KPK menetapkan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah sebagai tersangka OTT Gubernur Sulaw…
PERKEMBANGAN ILMU KEDOKTERAN DALAM PERADABAN ISLAM
1. AL-RAZI & IBNU SINA; Dokter Paling
Berpengaruh Abad Pertengahan
“Ilmu
kedokteran tak lahir dalam waktu semalam,'' ujar Dr Ezzat Abouleish MD dalam
tulisannya berjudul Contributions of Islam to Medicine.[1] Studi kedokteran
yang berkembang pesat di era modern ini merupakan puncak dari usaha jutaan
manusia, baik yang dikenal maupun tidak, sejak ribuan tahun silam. Begitu
pentingnya, ilmu kedokteran selalu diwariskan dari generasi ke generasi dan
bangsa ke bangsa. Cikal bakal ilmu medis sudah ada sejak dahulu kala. Sejumlah
peradaban kuno, seperti Mesir, Yunani, Roma, Persia, India, serta Cina sudah
mulai mengembangkan dasar-dasar ilmu kedokteran dengan cara sederhana.
Tapi peradaban keilmuan, khususnya dalam
bidang kedokteran yang dicapai oleh bangsa-bangsa itu akhirnya bergeser. Zaman
pertengahan, peradaban ada ditangan Islam, dimana Ilmu pengetahuan mendapat
perhatian penuh. Tidak terkecuali ilmu kedokteran, ketika penerjemahan
dilakukan secara besar-besaran. Dari kegiatan itu, dapat dikatakan kejayaan
Islam dalam keilmuan dimulai. Inilah zaman menuju keemasan Islam, yang dalam
dunia politik kekhalifahan dipegang oleh bani Abbasiyyah.
Kontribusi peradaban Islam dalam dunia
kedokteran sungguh sangat tak ternilai. Di era keemasannya, peradaban Islam
telah melahirkan sederet pemikir dan dokter terkemukan yang telah meletakkan
dasar-dasar ilmu kedokteran modern. Dunia Islam juga tercatat sebagai peradaban
pertama yang mempunyai Rumah Sakit dan dikelola oleh tokoh-tokoh professional.
Dunia kedokteran Islam di zaman kekhalifahan meninggalkan banyak karya yang
menjadi literatur keilmuan Dunia.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, topik
tentang perkembangan Ilmu kedokteran di dunia Islam sangat penting untuk
dikaji. Khazanah keilmuan Islam terbentang luas di berbagai penjuru Dunia.
Dimana itu menjadi dasar kegiatan keilmuan akademis dan praktek pengobatan
lembaga-lembaga rumah sakit sampai sekarang. Dalam makalah ini, penulis tidak
bermaksud untuk membicarakan keagungan Islam zama itu, tapi tiada lain supaya
menjadi pemacu keingintahuan dalam keilmuan. Sehingga dapat meningkatkan
semangat para akademis dalam penelitian maupun kegitan keilmuan lainnya.
Maka, dalam rangka memenuhi tujuan penulisan
di atas, penulis akan mencoba memaparkan bagaimana perkembangan ilmu kedokteran
dalam dunia Islam. Baik dalam ilmu medis atau institusi-institusi terkait.
Siapa tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam bidang ini? Bagaimana
karya-karyanya? Dan kontribusinya terhadap Dunia Ilmu kedokteran. Tapi
sebelumnya, perlu ditelusuri lebih dahulu awal sejarah perkembangan keilmuan
ini.
2. Sejarah Perkembangan Ilmu Kedokteran
Awal
Perkembangan Sebelum Islam
Seperti ungkapan Dr. Ezzat Abouleist di
statemen awal pendahuluan, “Ilmu kedokteran tidak lahir dalam waktu semalam”.
Keilmuan yang berkembang dan praktek-prakteknya tidak tanpa mula. Tapi
mempunyai sejarah panjang yang dihasilkan para pendahulu hingga hasilnya dapat
dilihat saat ini. Awal mula kelahirannya dimulai pada masa peradaban Yunani.
Dan bangsa-bangsa lain sekitar pada masa itu.
Dalam peradaban Yunani, orang Yunani Kuno
mempercayai Asclepius sebagai dewa kesehatan. Pada era ini, menurut penulis
Canterbury Tales, Geoffrey Chaucer, di Yunani telah muncul beberapa dokter atau
tabib terkemuka. Tokoh Yunani yang banyak berkontribusi mengembangkan ilmu
kedokteran adalah Hippocrates atau `Ypocras' (5-4 SM). Dia adalah tabib Yunani
yang menulis dasar-dasar pengobatan.
Selain itu, ada juga nama Rufus of Ephesus (1
M) di Asia Minor. Ia adalah dokter yang berhasil menyusun lebih dari 60 risalah
ilmu kedokteran Yunani. Dunia juga mengenal Dioscorides. Dia adalah penulis
risalah pokok-pokok kedokteran yang menjadi dasar pembentukan farmasi selama
beberapa abad. Dokter asal Yunani lainnya yang paling berpengaruh adalah Galen
(2 M). Ketika era kegelapan mencengkram Barat pada abad pertengahan,
perkembangan ilmu kedokteran diambil alih dunia Islam yang telah berkembang
pesat di Timur Tengah, menurut Ezzat Abouleish[2], seperti halnya lmu-ilmu yang
lain.
3. Pada
Masa Peradaban Islam
1. Masa Awal
Perkembangan kedokteran Islam melalui tiga periode
pasang-surut. Periode pertama dimulai dengan gerakan penerjemahan literatur
kedokteran dari Yunani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung
pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Pada masa ini, sarjana dari Syiria dan
Persia secara gemilang dan jujur menerjemahkan litelatur dari Yunani dan Syiria
kedalam bahasa Arab.
Rujukan pertama kedokteran terpelajar dibawah
kekuasaan khalifah dinasti Umayyah, yang memperkerjakan dokter ahli dalam
tradisi Helenistik. Pada abad ke-8 sejumlah keluarga dinasti Umayyah
diceritakan memerintahkan penterjemahan teks medis dan kimiawi dari bahasa
Yunani ke bahasa Arab. Berbagai sumber juga menunjukkan bahwa khalifah dinasti
Umayyah, Umar ibn Abdul Aziz (p.717-20) memerintahkan penterjemhan dari bahasa
Siria ke bahasa Arab sebuah buku pegangan medis abad ketujuh yang ditulis oleh
pangeran Aleksandria Ahrun.[3]
Pengalihbahasaan literatur medis meningkat
drastis dibawah kekuasaan Khalifah Al-Ma'mun dari Diansti Abbasiyah di Baghdad.
Para dokter dari Nestoria dari kota Gundishpur dipekerjakan dalam kegiatan ini.
Sejumlah sarjana Islam pun terkemuka ikut ambil bagian dalam proses transfer
pengetahuan itu. Tercatat sejumlah tokoh seperti, Yuhanna Ibn Masawayah (w.
857), Jurjis Ibn-Bakhtisliu, serta Hunain Ibn Ishak (808-873 M) ikut
menerjemahkan literatur kuno dan dokter masa awal.
Karya-karya original ditulis dalam bahasa Arab
oleh Hunayn. Beberapa risalah yang ditulisnya, diantaranya al-Masail fi al-Tibb
lil-Mutaallimin (masalah kedokteran bagi para pelajar) dan Kitab al-Asyr
Maqalat fi al-Ayn (sepuluh risalah tentang mata). Karya tersebut berpengaruh dan sangat
inovatif, walaupun sangat sedikit
memaparkan observasi baru. Karya yang paling terkenal dalam periode awal ini
disusun oleh Ali Ibn Sahl Rabban al-Tabari (783-858), Firdaws al-Hikmah. Dengan
mengadopsi satu pendekatan kritis yang memungkinkan pembaca memilih dari
beragam praktek, karya ini merupakan karya kedokteran Arab komprehensif pertama
yang mengintegrasikan dan memuat berbagai tradisi kedokteran waktu itu.
Perkembangan tradisi dan keberagaman yang
nampak pada kedokteran Arab pertama, dikatan John dapat dilacak sampai pada
warisan Helenistik. Dari pada khazanah kedokteran India. walaupun keilmuan
kedokteran India kurang terlalu mendapat perhatian, tidak menafikan adanya
sumber dan praktek berharga yang dapat dipelajari. Warisan ilmiah Yunani
menjadi dominan, khususnya helenistik, John Esposito mengatakan “satu kesadaran
atas (perlunya) lebih dari satu tradisi mendorong untuk pendekatan kritis dan
selektif “.[4] Seperti dalam sains Arab awal.
2. Masa Kejayaan
Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia
kedokteran Islam berkembang begitu pesat. Sejumlah RS (RS) besar berdiri. Pada
masa kejayaan Islam, RS tak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan
pengobatan para pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter
baru. Tak heran, bila penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah
menghasilkan ilmu medis baru. Era kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan
sejumlah dokter terkemuka dan berpengaruh di dunia kedokteran, hingga sekarang.
`'Islam banyak memberi kontribusi pada pengembangan ilmu kedokteran,'' papar
Ezzat Abouleish[5].
Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah
tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd,
Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon. Al-Razi (841-926 M) dikenal di Barat dengan nama
Razes. Ia pernah menjadi dokter istana Pangerang Abu Saleh Al-Mansur, penguasa
Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi dokter kepala di RS Baghdad dan
dokter pribadi khalifah. Buku kedokteran yang dihasilkannya berjudul
“Al-Mansuri” (Liber Al-Mansofis) dan “Al-Hawi”.
Tokoh kedokteran lainnya adalah Al-Zahrawi
(930-1013 M) atau dikenal di Barat Abulcasis. Dia adalah ahli bedah terkemuka
di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di Universitas Cordoba. Dia menjadi
dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman III. Sebagain besar hidupnya
didedikasikan untuk menulis buku-buku kedokteran dan khususnya masalah bedah.
Salah satu dari empat buku kedokteran yang ditulisnya
berjudul, 'Al-Tastif Liman Ajiz'an Al-Ta'lif' - ensiklopedia ilmu bedah terbaik
pada abad pertengahan. Buku itu digunakan di Eropa hingga abad ke-17.
Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk mengendalikan pendarahan. Dia juga
menggunakan alkohol dan lilin untuk mengentikan pendarahan dari tengkorak
selama membedah tengkorak. Al-Zahrawi juga menulis buku tentang tentang operasi
gigi.
Dokter Muslim yang juga sangat termasyhur
adalah Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M). Salah satu kitab kedokteran fenomela
yang berhasil ditulisnya adalah Al-Qanon fi Al- Tibb atau Canon of Medicine.
Kitab itu menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang berisi
satu juta kata. Hingga abad ke-17, kitab itu masih menjadi referensi sekolah
kedokteran di Eropa.
Tokoh kedokteran era keemasan Islam adalah
Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M). Dokter kelahiran Granada, Spanyol itu
sangat dikagumi sarjana di di Eropa. Kontribusinya dalam dunia kedokteran
tercantum dalam karyanya berjudul 'Al- Kulliyat fi Al-Tibb' (Colliyet). Buku
itu berisi rangkuman ilmu kedokteran. Buku kedokteran lainnya berjudul
'Al-Taisir' mengupas praktik-praktik kedokteran.
Nama dokter Muslim lainnya yang termasyhur
adalah Ibnu El-Nafis (1208 - 1288 M). Ia terlahir di awal era meredupnya
perkembangan kedokteran Islam. Ibnu El-Nafis sempat menjadi kepala RS
Al-Mansuri di Kairo. Sejumlah buku kedokteran ditulisnya, salahsatunya yang
tekenal adalah 'Mujaz Al-Qanun'. Buku itu berisi kritik dan penambahan atas
kitab yang ditulis Ibnu Sina. Beberapa nama dokter Muslim terkemuka yang juga
mengembangkan ilmu kedokteran antara lain; Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang dokter
yang terkemuka di Spanyol; Ibnu Tufails tabib yang hidup sekitar tahun
1100-1185 M; dan Al-Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi tumbuh-tumbuhan dari
Spanyol dan Afrika.
Setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang
dikembangkan sarjana-sarjana Islam mengalami masa stagnasi. Perlahan kemudian
surut dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya era kejayaan Islam di abad
pertengahan. sampai disini, penulis tidak akan menjelaskan nasib Ilmu
kedokteran masa kemunduran Islam. Karena sudah jelas Peradaban Islam mengalami
kematian. Oleh karena itu, dalam sub-bab selanjutnya penulis akan terus
menulusuri warisan-warisan peradaban Islam berkaitan dengan bidang ini. Karena
banyak sekali warisan peradaban Islam dalam bidang kedokteran, baik itu berupa
teori-teori pengobatan, lembaga-lembaga, beserta sistemnya.
C.
Warisan-Warisan Peradaban Islam Dalam Bidang Kedokteran
Era kejayaan Islam, kegiatan kedokteran
semakin maju pesat. Dokter-dokter Islam sangat berjasa dengan kontribusinya
pada dunia ilmu kedokteran. Hal ini dapat dilihat melalui penemuan-penemuan
mereka dalam menganilisis dan menemukan penyakit beserta obat penawarnya,
cara-cara pengobatan, institusi-intitusi pengobatan maupun pendidikan, serta
bangunan-bangunan lembaga tang berdiri kokoh hingga sekarang. Dibawah ini akan dipaparkan warisan-warisan
Islam yang dijelaskan diatas.
Penemuan-penemuan Islam Dalam Bidang Medis
1)
Urologi, Bakteriologi, Anesthesia, Surgery, Ophthamology, Psikoterapi
Salah satu penemuan Islam yang juga diungkap
oleh karya-karya Barat dalam bidang medis adalah Urologi. Urologi merupakan
cabang ilmu kedokteran yang khusus menangani tentang penyakit ginjal dan
saluran kemih serta alat reproduksi. Mengenai cabang ilmu ini ditulis dalam
kitab Prof. Rabie E Abdel-Halim, bertajuk Paediatric Urology 1000 Years Ago.
Dikitab ini disebutkan keberhasilan dunia kedokteran muslim pada seratus tahun
seribu tahun silam dalm bidang Urologi.
Dalam ilmu Urologi dikaji oleh empat dokter
Islam dalam karyanya masing-masing. Kitab keempat dokter tersebut ialah Kitab
al-Hawi fi al-Tibb karya al-Razi, Risalah fi Siyasat as-Sibian wa- Tadbirihim,
karya Ibnu al-Jazzar, kitab at-Tasrif li-man ‘Ajiza ‘an at-Ta’lif, karya
Al-Zahrawi, dan Al-Qanun fi at-TIbb, karya Ibnu Sina. Dalam Urologi ini, mereka
membahas dan menganalisis penyakit ginjal dan yang lainnya dengan gejala-gejal
yang timbul tentunya. Mereka berhasil mengembangkan warisan-warisan ilmu medis
YUnani dan menciptakan penemuan baru.
Cabang-cabang Ilmu kedokteran yang tidak bias saya jelaskan semuanya dari ilmuwan Islam, diantaranya Anesthesia,
Surgery, Ophthamology, Psikoterapi. Bakteriologi, Ilmu yang mempelajari
kehidupan dan klasifikasi bakteri. Dokter Muslim yang banyak memberi perhatian
pada bidang ini adalah Al-Razi serta Ibnu Sina. Anesthesia, suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Ibnu Sina tokoh yang memulai
mengulirkan ide menggunakan anestesi oral. Ia mengakui opium sebagai peredam
rasa sakit yang sangat manjur.
Surgery, Bedah atau pembedahan adalah adalah
spesialisasi dalam kedokteran yang mengobati penyakit atau luka dengan operasi
manual dan instrumen. Dokter Islam yang berperan dalam bedah adalah Al-Razi dan
Abu al-Qasim Khalaf Ibn Abbas Al-Zahrawi. Ophthamology, cabang kedokteran yang
berhubungan dengan penyakit dan bedah syaraf mata, otak serta pendengaran. Dokter
Muslim yang banyak memberi kontribusi pada Ophtamology adalah lbnu Al-Haytham
(965-1039 M).
Selain itu, Ammar bin Ali dari Mosul juga ikut
mencurahkan kontribusinya. Jasa mereka masih terasa hingga abad 19 M.
Psikoterapi, serangkaian metode berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang digunakan
untuk mengatasi gangguan kejiwaan atau mental seseorang. Dokter Muslim yang
menerapkan psikoterapi adalah Al-Razi serta Ibnu Sina.[6]
2) Aneka Metode Terapi dalam Medis Islam
Kometerapi, Krometerapi, Hirudoterapi
Kometerapi adalah metode peratan penyakit
dengan menggunakan zat kimia untuk membunuh sel penyakit kangker. Perawatan ini
berguna untuk menghambat kerja sel. Dalam penggunaan modernnya, istilah ini
merujuk kepada obat antineoplastik yang digunakan untuk melawan kangker.
Kometerapi pertama kali dikenalkan oleh dokter legendaris muslim, Al-Razi.
Al-Razi merupakan dokter pertama yang memperkenalkan penggunaan zat-zat kimia
dan obat-obatan dalam penyembuhan. Zat-zat itu meliputi belerang, tembaga,
merkuri, garam arsenik, sal ammoniac, gold scoria, ter, aspal dan alcohol.
Krometerapi merupakan metode perawatan
penyakit dengan menggunakan warna-warna. Terapi ini merupakan terapi suportif
yang dapat mendukung terapi utama. Menurut praktisi krometerapi, penyebab dari
beberapa panyakit dapat diketahui dari pengurangan warna-warna tertentu dari
system dalam menusia. Terapi ini dikembangkan oleh Ibnu Sina. Ia mampu
menggunakan warna sebagai salah satu bagian paling penting dalam mendiagnosa
dan perawatan. Seperti yang telah ia ungkapkan dalam kitabnya, The Canon of
Medicane, “warna merupakan gejala yang nampak dalam penyakit”.[7]
Hirudoterapi merupakan terapi penyembuhan
penyakit dengan menggunakan pacet/lintah sebagai obat untuk tujuan pengobatan.
Metode terapi ini juga diperkanalkan oleh Ibnu Sina dalam karya yang sama. Tapi
dalam kemajuannya, pengobatan dengan lintah inidiperkenalkan lagi oleh
Abdel-Latief pada abad ke-12 M[8]. yang kurang lebih menulis bahwa lintah dapat
digunakan untuk membersihkan jaringan penyakit setelah operasi pembedahan.
Metode-metode ini banyak disadur dan
dikembangkan dalam dunia modern. Hingga istilah dan penyebutannya pun berbeda.
Misalnya, kometerepi, di dunia modern bisa digunakan kombinasi sitostika dan
disebut regimen kometerapi. Padahal sebelumnya penggunaan kometerapi digunakan
satu jenis saja. Kometerapi pertama modern adalah asrsphenamine karya Paul
Ehrlich, sebuah Arsenic komplel ditemukan pada tahun1909 dan digunakan untuk
merawat sipilis[9]. Dan tentunya masih banyak lagi metode terapi atau cara
pengobatan lain dari khaazanah ilmu kedokteran Islam.
Institusi-Institusi dan Sistemnya
1.
Pendidikan
Abad ke-12 dan ke-13 gelombang besar melanda
aktivitas kedokteran, ketika para dokter dari seluruh dunia Muslim mengejar
karir institusi medis di Damaskus dan Kairo. Karena sudah banyak Rumah Sakit
yang didirikan dan memerlukan lebih banyak dokter dalam pengoprasiaanya.
Rujukan pertama dalam mendapatkan ilmu kedokteran adalah Institusi pendidikan
seperti madrasah (sekolahan).
Di Damaskus abad ke-13, Muhadzadzab al-Din
al-Dakhwar membuat sebuah sekolahan dalam rangka pengajaran kedokteran
eksklusif.[10] Sekolah tersebut disambut gembira oleh pemimpin otoritas
keagamaan kota tersebut. Ada yang mengatakan, sekolah kedokteran pertama yang
dibangun umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah Al-Mansur dari Dinasti
Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai
dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang diajarkan di Jindi
Shapur sangat serius dan sistematik.
Pendirian Madrasah sebagai lembaga pendidikan
yang tidak hanya mempelajari bidang keagamaan, mulai gencar pada abad ke-14
pada era Usmaniah hingga Sultan Muhammad berkuasa. Madrasah tersebut banyak
mencetak yang tidak hanya ulama’, tapi seorang ilmuwan. Dokter-dokter pun
banyak terlahir dalam pendidikan ini. Pendidikan era Usmani ini, mempunyai
konsep dan metode khusus dalam mendidik
tenaga medis, selain sudah memiliki tabib, yang dikenal spesialis penyakit pada
era itu.
Ternyata dalam era Usmani, pendidikan
kedokteran tidak hanya dilakukan di gedung sekolahan, tapi juga di sebuah Rumah
Sakit yang memang ada khusus tempat didik calon dokter. Bedanya dengan madraah,
di RS tidak hanya diajari teori-teori seputar kedokteran, tapi juga praktek medis
langsung. Sedangkan Madrasah lebih banyak mempelajari seluk beluk kedokteran
secara teoritis.
2.
Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan salah satu prestasi
institusional terbesar masyarakat Islam abad pertengahan. Antara abad ke-9 dan
ke-10 lima RS dibangun di Baghdad. Rumah sakit paling terkenal adalah RS Adudi
yang dibangun di bawah pemerintahan Buyudiyah pada tahun 982. Setelah periode
ini jumlah RS meningkat signifikan. Ketika institusi terkenal seperti RS Nuri
di Damaskus (abad ke-12), dan RS al-Mansuri di Kairo (abad ke-13) dibangun
bersamaan dengan RS lain di Qayrawan, Mekkah, Madinah, dan Rayy. [11]
Institusi-intitusi medis terbuka bagi semua
orang yang memerlukan pengobatan atau obat. Tidak memandang gender, ras, kelas,
orang miskin atau kaya, agama. Perawatan medis bergerak secara bergilir ke
pelosok-pelosok desa dan juga melayani pengobatan para narapidana. System
peraturan dan menageman RS juga telah
diterapkan. Dengan adanya pemisahan antara pasien wanita dan laki-laki, jadwal
kerja para dokter, terdapat seorang administrator kepala, seorang kepala setaf
yang juga memiliki wewenang menjalankan operasi medis.
Beberapa RS tersedia tempat pendidikan,
perpustakaan dan juga ruang-ruang khusus operasi atau pembedahan. Regulasi yang
telah terorganisasikan secara sistematis, juga didukung dengan sarana-sarana
lainnya. Seperti Muhtasib (supervisor pasar) yang merupakan pegawai public,
berwenang untuk memberikan perlindungan melawan praktek curang. Manual hisbah
(supervise pasar), disusun untuk menjelaskan kewajiban muhtasib.
Dalam RS lebih maju terdapat berbagai
fasilitas seperti apa yang telah dijelaskan. Termasuk apotek (toko obat) khusus
untuk melayani pembelian obat masyarakat umum. Berbicara mengenai apotek, Islam
juga mewarisi apotek-apotek yang dibangun oleh apoteker Islam zaman dulu.
Sharif Kaf al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk The Valueble contributions of
Al-Razi in the History of pharmacy during the middle Ages, mengungkapkan,
apotek pertama di dunia berdiri di kota Baghdad pada tahun 754 M. Saat itu
Baghdad sudah menjadi Ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah.[12]
Selain itu, peradaban Islam juga merupakan
pendiri sekolah farmasi pertama. Dengan berkembangnya ilmu farmasi yang begitu
cepat membuat apotek atau toko-toko obat tumbuh berdiri di kota-kota Islam.
Hampir di setiap RS besar dilengkapi dengan apotek instalasi farmakologi.
Bahkan di era Abbasyiah, para ahli-ahli obat mempunyai apotek sendiri
dirumahnya dan menggunakan keahliannya untuk meracik, menyimpan aneka
obat-obatan sendiri. Pemerintah Islam juga mendukung pembangunan dibidang
farmasi, dengan tujuan adanya selektifikasi atau ketelitian dalam obat.
Secara
bersamaan, praktek sosial medis ini menjadikan kedokteran Islam berada pada
satu tingkatan yang tak terprediksikan dalam sejarah yang selanjutnya memberi
kontribusi pada perkembangan tradisi medis Timur maupun Barat.
Etika Kedokteran
Dalam praktek pengobatan dan perawatan pada
pasien perlu diterapkan etika. Para dokter harus memiliki sikap tersebut dalam
menjalankan profesinya itu. Karena itu sangat berpengaruh pada keberhasilannya
dalam menyembuhkan pasien. Selain sikap itu khusus untuk menjaga nama baik atau
keprofesionalan seorang dokter, sikap-sikap etis dokter juga berkaitan dengan
psikologi pasien. Bagaimana seorang dokter mampu menciptakan suasana,
menciptakan rasa percaya diri untuk sembuh dan sebagainya.
Profesi dokter yang disandang seseorang, sangat terhomat di mata pasiennya.
Oleh karena itu untuk menjaga kehormatan, nama baik maupun keharmonisan antara
dokter dan pasiennya, perlu diterapkan sikap-sikap etis yang diemban para
dokter. Berangkat dari situ, tradisi kedoteran para era kejayaan Islam
menetapkan peraturan atau kode etik harus diemban oleh para dokter. Hingga era
kekhalifahan Usmani peraturan berjalan sangat ketat. Para dokter muslim
diwajibkan memegang teguh etika kedokteran dalam mengobati pasiennya.
Akdeniz (sari) N mengatakan dalam karyanya,
Osmanlilarda Hekim ve Hekimlik Ahlaki (Dokter Ottoman dan Etika Kedokteran),
“setiap dokter harus mematuhi etika kedokteran dalam setiap tindakannya”.[13]
Menurut is secara garis besar ada empat hal yang harus dipegang teguh oleh para
dokter di era kekhalifahan Turki Usmani, yaitu kesederhanaan/kesopanan,
kepuasan,harapan dan kesetiaan. Akdeniz juga berpendapat berdasarkan catatan
para tokoh di zaman Turki Usmani, etika kedokteran mengatur dokter saat
berinteraksi dengan pasiennya.
Nilai kesopanan dalam kutipan Akdeniz,
tercermin dari sikap seorang dokter bijak abad 16 M zaman Turki Usmani yang
bernama Nidai. Nidai menasehati pasiennya ketika memuji dirinya setelah
berhasil menyembuhkan, bahwa Allah-lah yang sebenarnya menyembuhkan. Nilai
kesetiaan disarankan dokter terkemuka era Turki, Vesim Abbas bahwa dokter harus
setia dengan pasien dalam pengobatannya walaupun pasien bertindak tidak baik.
Dalam nilai kepuasan ia juga menuturkan bahwa
seorang dokter harus merasa puas terhadap keberhasilannya mengobati dan
menyembuhkan pasien tanpa ambisi mendapatkan uang. Begitu juga rasa optimisme,
seorang dokter tidak boleh menyebabkan pasiennya mengalami keputusasaan.
Seperti yang diajarkan dokter abad 15 M, Ibnu Shareef, dokter harus
mengembangkan dan menumbuhkan rasa optimisme para pasiennya. Bahkan tidak boleh
memberitahukan terkait kematiannya.
Tapi dalam karyanya, “Tip Deontolojisi” Prof.
Nil tampaknya menunjukkan kesayanga. Menurut Prof. Nil dizan modern ini, telah
terjadi perubahan yang begitu besar. Akibat pesatnya perkembangan pengetahuan
dan teknologi medis.[14] Akibatnya nilai-niai moral yang dipegang teguh dokter mulai
terkikis dan tergantikan dengan nilai-nilai baru. Berbeda dengan ungkapan
Beauchamp LT dalamkarya Childress FJ: Principless of Biomedical Ethics, pada
abad ke-20 M, kemajuan besar telah dicapai dibidang studi etika medis. Etika
medis saat ini terkonsentrasi pada pemecahan pilihan moral sesuai dengan
prinsip-prinsip etika dan peraturannya.[15]
BAB III
AL-Razi dan Ibnu Shina; Analisis Pemikiran
& Komparasi antara Keduanya
Menelusuri kembali kelahiran dan perkembangan
ilmu kedokteran Islam, tidak mungkin kita lewatkan para tokoh yang sangat
berperan dalam meletakan karya dan ilmunya, khususnya dalam bidang kedokteran.
Al-Razi dan Ibnu Sina adalah tokoh penting yang karya-karyanya paling
berpegaruh di dunia. Para tokoh dan
dokter di dunia tidak melewatkan literatur dari keduanya sebagai acuan dasar
dalam keilmuan.
Sebenarnya ada banyak dokter Islam lainnya
yang tidak kalah penting dari karya dan penemuannya dalam bidang medis. Dengan
kedua tokoh tersebut, penulis tidak hanya menunjukkan karya dan kontribusinya
yang di kenal dunia. Tapi lebih melihat perbedaan titik poin atau kefokusan
penelitian keilmuan medis antara keduanya.
A.
AL-RAZI
Dunia keilmuan, khususnya kedokteran modern,
harus mengakui peran dan gagasan tokoh Islam yang satu ini. Selain seperti yang
kita kenal, Ibnu Shina yang merupakan perintis awal Ilmu kedokteran. Dia adalah
Muhammad bin Zakaria Al-Razi, atau lebih dikenal dengan nama Al-Razi. Menempati
bidang ini pada usia yang dapat dibilang sudah tidak muda lagi.
Ia lahir di Rayy, dekat Teheran, Iran, pada
tahun 846 M. (w. dikota yang sama pada tahun 925 M).[16] Al-Razi yang bernama
lengkap Abu Bakar Muhammad Zakaria al-Razi sebagai seorang pribadi atau
pemikir, dia sangat disegani dan dihormati kalangan sarjana barat. Seperti A.J. Aberry, yang menulis pengantar
dalam buku Al-Razi, The Spiritual Physic of Rhazes (penyembuhan rohani).
Walaupun sudah menginjak usia tua, ketekunannya dalam bidang kedokeran
menghasilkan karya-karya sangat monumental. Humayun bin Ishaq adalah gurunya di
Baghdad.
Dengan karya-karya yang dihasilkan dalam
bidang kedokteran, pengabdian dan kejeniusan al-Razi diakui oleh Barat. Banyak
ilmuan Barat menyebutnya sebagai pionir terbesar dunia Islam dibidang
kedokteran. “Razhes merupakan tabib terbesar dunia Islam, dan satu yang
terbesar sepanjang sejarah”, jelas Max Mayerhof. Sementara sejarawan barat
terkenal, George Sarnton, mengomentari al-Razi , “AL-Razi dari Persia, dia juga
kimiawan dan fisikawan. Dia bisa dinyatakan salah seorang salah seorang
perintis latrokimia zaman renaisans,,,maju dibidang teori, dia memadukan
pengetahuannya yang luas melalui kebijaksanaan Hippokratis”.[17]
Dalam karyanya, Al-Mansuri” (Liber
Al-Mansofis) Ia menyoroti tiga aspek penting dalam kedokteran, antara lain;
kesehatan publik, pengobatan preventif, dan perawatan penyakit khusus. Bukunya
yang lain berjudul 'Al-Murshid'. Dalam buku itu, Al-Razi mengupas tentang
pengobatan berbagai penyakit. Buku lainnya adalah 'Al-Hawi'. Buku yang terdiri
dari 22 volume itu menjadi salah satu rujukan sekolah kedokteran di Paris. Dia
juga menulis tentang pengobatan cacar dan cacar air dalam Kitab fil al-Jadari
wal-Hasba yang merupakan catatan pertama tentang metode diagnosis dan perawatan
atas dua penyakit dan gejal-gejalanya.
B.
IBNU SINA
Dunia Islam memanggilnya Ibnu Sina, tapi
kalangan Barat menyebutnya dengan panggilan Avicenna. Ia merupakan seorang
ilmuan, filsuf dan dokter pada abad ke-10. Selain itu dia juga dikenal dengan
penulis yang produktif. Dan sebagian banyak tulisannya berisi tentang filsafat
dan pengobatan. Karya-karyanya membanjiri literatur modern dan mengilhami
karya-karya pemikir barat. Abu Ali Al-Hussain bin Abdullah bin Sina lahir di
Afshana, dekat kota Bukhara, Uzbeskiztan pada tahun 981 M. Kecerdasannya
ditunjukkan pada usia 17 tahun, dengan tingkat kejeniusan yang sangat tinggi
dia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada pada saat itu dan melebihi
siapun juga. Karena kecerdasannya itu dia diangkat sebagai konsultan
dokter-dokter praktisi.
Pengaruh pemikiran dan telaahnya di bidang
kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa.
Berbicara tentang karya-karyanya, tulisannya mencapai 250 karya. Baik dalam
bentuk risalah maupun buku. Karyanya bayak dijadikan rujukan dalam bidang
kedokteran oleh banyak kalangan pemikir. Diantaranya Qanun fi Thib, dalam buku
ini berisi tentang bagaimana cara penyembuhan dan obat-obatan. Dalam dunia
Barat kitab ini diterjemahkan dengan nama The Canon of Madicine. Dan ada pula
yang menyebutnya Ensiklopedia pengobatan.
Asy-Syifa, dalam buku ini berisi menganai berbagai jenis penyakit,
obatnya dan sekaligus cara pengobatannya berkaitan dengan penyakit
bersangkutan.
C.
Analisis & Komparasi Metode Dasar antara Al-Razi dan Ibnu Sina Dalam
Ilmu Kedokteran
Sebelum membandingkan kedua pemikiran tokoh
tersebut, perlu dijelaskan bagaimana landasan pengobatan menentukan adanya
gejala penyakit sehingga bidang medis menjadi sebuah ilmu yang terstruktur.
Yang nantinya menjadi dasar pemikiran kedua tokoh tersebut. Kembali pada Abad
kesembilan atau tepatnya pada akhir abad kesembilan, tradisi kedokteran Islam
berkembang pesat. Hal itu ditandai dengan terintegrasinya sistem patologi[18]
jenaka (humoral) dari Galen dalam kedokteran Islam. Patologi Humoral didasarkan
pada empat gagasan humor (darah, lendir, empedu biru, dan empedu hitam) dan
kaitannya dengan empat elemen (udara, air, api dan tanah), juga pada empat
kualitas (panas, basah, dingin, kering).
Keseimbangan humor dan kualitas ini menentukan
kesehatan, karena itu, ketidak seimbangan dianggap sebagai sebab timbulnya
penyakit. Inilah titik sebab kenapa perawatan dan pengobatan itu dilakukan,
agar dapat membangun atau memelihara kembali keseimbangan kondisi tubuh yang
kacau (sakit). Artinya internal tubuh didapat dalam keadaan baik sebagaimana
fungsinya dan tentunya harus didukung kondisi atau cuaca lingkungan yang
kondisif. Melalui penggunaan jenis-jenis makanan, obat-obat tertentu dan
melalui pengeluaran darah kotor serta pencahar (obat cuci perut).
Sistem yang menjelaskan ilmu kedokteran ini,
telah didasari dengan tingkat argumentasi logis tertentu. Didukung dengan
observasi medis untuk menentukan adanya penyakit yang hinggap dan memberikan
penawarnya (obat). Maka dari itu diskursus teoritis sangat ditekankan pada observasi
klinis, dan pertimbangan teoritis memainkan
peran utama dalam strukturisasi dan organisasi pengetahuan medis.
Artinya, penelitian atau pengamatan medis tidak hanya bergerak dalam ranah
teori atau wacana. Tapi juga harus didukung pengamatan empiris (klinis).
Kalau kedua dasar dalam membentuk sebuah ilmu
pengetahuan medis tersebut dapat dilakukan dengan dengan seimbang. Maka
kegiatan keilmuan akan menjadi sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan
sehingga dapat menjadi disiplin ilmu yang dapat diaplikasikan atau diamalkan.
Hal itulah yang dikembangkan ilmu kedokteran Islam dengan sistemisasi dan
rasionalisasi. Dimana yang pertama kali dilakukan adalah usaha untuk
mengorganisir bidang luas ilmu kedokteran dan semua cabangnya menjadi satu
struktur komprehensif dan logis.
Tapi sejarah mengatakan, dalam keilmuan medis
ada yang fokus pada pengkajian atau pengamatan klinis dalam membangun
keilmuannya. Dengan menekankan pada kedokteran klinis atau kedokteran kasus
dalam prosedur perawatannya. Representasi yang cukup mewakili dalam penggunaan
metode ini adalah Al-Razi. Dalam tulisan-tulisannya dapat dilihat bagaimana
al-Razi mengungkapkan kritikan terhadap teoritis atas ilmu kedokteran yang
diwarisinya. Dimana dia memfokuskan pada metode dan praktek.
Dalam karyanya yang lain, Al-Razi memberi
tekanan lebih besar pada diagnosis dan terapi observasional daripada diagnosis
teoritis atas sakit dan perawatannya. Metodenya ini dibuktikan dalam karyanya
yang berjudul Kitab fi al-Jadari
wal-Hasba (buku tentang cacar dan cacar air). Ketidak sepakatannya dengan
metode teoritis semakin jelas jika dilihat dari kitab terbesarnya, al-Hawi fi
al-Tibb. Karena kitab ini sudah jelas tidak diatur menurut paradigma teoritis
formal. Didalamnya berisi tentang ensiklopedi kedokteran klinis hasil observasi
al-Razi sendiri.
Dalam
keilmuan medisnya, baik dari karya kitab, risalah-risalah maupun metode
pengobatan , Al-Razi menggunakan klasifikasi ilmu kedoktran terapis, bukan
teoritis. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dasar perawatannya
mengandalkan hasil-hasil eksperimentasi. Seperti yang dikatakan John L.E.
“Al-Razi tidak melakukan perawatan berdasarkan kesimpulan logis; namun ia
melakukan apa yang sering mampu mengendalikan ekperimentasi”. Dan terakhir,
secara logis penulis mempunyai kesimpulkan sementara bahwa al-Razi menolak
metode teoritis (logis), kecuali sesuai, setelah dilakukan ekperimentasi
(pengamatan empiris).
Masih membahas metode dasar keilmuan medis
(kedokteran), Ibnu Sina mempunyai metode yang berbeda dari al-Razi dalam
melakukan kajian keilmuan medis. Ia lebih memfokuskan pada kajian teoritis, dan
melakukan sistematisasi ilmu kedokteran sebagai sebuah disiplin ilmu. Oleh
karena itu ia terkenal sebagai bapak kedokteran Islam, bahkan dunia. dalam
perjalanan intelektual Ibnu Sina, dalam hal ini bidang medis, ia melakukan
kajian ulang terhadap warisan-warisan karya medis.
Hal itu dimenivestasikan dalam karya
monumentalnya, al-Qanun fil al-Tibb (kanon kedokteran). Magnum opusnya al-Qanun
ditulis dengan maksud membuat karya kanonis definitif mengenai kedokteran, yang
sangat komprehensif sekaligus teoritis.[19]
Semua refleksi teoritis dan sistematis atas karya-karya sebelumnya
tercover dalam buku ini. Berawal dari anatomi, kemudia fisiologi, patologi dan
akhirnya terapi. Walaupun dia juga melakukan observasi, kegiatannya ini
terbilang lemah atau tidak fokus dilakukan.
Corak teoritis dalam karya kedokterannya, bisa
dibilang terpengaruh dengan pemikirannya dalam bidang filsafat yang tak lepas
dari pengaruh Aristoteles. Dimana ia lebih menekankan pada pendekatan logis
sistematis. Sistem ilmu kedoteran yang disusun olehnya, menghasilkan koherensi
dari aplikasi kontinyu dengan memegang prinsip logis dan teoritis. Kekhasan
karya-karya Ibnu Sina dapat merubah tradisi ilmu kedokteran Islam yang
mengutamakan praktek dalam pengobatan. Yang tidak melihat relevansinya terhadap
kajian teoritis.
Jika dilhat lagi keidealan ilmu pengetahuan
yang terungkap dalam paragraf-paragraf pertama, kedua pemikiran antara al-Razi
dan Ibnu Sina dapat digabungkan menjadi disiplin Ilmu kedokteran yang kuat.
Walaupun Ibnu Sina mendapat penghargaan atas disiplin Ilmu kedokteran, namun ia
lemah dalam pengamatan empiris. Tapi tidak lantas dapat disimpulkan keduanya
menolak pendekatan teoritis atau observatif. Hanya saja titik perhatiannya
terfokus salah satu metode yaitu antara obserfatif dan teoritis logis.
Al-Razi tidak menolak kesimpulan logis dalam
ilmu medis, tapi menerima dengan syarat melakukan ekperimentasi lebih dulu.
Sedangkan Ibnu Sina tidak juga menolak metode observatif atau klinis, bahkan
dia melakukannya. Tapi hanya saja, pusat perhatiannya lebih pada logis
teoritis. Pemikiran kedua tokoh kedokteran tersebut mempunyai kekhasan
tersendiri. Oleh karena itu metode keduanya dapat memberi masukan satu sama
lain. Sebagai contoh, pengamatan medis secara Al-lRazi sebagai dasar
perawatannya dapat diperkuat dengan diskursus teoritis logia ala Ibnu Sina.
BAB IV
Penutup
Dari penjelasan yang panjang lebar di atas,
mengenai tema Ilmu Kedokteran dalam Islam dapat diambil kesimpulan bahwa Khazanah
Pengetahuan Islam dalam bidang kedokteran sangat kaya dan luas. Hal itu dapat
dilihat dari karya-karya para tokoh kedokteran Islam. Saksi sejarah yang lain
juga terlihat pada bangunan-bangunan Institusi kedokteran atau rumah sakit,
apotek dan institusi yang lain.
Wearisan-warisan Islam dalam bidang kedokteran
tersebut tidak hanya menjadi kenangan masa lampau. Tapi lewat karya
dokter-dokter Islam, para ilmuwan Timur maupun Barat dapat menguras habis
teori-teori atau metode pengobatan dan analisis berbagai penyakit beserta
obatnya. Dengan begitu literature-literatur Islam dalam ilmu medis dapat
mengilhami banyak ilmuwan atau dokter dunia.
Al-Razi dan Ibnu Sina adalah salah satu dari
sekian banyak dokter Islam yang menurut penulis paling berpengaruh dalam keilmuan
ini. Dimana dapat dilihat penjelasan di atas, khazanah pemikiran dan
kontribusinya sangat luas dan kaya.
Dengan dasar kekhasan pemikiran kedua tokoh tersebut penulis menempatkan bab
khusus untuk membanding metode atau titik fokus dalam kegiatan kedokterannya.
Dan didapatkan suatu keharmonisan yang saling melengkapi jika metode-metode
tersebut dikaji dan diaplikasikan dengan tetap memagang prinsib keseimbangan.
Hal itu sudah terwujud dengan melihat
perkembangan kedokteran sekarang. Seperti, cara pengobatan yang sudah maju,
penemua penawar (obat) bagi penyakit-penyakit, adanya dokter-dokter profesional
dan sebagainya. Dengan ini semua seharusnya Islam tidak hanya berbangga diri
tapi dijadikan suatu cambukkan untuk terus semangat, kreeatif dan berkerja
keras dalam mengambangkan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUST Images Obat AKA
Esposito, L. John.Sains-Sains Islam.
Terjemahan oleh M. Khoirul Anam.2004. Jakarta: Inisiasi Press.
Sucipto, Hery.2003. Ensiklopedi Tokoh Islam, dari
Abu Bakar sampai Nasr dan Qardhawi. Jakarta: Penerbit Hikmah.
Seyyed Hossein, Oliver Leaman.2003.
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Bandung: Mizan.
“Ibnu Sina Bapak Kedokteran Dunia”, REPUBLIKA,
15 Juli 2009.
“Al-Razi, Pencetus Kemoterapi”, __________.
16 Juni 2009.
“Pendidikan Kedokteran di Era Turki Usman”,
_________. 2 Juni 2009.
“Etika Kedokteran di Era Turki Usmani”,
___________ . 16 Juni 2009.
“KEMOTERAP, Terapi Penyembuhan Kanker Warisan
Islam”,_____________ 20 Mei 2009.
John L. Esposito, Sains-Sains
Islam,.(terjmh). Jakarta: Inisiasi Press 2004. hal.67.
“KOMETERAP, terapi penyembuhan kangker
warisan Islam”, REPUBLIKA.
John L. Esposito, Sains-Sains
Islam,.(terjmh). Jakarta: Inisiasi Press 2004. hal.77.
“Ilmuan Muslim Penopang Apotek”
REPUBLIKA. 18 Juli 2009.
“Etika Kedokeran di Era Turki
Usman”,REPUBLIKA. 15 Juli 2009.
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam,
dari Abu Bakar sampai Nasr dan Qardhawi. (Jakarta: Hikmah 2003). Hal.123.
“cabang bidang kedokteran yang berkaitan
dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi
atau keadaan bagian tubuh”.
John L. Esposito, Sains-Sains
Islam,.(terjmh). Jakarta: Inisiasi Press 2004. hal.72.
Post a Comment
Post a Comment