KPK menetapkan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah sebagai tersangka OTT Gubernur Sulaw…
MENGIKIS SIKAP OTORITER
Oleh : Mughni
Salah satu yang berbahaya diantara penyakit
hati yang kita miliki adalah sifat egois, sifat tidak mau kalah, sifat ingin
menang sendiri, sifat ingin selalu merasa benar, atau sifat ingin selalu merasa
bahwa memang dirinya tidak berpeluang untuk berbuat salah. Sifat seperti ini
biasanya banyak menghinggapi orang-orang yang diamanahi kedudukan—seperti para
pimpinan dalam skala apapun.
Sifat-sifat tadi ujung-ujungnya akan bermuara
pada sikap otoriter, bahkan lebih jauh lagi menjadi seorang diktator (suatu
sebutan yang diantaranya dinisbahkan pada pemimpin pemerintahan NAZI Jerman,
Adolf Hitler atau pada pemerintahan fasis Italia zaman Benito Musolini, dan juga
para pemimpin diktator dunia lainnya).
Pastilah pula kita tidak akan pernah nyaman
mendengar kata-kata seperti itu dan kita juga tidak akan pernah suka melihat
orang yang otoriter, yang segalanya sepertinya harus dalam genggamannya. Dan
hasilnya kita tahu sendiri bahwa orang-orang yang memiliki cap otoriter, orang
yang selalu ingin segalanya dalam kekuasaannya, semuanya tunduk dan patuh
kepadanya, ujungnya adalah kejatuhan dan kehinaan.
Dari segi namanya saja sudah menimbulkan kesan
tidak enak untuk didengar kuping. Simaklah kata, "otoriter",
"egois", atau "menang sendiri" sepertinya kita menangkap
kesan yang kurang sreg dengan kata-kata ini. Apalagi jika melihat langsung
orang yang memiliki sifat seperti itu, akan lebih tidak suka lagi. Tapi sayang,
sepertinya kita jarang menyisihkan waktu untuk bertanya secara jujur pada diri
sendiri, apakah sifat-sifat itu ada pada diri kita atau tidak? Apakah kita ini
orang otoriter atau bukan? Maaf-maaf saja kepada para orang tua, guru, manager,
pimpinan, direktur, komandan, bos, pokoknya orang-orang yang diamanahi
kekuasaan oleh ALLOH, biasanya memiliki kecenderungan sifat seperti ini.
Orang-orang yang otoriter biasanya memiliki
versi tersendiri dalam menilai suatu kejadian, versi yang sesuka dia tentunya.
Hal ini karena dia selalu memandang lebih dirinya sehingga selalu melihat
sesuatu itu kurangnya dan jeleknya saja. Akibatnya sebaik apapun yang dilakukan
orang lain selalu saja dari mulutnya meluncur omelan, gerutuan, dan koreksian.
Tepatlah baginya pepatah, ‘nila setitik rusak susu sebelanga’. Artinya, karena
kesalahan sedikit, jeleklah seluruh kelakuannya. Bagi orang otoriter, biasanya
tidak ada pilihan lain selain 100% harus sesuai keinginannya.
Hasil kajian sebuah penelitian menyebutkan
bahwa para korban NAPZA (Narkotika, Pshikotropika, dan Zat Aditif lainya)
diantaranya adalah mereka yang tumbuh besar dari kalangan orang tua otoriter,
keras, mau menang sendiri, tidak mau berkomunikasi, dan tidak ada dialog antar
anggota keluarga sehingga si anak menjadi seorang yang bersikap apatis, acuh,
bahkan akhirnya si anak melarikan rasa ketertekanannya ini ke NAPZA,
naudzhubillah.
Ada pula anak yang selalu bentrok dengan
ibunya, karena si ibu begitu menuntut agar dia nurut 100% tanpa reserve.
Kondisi ini dibarengi pula dengan penilaian kepada anak yang selalu negatif,
akibat yang diungkapkan si ibu selalu sisi-sisi yang salah dari diri si anak.
Munculah ungkapan, "Sedikit-sedikit salah-sedikit-sedikit salah!",
bahkan saking kesalnya si anak ini berkata, "Kalau saya ini salah terus,
lalu kapan benarnya saya sebagai manusia ini? Kenapa semua yang saya lakukan
selalu disalahkan?!". Padahal kalau si anak belum mengerti seharusnya
orang tua yang lebih dulu mengerti, kalau si anak belum bisa paham seharusnya
orang tua yang duluan paham. Tapi karena orang tuanya tidak mengerti dan kurang
ilmu, akhirnya tanpa disadari si ibu telah menggiring dan menjerumuskan anaknya
ke dunia NAPZA.
Ternyata beginilah, gaya mendidik yang
otoriter, yang kaku, dan kurang komunikatif akan menghasilkan anak-anak dalam
kondisi tertekan, tidak aman, hingga ujungnya ia lari dari kenyataan yang
dihadapinya. Begitupun di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan yang
memiliki pimpinan bertife otoriter, pastilah dia akan membuat karyawannya
tertekan. Hal ini dapat diamati saat pimpinannya datang ke ruang kerja
karyawannya, semua karyawan menjadi tegang, gugup, dan panik. Ini terjadi
karena kalau pimpinan datang, maka yang dilihat hanya kesalahan-kesalahan
karyawannya saja. Mengapa begini? Mengapa begitu? Ini salah! Itu Salah! Jarang
memuji, jarang menghargai, jarang menyapa dengan baik, bahkan wajahnya
menyeramkan dan angker karena sangat jarang senyum. Pada akhirnya karyawan
disiplinnya menjadi disiplin takut atau disiplin semu, padahal sebenarnya
karyawan merasa tertekan, sakit hati, dan bahkan benci ke si pimpinan yang
otoriter ini.
Diantara ciri perusahaan dengan kondisi
seperti ini adalah ditandai dengan perputaran keluar-masuk karyawan yang sangat
tinggi. Semua karyawan dari yang level tertinggi sampai yang level terendah
maunya keluar saja. Kalaupun ada yang bertahan, bukan karena senang bekerja di
sana, kebanyakan yang bertahan memang karena butuh saja. Butuh uangnya, bukan
butuh suasananya.
Oleh sebab itu, hati-hatilah bagi para
pemimpin yang otoriter, dan bersiap-siaplah menjadi orang yang tidak disukai
karena saking banyaknya orang yang merasa teraniaya. Orang otoriter itu
marahnya saja biasanya dilakukan di sembarang tempat, asal dia ketemu dengan
yang dimarahinya, marahnya akan meledak-ledak. Padahal kemarahan seperti itu
justru akan mempermalukan si pemarah itu sendiri karena orang yang melihatnya
akan mengeluarkan penilaian yang negatif kepada dia. Misal, "Kok marahnya
gitu-gitu amat, padahal dia haji, padahal dia pejabat". Orang-orang yang
marah biasanya omongannya juga jelek sekali, kata-katanya kasar dan
menyeramkan. Jadi ketika si pemarah itu marah, yang dimarahi bukannya malah
nurut atau bukannya malah simpati, yang terjadi justru orang itu akan
mengeluarkan penilaiannya sendiri. Walaupun nampak seperti nunduk atau
manggut-manggut, tapi hati tidak pernah bisa dibohongi, tidak pernah bisa
dibeli dengan kemarahan. Yang ada justru orang itu akan menjadi sakit hati,
dongkol dan merendahkan orang yang marah walaupun mungkin pada saat itu ia
tidak berani mengekspresikannya.
Hati-hati nih bagi para pimpinan yang suka
marah-marah, terutama orang-orang yang tidak biasa jadi bawahan, kadang-kadang
ia agak otoriter. Dalam keluarga militer memang kecenderungan sifat otoriter
muncul di keluarga itu akan jauh lebih kuat, karena memang jalur komando ala
militer kadangkala diberlakukan oleh pimpinan di keluarga itu dengan konsep
militer. Celakanya di kantor dididik dalam gaya hidup ala militer, sayangnya di
rumah mendidik dengan gaya yang sama, mendidik dengan gaya ala militer, padahal
kondisi kantor dan kondisi rumah berbeda.
Pernah ada sebuah keluarga dengan empat anak,
ternyata tiga diantaranya mengalami depresi berat karena sang ayah terlalu kaku
dalam memimpin rumah tangga yang pengelolaannya disamakan seperti di kantornya.
Jangan heran bila ada orang yang sukses di kantor belum tentu sukses di rumah
tangga. Ada yang "sukses" di kantor itu karena ia begitu tegasnya
sebagai seorang komandan, tapi di rumahnya anak-anak itu beda, karena memang
mereka bukanlah militer, mereka tidak dilatih kemiliteran dan terlebih lagi
mereka tidak dikasih pangkat.
Perlu diwaspadai pula bahwa biasanya pemimpin
yang otoriter akan membuahkan pula bibit–bibit anak didik yang otoriter.
Seperti guru yang otoriter, akan menghasilkan anak-anak didik yang otoriter
pula, bahkan nakal. Guru yang otoriter di kelas, diantara sifat-sifatnya adalah
maunya menang sendiri, kata-katanya tajam, dan suka mempermalukan. Kelakuan ini
sebenarnya akan jadi bumerang bagi guru itu sendiri, seperti tidak disukai
pelajarannya, tidak disenangi perangainya, dan tentu saja ini suatu hal yang
kontra produktif. Apalagi perilaku-perilaku seperti ini sangat bertentangan
dengan sikap-sikap yang dituntunkan Rasulullah SAW yang ternyata memiliki
pribadi yang sangat indah, santun, dan berakhlak mulia.
Bagi orang yang bagus perangainya, berwajah
ceria, serta mulia akhlaknya maka ia laksana mawar yang kuncup di musim semi,
dia akan beroleh banyak teman yang membawa kedamaian dan ketentraman, semua
pintu terbuka baginya. Sementara orang pemberang, mudah marah, egois, dan
otoriter harus menggedor pintu untuk bisa sekedar berbincang dengan seorang
kawan. Karenanya, yang terbaik adalah keramahan akhlak dan keceriaan.
Rasulullah SAW sendiri adalah seorang yang senantiasa berwajah cerah ceria
penuh sungging senyuman, insya ALLOH. ***
semoga bermanfaat, Amien .
(Posted By Admin)
Post a Comment
Post a Comment