KPK menetapkan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah sebagai tersangka OTT Gubernur Sulaw…
KISAH PARA FILSUF ISLAM : IBNU QAYYIM
(Kisah Para FILSUF ISLAM : Bagian 1 : IBNU QAYYIM)
Nama lengkap Ibnu Qoyyim adalah Muhammad bin
Abu Bakar bin Said bin Hariz Azzar'ie. Ia berasal dari Damsyik. Nama julukannya
adalah syamsuddin. Nama sehari- harinya ia dipanggil "Abu Abdullah".
Mengapa ia dipanggil Ibnu Qoyyim? Padahal
dilihat dari nama sebenarnya ia tidak ada kaitan dengan nama Qoyyim.
Persoalannya, ayahnya adalah seorang pendiri dan pengasuh perguruan
"Al-Jauziyah"n, daerah pasar gandum di kota Damsyik. Karena bapaknya
adalah pendiri (qoyyim) perguruan tersebut, maka ia dipanggil dengan "Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah". Tapi singkatnya ia dipanggil "Ibnu Qoyyim".
Ibnu Qoyyim dilahirkan di kota Damsyik
(sekarang Damaskus) tahun 691 H (1292 M). Ia dibesarkan dalam keluarga ilmuwan.
Kondisi askripsi ini dilimpahkan pada Ibnu Qoyyim, sehingga ia menjadi
terkenal, lantaran situasi ketika ia dilahirkan dan dibesarkan, kota Damsyik
tengah berada dalamkeadaan puncak peradaban ilmu pengetahuan. Dan ISlam
merupakan bagian yang sangat internalized dalam setiap individu maupun
masyarakatnya.
Ilmu pengetahuan dan peradaban Islam sangat
kental di kota Damsyik. Sehingga
lembaga-lembaga pendidikan atau
sekolah-sekolah bertebaran di mana-mana. Namun
Ibnu Qoyyim menjadikan ayahnya sebagai gurunya
langsung. Ia mendapat bimbingan dpengarahan dari ayahnya sendiri. Luas ilmu
yang dimiliki Ibnu Qoyyim karena sangat dipengaruhi oleh berbagai guru lain
yang menjadi ulama terkenal seperti: Ahmad Ibnu Taimiyah, Ibnu Syirazi, dan
lain-lain. Dengan demikian tidak mengherankan ia menjadi ulama yang kondang di
abad ke-8 hijriyah.
Fikiran-fikirannya sangat tajam dan cemerlang.
Keistiqomahan sangat tercermin dalam tulisan-tulisan dan sikapnya terhadap
fenomena-fenomena kemaksiatan yang ada. Ia melontarkan fikiranfiirannya
mengenai kemaksiatan dan dampak-dampaknya pada pribadi dan masyarakat.
Pertama: Karena berbuat maksiat, maka
seseorang akan terbiasa dengan kemaksiatan. Hal ini dapat dipahami dalam
masyarakat. Seseorang pada awalnya merasa aneh dengan kemaksiatan yang ada di
lingkungan. Kemudian, ia mencoba mencicipibuah terlarang (maksiat).
Lama-kelamaan akan terdorong untuk melakukan tindakan maksiat berikutnya.
akhirnya, tindakan coba-coba tersebut berakhir menjadi kebiasaan. Kemaksiatan
(kesenangan semu) ini menjadi kebiasaan karena peranan syetan yang idak
henti-hentinya mengganggumanusia untuk menjadi abdi mereka.
Kedua: Karena melakukan perbuatan maksiat,
seseorang kehilangan rasa malu. ras malu merupakan cerminan pribadi manusia.
Bila manusia sudah kehilangan rasa malu, pandangan, hati dan pendengarannya
seakan-akan tertutup dari kebenaran. Dengan demikian ketiadaan rasa malu pada
diri manusia digambarkan sebagai tanpa rasa. karsa dan karya yang bersifat
kemanusiaan.
Ibnu Qoyyim tida melepaskan dirinya dari
proses belajar dan mengjar (bima tu'allimu nal kitab wa bima kuntum tadrusun).
Ia mengajar di perguruan Al Jauziyah, milik ayahnya. Profesi gurunya ia tekuni
meskipun ia sudah menjadi ulama termasyhur dan disegani. Murid-muridnya banyak
sekali. Muridnya yang turut muncul ke permukaan anatar lain Ibnu Katsir.
Keulamaannya sangat tercermin dengan sikap hidupnya yang bisa menjadi teladan
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Begitu juga di sela-sela waktunya
sebagai pendidik dan tokoh refernsi keagamaan masyarakat, ia tidak melupakan
diri untuk mengkonstruksikan fikiran-fikirannya dalam bentuk buku.
Sejak kecil, Ibnu Qoyyim sudah nampak bakat
intelektualitas dan keulamaannya. Ia giat belajar, terbuka sifat pribadinya,
rendah hatinya, tenang penampilannya, disenangi sikap dan kearifan fikirannya
oleh masyarakat, tegar ucapannya walaupun harus menghadapi resiko. Sifat-sifat
tersebut terkumpul dalam perilaunya dan turut pula menshibghah kebudayaan dan
pengetahuan yang ada.
Kepribadian dan prilakunya yang menarik dan
menonjol tersebut lantaran ia begitu sulit melepaskan diri dari Qurän dan
Hadits. Setelah ia menghafal Al-Qurän secara sempurna, dilanjutkan dengan
menhafal Hadits. Ia pun m enjadikan sastra dan bahasa sebagai pusat
perhatiannya. Kompleksitas pengetahuan dalam dirinya didukung oleh manhaj yang
tertata dengan baik, tercermin dalam kajian, fikiran dalam buku-bukunya. ia
begitu sabar,
sistematik dan teliti uraiannya, pembahasannya
luas dan mendalam. Dengan demikian,
tulisannya terasa tersuguhkan dengan lengkap,
serasi dan berkesinambungan.
Karena itu, tidak mengherankan bila seorang
doktor dari Al Azhar yakni Al Ustadz Husaini Ali Ridwan membahas secara khusus
mengenai tulisan Ibnu Qoyyim. [Majalah Sabili No. 33 Tahun II Januari 1991]
Post a Comment
Post a Comment