Y. S., Santosa., dan Sidik, D.K. 2012. Ilmu Faal Olahraga: Fisiologi Olahraga.Fungsi Tubuh Manusia pada Olahraga untuk Kesehatan dan prestasi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.

Gleim, G. W. and M. P. McHugh. 1997. "Flexibility and its effects on sports injury and performance."Sports Medicine24 (5): pp. 289299.

Hardianto, Wibowo. 1994. Pencegahan dan Penatalaksanaan Cedera Olahraga. Cetakan pertama. Jakarta: Buku Kedokteran.

Hadianto Wibowo. 1995. Pencegahan dan Penatalaksanaan Cedera Olahraga. Cetakan kedua. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Huisenga, D. 2004. Sport and Exercise Safety. “http:/kidshealth.org /teen/food_fitness/ exercise/ sport_safety.html. Diakses tanggal 26 Juni 2013.

Ibrahim, V., Meyler, Z.O., Panagos, A. M. 2009. “Ankle Sprains and the Athlete” http://www.acsm.org/docs/current-comments/anklesprainstemp.pdf. Tanggal 26  juni 2013.

Meeuwisse, W. H. 1994. "Assessing causation in sport injury: a multifactorial model." Clinical Journal of Sport Medicine4(3): 166.

Parkkari, J.U. M. Kujala, et. al. 2001. "Is it Possible to Prevent Sports Injuries?: Review of ControlledClinical Trials and Recommendations for Future Work." Sports Medicine31(14): pp. 985995.

Paul dan Diare. 1993. Pencegahan dan Perawatan Cedera dalamOlahraga. (terjemahan oleh Hartono Satmoko). Jakarta: Bulan Bintang.

Pfeiffer, R. P., Thygerson, A., Palmieri, N. F., Gulli, B., and Ossman, E.R. 2009. Pertolongan pertama dan pencegahan pada Cedera Olahraga. ( Terjemahan oleh Huriawati Hartanto). Jakarta: Erlangga. 

Rolf, C. 2007. The Sport Injury Handbook: Diagnosis and Management. London: A & C Black ltd 38 Soho Square.

Rusli, L. 2001. Penanggulangan Cedera Olahraga pada Anak Sekolah dasar. Jakarta: Ditjen Olahraga.

Setiawan,A. Faktor timbulnya cedera olahraga. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia. 2011. Volume 1. Edisi 1. Juli 2011. ISSN: 2088-6802.

Stevenson, M. R., P. Hamer, et. al. 2000. "Sport, age, and sex specific incidence of sports injuries in Western Australia." British journal of sports medicine34(3): 188.

Syamsuri, E. 1984. Cedera dalam Olahraga. Jakarta: PT Intan Pariwara.

Van Mechelen, W.H., Holbil, et. al. (2004). "Incidence, severity, aetiology and prevention of sports injuries. A review of concepts." Sports Medicine (Auckland, NZ) 14(2): 82.

 



 



 





 


aminuddin
Aminuddin S.Or.,M.kes Dg Nyampo, Akademisi dan praktisi di bidang ilmu Kesehatan Olahraga.

Related Posts

Post a Comment