KPK menetapkan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah sebagai tersangka OTT Gubernur Sulaw…
JEJAK KEGEMILANGAN UMAT ISLAM DALAM PENTAS SEJARAH DUNIA
Oleh: Ir. H. Budi Suherdiman Januardi, MM.
Sejarah perjuangan
umat Islam dalam pentas peradaban dunia berlangsung sangat lama sekira 13 abad,
yaitu sejak masa kepemimpinan Rasulullah Saw di Madienah (622-632M); Masa
Daulat Khulafaur Rasyidin (632-661M); Masa Daulat Umayyah (661-750M) dan Masa
Daulat Abbasiyah (750-1258 M) sampai tumbangnya Kekhilafahan Turki Utsmani pada
tanggal 28 Rajab tahun 1342 H atau bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M,
dimana masa-masa kejayaan dan puncak keemasannya banyak melahirkan banyak
ilmuwan muslim berkaliber internasional yang telah menorehkan karya-karya luar
biasa dan bermanfaat bagi umat manusia yang terjadi selama kurang lebih 700
tahun, dimulai dari abad 6 M sampai dengan abad 12 M. Pada masa tersebut,
kendali peradaban dunia berada pada tangan umat Islam.
Pada saat
berjayanya peradaban Islam semangat pencarian ilmu sangat kental dalam
kehidupan sehari-hari. Semangat pencarian ilmu yang berkembang menjadi tradisi
intelektual secara historis dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap
al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw yang kemudian dipahami,
ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi' tabiin dan para
ulama yang datang kemudian dengan merujuk pada Sunnah Nabi Muhammad saw.
ERA RASULULLOH SAW
(622-632M) DAN PERIODE DAULAT KHULAFAUR RASYIDIN (632-661 M)
Kesuksesan
Rasulullah Muhammad Saw dalam membangun peradaban Islam yang tiada taranya dalam
sejarah dicapai dalam kurun waktu 23 tahun, 13 tahun langkah persiapan pada
periode Makkah (Makiyyah) dan 10 tahun periode Madienah (Madaniyah). Periode 23
tahun merupakan rentang waktu kurang dari satu generasi, dimana beliau Saw
telah berhasil memegang kendali kekuasaan atas bangsa-bangsa yang lebih tua
peradabannya saat itu khususnya Romawi, Persia dan Mesir.
Seorang ahli pikir
Perancis bernama Dr. Gustave Le Bone mengatakan:
“Dalam satu abad
atau 3 keturunan, tidak ada bangsa-bangsa manusia dapat mengadakan perubahan
yang berarti. Bangsa Perancis memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru
dapat mengadakan suatu masyarakat yang bercelup Perancis. Hal ini terdapat pada
seluruh bangsa dan umat, tak terkecuali selain dari umat Islam, sebab Muhammad El-Rasul
sudah dapat mengadakan suatu masyarakat baru dalam tempo satu keturunan (23
tahun) yang tidak dapat ditiru atau diperbuat oleh orang lain”.
Masa kerasulan
Muhammad Saw pada akhir periode Madienah merupakan puncak (kulminasi) peradaban
Islam, karena disitulah sistem Islam disempurnakan dan ditegakkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
“Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah
ayat 3).
Generasi masa itu
merupakan generasi terbaik sebagaimana firman Alloh Swt:“Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Alloh”. (QS. Ali Imran ayat 110).
PERIODE DAULAT
UMAYYAH (661-750M)
Masa Kedaulatan
Umayyah berlangsung selama lebih kurang 90 tahun. Beberapa orang Khalifah besar
Bani Umayyah ini adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M), Abdul Malik bin
Marwan (685- 705 M), Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), Umar bin Abdul Aziz
(717- 720 M) dan Hasyim bin Abdul Malik (724- 743 M).
Awal berlangsungya
periode Daulat Umayyah lebih memprioritaskan pada perluasan wilayah kekuasaan.
Ekspansi wilayah yang sempat terhenti pada masa Khalifah Utsman dan Khalifah
Ali dilanjutkan kembali oleh Daulat Umayyah. Pada zaman Muawiyah, Tunisia
ditaklukkan. Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai
ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan
ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan
Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara
menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat
menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke Barat
secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul Malik. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban, dimana
umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang
lebih sepuluh tahun, tercatat bahwa pada tahun 711 M merupakan suatu ekspedisi
militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat Daya, benua Eropa. Setelah
Al-Jazair dan Marokko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, panglima pasukan
Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko
dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan
nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan
demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Cordova, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain
seperti Sevi'e, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru
setelah jatuhnya Cordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah
karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat
kekejaman penguasa. Pada zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke
Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin
Abdullah Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia
mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota
Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping
daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga
jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan
ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan
Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia,
Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Disamping ekspansi
kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai
bidang. Pada bidang pengembangan keilmuan, Daulat Umayyah mengawalinya dengan
mengeluarkan sebuah kebijakan startegis. Adalah Khalifah Abdul Malik (685-705M)
merupakan Khalifah pertama yang berhasil melakukan berbagi pembenahan
administrasi pemerintahan dimana beliau memerintahkan penggunaan Bahasa Arab
sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan dan kenegaraan di seluruh
wilayah Islam yang membentang dari Pegunungan Thian Shan di sebelah Timur
sampai Pegunungan Pyrenees di Sebelah Barat termasuk dalam berbagai
administrasi kenegaraan lainnya yang pada perkembangan selanjutnya Bahasa Arab
menjadi bahasa umum sebagai bahasa pengantar dunia (lingua franca), juga
menjadi bahasa diplomatik antar Bangsa diantara Barat dan Timur bahkan
berkembang menjadi bahasa ilmiah sampai kepada zaman renaissance, hingga Roger
Bacon (1214-1294 M) dari Oxford ahli pikir Inggeris terbesar itu, menurut
Ecyclopedia Britanica, 1951, volume II, halaman 191-197, mendorong sedemikian
rupa untuk mempelajari Bahasa Arab guna memperoleh pengetahuan yang sangat
murni, yang menyatakan bahwa: “Roger Bacon, placing Averroes beside Aristole
and Avicenna, recomends the study of Arabic as the only way of getting the
knowledge which bad versions obscured”, yakni “menganjurkan mempelajari Bahasa
Arab sebagai jalan satu-satunya bagi memperoleh ilmu yang telah dikaburkan oleh
versi-versi yang jelek” sebelumnya.
Kemajuan tradisi
intelektual dan ilmu pengetahuan pada zaman Daulat Umayyah di Andalusia
dirasakan oleh masyarakat Eropa. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan
intelektual di sana sebagai berikut:
“….pada masa
peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui
sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali
problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika
seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu
menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempunyai reputasi
selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat,
sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana
beberapa universitas penting berada”.
Pada bidang
lainnya, pembangunan yang dilakukan Muawiyah diantaranya mendirikan dinas pos
dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan
peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan
bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim
(qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri. Qadhi adalah seorang
spesialis dibidangnya. Khalifah Abdul Malik mengubah mata uang Bizantium dan
Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia
mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.
Keberhasilan Khalifah Abdul Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid bin Abdul
Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan
pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang
terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia
juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah
lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang
megah.
Pada lapangan
perdagangan yakni pada saat peradaban Islam telah menguasai dunia perdagangan
sejak permulaan Daulat Umayyah (661-750M), dimana pesisir lautan Hindia sampai
ke Lembah Sind, sehingga terjalin kesatuan wilayah yang luas dari Timur sampai
Barat yang berimplikasi terhadap lancarnya lalu-lintas dagang di dataran antara
Tiongkok dengan dunia belahan Barat pegunungan Thian Shan melalui Jalan Sutera
(Silk Road) yang terkenal itu, yang kemudian terbuka pula jalur perdagangan
melalui Teluk Parsi, Teluk Aden yang menghubungkannya dengan kota-kota dagang
di sepanjang pesisir Benua Eropa, menyebabkan “kebutuhan Eropa pada saat itu
amat tergantung pada kegiatan dagang di dalam wilayah Islam”.
PERIODE DAULAT
ABBASIYAH (132H/750M s.d. 656H/1258 M)
Masa Kedaulatan
Abbasiyah berlangsung selama 508 tahun, sebuah rentang sejarah yang cukup lama
dalam sebuah peradaban. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik,
para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima
periode: (1) Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode
pengaruh Persia pertama; (2) Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut
pereode pengaruh Turki pertama; (3) Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M),
masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode
ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua; (4) Periode Keempat (447 H/1055
M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua; (5) Periode
Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti
lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Tidak seperti pada
periode Umayyah, Periode pertama Daulat Abbasiyah lebih memprioritaskan pada
penekanan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.
Fakta sejarah mencatat bahwa masa Kedaulatan Abbasiyah merupakan pencapaian
cemerlang di dunia Islam pada bidang sains, teknologi dan filsafat. Pada saat
itu dua pertiga bagian dunia dikuasai oleh Kekhilafahan Islam.
Masa sepuluh
Khalifah pertama dari Daulat Abbasiyah merupakan masa kejayaan (keemasan)
peradaban Islam, dimana Baghdad mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat.
Secara politis, para khalifah betul-betul merupakan tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun
setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam
bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Pada masa sepuluh
Khalifah pertama itu, puncak pencapaian kemajuan peradaban Islam terjadi pada
masa pemerintahan Harun Al-Rasyid (786-809 M). Harun Al-Rasyid adalah figur
khalifah shaleh ahli ibadah; senang bershadaqah; sangat mencintai ilmu
sekaligus mencintai para ‘ulama; senang dikritik serta sangat merindukan
nasihat terutama dari para ‘ulama. Pada masa pemerintahannya dilakukan sebuah
gerakan penerjemahan berbagai buku Yunani dengan menggaji para penerjemah dari
golongan Kristen dan penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga banyak
mendirikan sekolah, yang salah satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul
Hikmah, sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan
sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga
dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Harun Al-Rasyid
juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi keperluan sosial.
Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya
sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat yang tak tertandingi.
Terjadinya
perkembangan lembaga pendidikan pada masa Harun Al Rasyid mencerminkan
terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat
ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang
sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama juga lahir para imam mazhab hukum yang empat
hidup Imam Abu Hanifah (700-767 M); Imam Malik (713-795 M); Imam Syafi'i
(767-820 M) dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M).
Pencapaian kemajuan
dunia Islam pada bidang ilmu pengetahuan tersebut tidak terlepas dari adanya
sikap terbuka dari pemerintahan Islam pada saat itu terhadap berbagai budaya
dari bangsa-bangsa sebelumnya seperti Yunani, Persia, India dan yang lainnya.
Gerakan penterjemahan yang dilakukan sejak Khalifah Al-Mansur (745-775 M)
hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, farmasi,
biologi, fisika dan sejarah.
Menurut Demitri
Gutas proses penterjemahan di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial,
politik dan intelektual. Ini berarti bahwa para pihak baik dari unsur
masyarakat, elit penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini,
sehingga dampaknya secara kultural sangat besar.
Gerakan
penerjemahan pada zaman itu kemudian diikuti oleh suatu periode kreativitas
besar, karena generasi baru para ilmuwan dan ahli pikir muslim yang terpelajar
itu kemudian membangun dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya untuk
mengkontribusikannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Menurut Marshall,
proses pengislaman tradisi-tradisi itu telah berbuat lebih jauh dari sekadar
mengintegrasikan dan memperbaiki, hal itu telah menghasilkan energi kreatif
yang luar biasa. Menurutnya, periode kekhalifahan dalam sejarah Islam merupakan
periode pengembangan di bidang ilmu, pengetahuan dan kebudayaan, dimana pada
zaman itu telah melahirkan tokoh-tokoh besar di bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Farabi. Berbagai pusat pendidikan
tempat menuntut ilmu dengan perpustakaan-perpustakaan besar bermunculan di
Cordova, Palermo, Nisyapur, Kairo, Baghdad, Damaskus, dan Bukhara, dimana pada
saat yang sama telah mengungguli Eropa yang tenggelam dalam kegelapan selama
berabad-abad. Kehidupan kebudayaan dan politik baik dari kalangan orang Islam
maupun non-muslim pada zaman kekhilafahan dilakukan dalam kerangka Islam dan
bahasa Arab, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan agama dan suku yang plural.
Pada saat itu umat
Islam telah berhasil melakukan sebuah akselerasi, jauh meninggalkan peradaban
yang ada pada saat itu. Hidupnya tradisi keilmuan, tradisi intelektual melalui
gerakan penerjamahan yang kemudian dilanjutkan dengan gerakan penyelidikan yang
didukung oleh kuatnya elaborasi dan spirit pencarian, pengembangan ilmu
pengetahuan yang berkembang secara pesat tersebut, mengakibatkan terjadinya
lompatan kemajuan di berbagai bidang keilmuan yang telah melahirkan berbagai
karya ilmiah yang luar biasa.
Menurut Oliver
Leaman proses penterjemahan yang dilakukan ilmuwan muslim tidak hanya
menterjemahkan karya-karya Yunani secara ansich, tetapi juga mengkaji teks-teks
itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran
Islam. Proses asimilasi tersebut menurut Thomas Brown terjadi ketika peradaban
Islam telah kokoh. Sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi sehingga
masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam. Proses ini menggambarkan betapa
tingginya tingkat kreativitas ilmuwan muslim sehingga dari proses tersebut
telah melahirkan pemikiran baru yang berbeda sama sekali dari pemikiran Yunani
dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani.
Pada masa-masa
permulaan perkembangan kekuasaan, Islam telah memberikan kontribusi kepada
dunia berupa tiga jenis alat penting yaitu paper (kertas), compass (kompas) and
gunpowder (mesiu). Penemuan alat cetak (movable types) di Tiongkok pada
penghujung abad ke-8 M dan penemuan alat cetak serupa di Barat pada pertengahan
abad 15 oleh Johann Gutenberg, menurut buku Historians’ History of the World,
akan tidak ada arti dan gunanya jika Bangsa Arab tidak menemukan lebih dahulu
cara-cara bagi pembuatan kertas.
Pencapaian prestasi
yang gemilang sebagai implikasi dari gerakan terjemahan yang dilakukan pada
zaman Daulat Abbasiah sangat jelas terlihat pada lahirnya para ilmuwan muslim
yang mashur dan berkaliber internasional seperti : Al-Biruni (fisika,
kedokteran); Jabir bin Hayyan (Geber) pada ilmu kimia; Al-Khawarizmi (Algorism)
pada ilmu matematika; Al-Kindi (filsafat); Al-Farazi, Al-Fargani, Al-Bitruji
(astronomi); Abu Ali Al-Hasan bin Haythami pada bidang teknik dan optik; Ibnu
Sina (Avicenna) yang dikenal dengan Bapak Ilmu Kedokteran Modern; Ibnu Rusyd
(Averroes) pada bidang filsafat; Ibnu Khaldun (sejarah, sosiologi). Mereka
telah meletakkan dasar pada berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Beberapa ilmuwan
muslim lainnya pada masa Daulat Abbasiyah yang karyanya diakui dunia
diantaranya:
• Al-Razi (guru
Ibnu Sina), berkarya dibidang kimia dan kedokteran, menghasilkan 224 judul buku,
140 buku tentang pengobatan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Bukunya yang
paling masyhur adalah Al-Hawi Fi ‘Ilm At Tadawi (30 jilid, berisi tentang
jenis-jenis penyakit dan upaya penyembuhannya). Buku-bukunya menjadi bahan
rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa hingga abad 17. Al-Razi adalah
tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga
orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu
kedokteraan berada di tangan Ibnu Sina;
• Al-Battani
(Al-Batenius), seorang astronom. Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi
pusat tata surya dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati
akurat. Buku yang paling terkenal adalah Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De
Scienta Stellerum u De Numeris Stellerumet Motibus, dimana
terjemahan tertua dari karyanya masih ada di
Vatikan;
• Al Ya’qubi,
seorang ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu
geografi berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan
judul Ibn Waddih qui dicitur al-Ya’qubi historiae;
• Al Buzjani (Abul
Wafa). Ia mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika (geometri
dan trigonometri).
Sejarah telah
membuktikan bahwa kontribusi Islam pada kemajuan ilmu pengetahuan di dunia
modern menjadi fakta sejarah yang tak terbantahkan. Bahkan bermula dari dunia
Islamlah ilmu pengetahuan mengalami transmisi (penyebaran, penularan),
diseminasi dan proliferasi (pengembangan) ke dunia Barat yang sebelumnya
diliputi oleh masa ‘the Dark Ages’ mendorong munculnya zaman renaissance atau
enlightenment (pencerahan) di Eropa.
Melalui dunia
Islam-lah mereka mendapat akses untuk mendalami dan mengembangkan ilmu
pengetahuan modern. Menurut George Barton, ketika dunia Barat sudah cukup masak
untuk merasakan perlunya ilmu pengetahuan yang lebih dalam, perhatiannya
pertama-tama tidak ditujukan kepada sumber-sumber Yunani, melainkan kepada
sumber-sumber Arab.
Sebelum Islam
datang, menurut Gustav Le Bon, Eropa berada dalam kondisi kegelapan, tak
satupun bidang ilmu yang maju bahkan lebih percaya pada tahayul. Sebuah kisah
menarik terjadi pada zaman Daulat Abbasiah saat kepemimpinan Harun Al-Rasyid,
tatkala beliau mengirimkan jam sebagai hadiah pada Charlemagne seorang penguasa
di Eropa. Penunjuk waktu yang setiap jamnya berbunyi itu oleh pihak Uskup dan
para Rahib disangka bahwa di dalam jam itu ada jinnya sehingga mereka merasa
ketakutan, karena dianggap sebagai benda sihir. Pada masa itu dan masa-masa
berikutnya, baik di belahan Timur Kristen maupun di belahan Barat Kristen masih
mempergunakan jam pasir sebagai penentuan waktu.
Bagaimana kondisi
kegelapan Eropa pada zaman pertengahan (Abad 9 M) bukan hanya pada aspek
mental-dimana cenderung bersifat takhayul, demikian pula halnya dalam aspek
fisik material. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh William Drapper:
“Pada zaman itu Ibu
Kota pemerintahan Islam di Cordova merupakan kota paling beradab di Eropa,
113.000 buah rumah, 21 kota satelit, 70 perpustakaan dan toko-toko buku, masjid-masjid
dan istana yang banyak. Cordova menjadi mashur di seluruh dunia, dimana jalan
yang panjangnya bermil-mil dan telah dikeraskan diterangi dengan lampu-lampu
dari rumah-rumah di tepinya. Sementara kondisi di London 7 abad sesudah itu
(yakni abad 15 M), satu lampu umumpun tidak ada. Di Paris berabad-abad sesudah
zaman Cordova, orang yang melangkahi ambang pintunya pada saat hujan, melangkah
sampai mata kakinya ke dalam lumpur”.
Menurut Philip K.
Hitti, jarak peradaban antara kaum muslimin di bawah kepemimpinan Harun
Al-Rasyid jauh melampaui peradaban yang ada pada orang-orang Kristen pimpinan
Charlemagne.
Pertengahan abad 9
M peradaban Islam telah meliputi seluruh Spanyol. Masuknya Islam ke Spanyol
yaitu setelah Abdur Rahman ad-Dakhil (756 M) berhasil membangun pemerintahan
yang berpusat di Andalusia.
Melalui Spanyol,
Sicilia dan Perancis Selatan yang berada langsung di bawah pemerintahan Islam,
peradaban Islam memasuki Eropa. Bahasa Arab menjadi bahasa internasional yang
digunakan berbagai suku bangsa di berbagai negeri di dunia. Baghdad di Timur
dan Cordova di Barat, dua kota raksasa Islam menerangi dunia dengan cahaya
gilang-gemilang. Sekitar tahun 830 M, Alfonsi-Raja Asturia telah mendatangkan
dua sarjana Islam untuk mendidik ahli warisnya. Sekolah Tinggi Kedokteran yang
didirikan di Perancis (di Montpellier) dibina oleh beberapa orang Mahaguru dari
Andalusia. Keunggulan ilmiah kaum muslimin tersebar jauh memasuki Eropa dan
menarik kaum intelektual dan bangsawan Barat ke negeri-negeri pusatnya.
Diantara mereka terdapat Roger Bacon (Inggeris); Gerbert d’Aurillac yang
kemudian menjadi Paus Perancis pertama dengan gelar Sylvester II, selama 3
tahun tinggal di Todelo mempelajari ilmu matematika, astronomi, kimia dan ilmu
lainnya dari para sarjana Islam.
Tidaklah
mengherankan, karena pada saat kekhilafahan Islam berkuasa saat itu Spanyol
menjadi pusat pembelajaran (centre of learning) bagi masyarakat Eropa dengan
adanya Universitas Cordova. Di Andalusia itulah mereka banyak menimba ilmu, dan
dari negeri tersebut muncul nama-nama ‘ulama besar seperti Imam Asy-Syathibi
pengarang kitab Al-Muwafaqat, sebuah kitab tentang Ushul Fiqh yang sangat
berpengaruh; Ibnu Hazm Al-Andalusi pengarang kitab Al-Fashl fi al-Milal wa
al-Ahwa’ wa an-Nihal, sebuah kitab tentang perbandingan sekte dan agama-agama
dunia, dimana bukti tersebut telah mengilhami penulis-penulis Barat untuk
melakukan hal yang sama.
Di Andalusia
(Spanyol bagian Selatan), berbagai universitasnya pada saat itu dipenuhi oleh
banyak mahasiswa Katolik dari Perancis, Inggeris, Jerman dan Italia. Pada masa
itu, para pemuda Kristen dari berbagai negara di Eropa dikirim
berbondong-bondong ke sejumlah perguruan tinggi di Andalusia guna menimba ilmu
pengetahuan dan teknologi dari para ilmuwan muslim. Adalah Gerard dari Cremona;
Campanus dari Navarra; Aberald dari Bath; Albert dan Daniel dari Morley yang
telah menimba ilmu demikian banyak dari para ilmuwan muslim, untuk kemudian
pulang dan menggunakannya secara efektif bagi penelitian dan pengembangan di
masing-masing bangsanya. Dari sini kemudian sebuah revolusi pemikiran dan
kebudayaan telah pecah dan menyebarluas ke seluruh masyarakat dan seluruh
benua. Para pemuda Kristen yang sebelumnya telah banyak belajar dari para
ilmuwan muslim, telah berhasil melakukan sebuah transformasi nilai-nilai yang
unggul dari peradaban Islam yang kemudian diimplementasikan pada peradaban
mereka (Barat) yang selanjutnya berimplikasi terhadap kemajuan diberbagai
bidang ilmu pengetahuan.
Semaraknya
pengembangan ilmu dan pengetahuan di dunia Islam diindikasikan dengan banyaknya
perpustakaan tersebar di kota-kota dan negeri-negeri Islam yang jumlahnya
sangat fantastis. Sejarah mencatat, perpustakaan di Cordova pada abad 10 Masehi
mempunyai 600.000 jilid buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Cairo mempunyai
2.000.000 jilid buku. Perpustakaan Al Hakim di Andalusia mempunyai berbagai
buku dalam 40 kamar yang setiap kamarnya berisi 18.000 jilid buku. Perpustakaan
Abudal Daulah di Shiros (Iran Selatan) buku-bukunya memenuhi 360 kamar. Sementara
ratusan tahun sesudahnya (abad 15 M), menurut catatan Catholik Encyclopedia,
perpustakaan Gereja Canterbury yang merupakan perpustakaan dunia Barat yang
paling kaya saat jumlah bukunya tidak melebihi 1.800 jilid buku.
Sejarah juga
mencatat bahwa Uskup Agung Raymond di Spanyol mendirikan Badan Penterjemah di
Todelo yang ditujukan guna menterjemahkan sebagian besar karangan
sarjana-sarjana Muslim tentang ilmu pasti, astronomi, kimia, kedokteran,
filsafat, dll, dimana waktu yang dibutuhkan untuk menterjemahkannya yaitu lebih
dari satu setengah abad (1135-1284 M).
Dari pusat-pusat
peradaban Islam yang meliputi Baghdad, Damaskus, Cordova, Sevilla, Granada dan
Istanbul, telah memancarkan sinar gemerlap yang menerangi seluruh penjuru dunia
terlebih Cordova, Sevilla, Granada yang merupakan bagian dari kekuasaan Islam
di Spanyol telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap tumbuh dan
berkembangnya peradaban modern di dunia Barat.
PERIODE SETELAH
DAULAT ABBASIYAH SAMPAI TUMBANGNYA KEKHILAFAHAN TURKI UTSMANI
Pada masa Khilafah
Utsmani, para ahli sejarah sepakat bahwa zaman Khalifah Sulaiman Al-Qanuni
(1520-1566 M) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran yang pada masanya telah
jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains dan politik.
Pasca berakhirnya
keluasaan Daulat Abbasiyah, kepemimpinan Islam berlanjut dengan kepemimpinan
Daulat Utsmaniyah. Daulat Utsmaniyah yang juga dikenal dengan sebutan
Kesultanan atau Kekaisaran Turki Ottoman, didirikan oleh Bani Utsman, yang
selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 s.d. 1923) dipimpin oleh 36
orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara
kecil.
Kesultanan ini
menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak
kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi dengan
Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya. Pada abad ke-16 dan
ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan
angkatan lautnya yang kuat. Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara
perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad
20. Musuh-musuh Islam membutuhkan waktu selama satu abad untuk melepaskan
ikatan ideologi Islam dari tubuh umat Islam, yang pada akhirnya tanggal 3 Maret
1924 M yang bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 1342 Hijriah, melalui Mustafa
Kemal Attaturk yang merupakan agen Inggris dan anggota Freemasonry (sebuah
organisasi Yahudi), membubarkan institusi Kekhilafahan Islam terakhir di Turki
dan menggantikannya dengan Republik Turki. Maka, sejak saat itu ideologi Islam
benar-benar terkubur ditandai dengan dihilangkannya institusi khilafah oleh
majelis nasional Turki dan diusirnya Khalifah terakhir.
BEBERAPA CATATAN
PENTING
Menyimak betapa
besar kontribusi Islam terhadap lahirnya peradaban Islam berskala dunia
terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, sesungguhnya kemajuan yang
dicapai Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam. Dunia Barat sekarang
sejatinya berterima kasih kepada umat Islam. Akan tetapi pada kenyataannya
pihak Barat (non Muslim) telah sengaja menutup-nutupi peran besar atas jasa
para pejuang dan ilmuwan muslim tersebut yang pada akhirnya terabaikan bahkan
sampai terlupakan. Oleh karena itu, umat Islam perlu kembali menggelorakan
semangat keilmuan para ilmuwan muslim atas sumbangsihnya yang amat besar bagi
peradaban umat manusia di dunia dalam menyongsong kembali kejayaan Islam dan
umatnya.
Kita dapat
menyimak, bahwa puncak pencapaian penguasaan sains dan teknologi pada zaman
kejayaan umat Islam masa lalu terkait erat dengan tegaknya sistem kekhilafahan,
dimana adanya sistem komando yang terintegrasi secara global yang peranan
secara politik sejalan dengan peranan agama. Kita juga mendapatkan gambaran
dalam sejarah bahwa sosok para pemimpin terdahulu yang shaleh selain sebagai
seorang negarawan yang handal dan mumpuni, juga sebagai seorang ‘ulama wara’
yang takut pada Rabb-nya, mencintai ilmu serta mencintai rakyatnya. Pada aspek
ini kita bisa melihat adanya integrasi tiga pilar utama dalam pembentukan
peradaban Islam yaitu agama, politik dan ilmu pengetahuan terpadu dalam satu
kendali sistem kekhilafahan dibawah pimpinan seorang khalifah.
Keberlangsungan
sistem kekhilafahan terutama sejak zaman Daulat Umayyah dan Daulat Abbasiyah
walaupun bersifat khalifatul mulk (estapeta kepemimpinan didasarkan pada
keturunan/dinasti) yang adakalanya dipimpin oleh orang shaleh dan sekali waktu
dipimpin oleh orang zhalim dan durhaka, tetapi seburuk-buruk kondisi pada masa
kehilafahan, masih jauh lebih baik daripada masa setelah tercerabutnya
kehilafahan, karena pada masa kekhilafahan hukum Islam masih tegak dan ditaati
oleh umat Islam, demikian juga adanya ketaatan terhadap berbagai fatwa para
‘ulama.
Segala hal yang
baik dari para pendahulu umat Islam seyogiannya menjadi cerminan teladan bagi
kita, sementara segala hal yang kurang baik, sejatinya dijadikan sebagai
pelajaran yang sangat berharga.
Awal meredupnya
peradaban Islam yang terjadi sejak abad ke-8 hijriah (abad 13 M) hingga abad
ke-14 hijriah (abad 20 M) yang telah mengakibatkan proses peralihan dari
peradaban Islam ke keradaban Barat yang ditandai dengan masa pencerahan di
dunia Barat serta terjadinya penjajahan, penaklukan dan aneksasi terhadap
negeri-negeri muslim oleh armada perang dari negara-negara Barat lebih
disebabkan oleh melemahnya legitimasi politik dunia Islam karena peran
kekhilafahan cenderung bersifat simbol serta hanya sebatas seremonial saja
hingga tumbangnya sistem kekhilafahan di dunia Islam. Dari situlah kemudian
dimulainya hegemoni dunia Barat terhadap dunia Islam.
Jadi, sesungguhnya
faktor utama kekalahan dan melemahnya peran umat Islam bukanlah terletak pada
kuatnya pihak musuh-musuh Islam, tetapi lebih disebabkan oleh melemahnya
kekuatan umat Islam yang diakibatkan oleh perbuatan kemaksiatan yang dilakukan.
Kemaksiatan terbesar terutama berupa sikap menyekutukan Alloh Swt (musyrik)
dalam beribadah serta tidak memperdulikan lagi atas berbagai aturan (syari’at)
yang diperintahkan-Nya.
Perbuatan maksiat
yang dilakukan oleh umat Islam itulah yang telah dikhawatirkan oleh Umar bin
Kaththabr.a. saat beliau menjadi Khalifah, hal ini sebagaimana dapat kita simak
dari pesan tertulis beliau yang pernah disampaikannya kepada Sa’ad bin Abi
Waqash ketika akan menghadapi sebuah pertempuran. Pada surat itu ditulis pesan
sebagai berikut:
“Umar bin Kaththab
ra. telah menulis sepucuk surat kepada Sa’ad bin Abi Waqash r.a.: ‘Sesungguhnya
kami memerintahkan kepadamu dan kepada seluruh pasukan yang kamu pimpin, agar
taqwa dalam segala keadaan, karena taqwa kepada Alloh merupakan
seutama-utamanya persiapan dan strategi paling kuat dalam menghadapi
pertempuran. Aku perintahkan pula kepadamu dan pasukan yang kamu pimpin agar
benar-benar menjaga diri dari berbuat maksiat. Karena maksiat yang engkau
perbuat pada saat berjuang lebih aku khawatirkan daripada kekuatan musuh, sebab
engkau akan ditolong Alloh jika musuh-musuh Alloh telah berbuat banyak maksiat,
karena jika tidak demikian kamu tidak akan punya kekuatan sebab jumlah kita
tidaklah sebanyak jumlah pasukan mereka, dimana persiapan mereka berbeda dengan
persiapan yang kita lakukan. Jika kita sama-sama berbuat maksiat sebagaimana
yang dilakukan oleh musuh-musuh kita, maka kekuatan musuh akan semakin hebat.
Sangatlah berat kita akan dapat mengalahkan musuh kita jika hanya mengandalkan
pada kekuatan yang kita miliki, kecuali dengan mengandalkan ketaqwaan kita
kepada Alloh dan senantiasa menjaga diri dari berbuat maksiat...” (Lihat :
Kitab Al ‘Aqdul Farid jilid I, hlm. 101; Kitab Nihayatul Arab jilid VI, hlm. 168;
Kitab Ikhbarul Umar wa Ikhbaru Abdullah bin Umar jilid I, hlm. 241-242; Kitab
Ikbasu min Ikhbarul Khulafa Ar-Rosyidin hlm 779, serta buku Jihad tulisan Dr.
Mahfudz Azzam, hlm. 28).
SENARAI PUSTAKA :
1. Abu Khalil,
Syauqi. Harun Al Rasyid, Pemimpin dan Raja yang Mulia. Jakarta: Pustaka Azzam,
2002.
2. Al-Sharqawi,
Effat. Filsafat Kebudayaan Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.
3. Enan, M.A.
Decisive Moments in the History of Islam (Detik-detik Menentukan dalam Sejarah
Islam). Alih Bahasa oleh Mahyuddin Syaf, Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
4. Gibbon, Edward.
The Decline and The Fall of Roman Impire, Abridged and Illustrated London.
United Kingdom: Bison Books Ltd. 1979.
5. Gutas, Dimitri.
Greek Thought, Arabic Culture, The Graeco-Arabic Translation Movement in
Baghdad and Early Abbasid Society (2nd-4th/8th-10 centuries). Routledge,
London-New York, 1998.
6. Muttaqo Al
Hindi. Kitab ‘Muntakhob Kanzu’l-Ummal, Jilid VI.
7.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia,
1985.
Leaman, Oliver.
Scientif and Philosophical Enquiry: Achievement and Reaction in Muslim History
dalam Farhad Daftary (ed), Intellectual Traditions in Islam, I.B Tauris,
London-New York in Association with The Institute of Ismaili Studies, 2000.
8. Leaman, Oliver.
An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge: University Press,
Cambridge, 1985.
9. Muhammad
Ash-Shalabi, Ali. Bangkit & Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2004.
10. Nasution,
Harun. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jilid I, cetakan kelima. Jakarta:
UI Press, 1985.
11. Sou’yb,
Joesoef. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
12. Sou’yb,
Joesoef. Sejarah Daulat Umayyah. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
13. Sou’yb,
Joesoef. Sejarah Daulat Abbasiah. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
14. Stryzewska,
Bojena Gajane. Tarikh al-Daulat al-Islamiyah. Beirut: Al Maktab Al-Tijari,
tanpa tahun.
15. Suyuthi, Imam.
Tarikh Khulafa. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006.
16. Syalabi, A.
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987, cet. V.
17. Watt, W.
Montgomery. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta:
Tiara Wicana Yogya, 1990.
18. Yatim, Badri.
Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006.
19. Zarkasyi, Hamid
Fahmy. Membangun Peradaban Islam. Makalah Workshop Pemikiran Ideologis, Forum
Ukhuwwah Islamiyah, Daerah Istimewa Yogyakarta, 15 April 2007.
20. Zallum, Abdul
Qadim. Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah, Telaah Politik
Menjelang Runtuhnya Negara Islam. Bangil: Al-Izzah, 2001.
Post a Comment
Post a Comment