KPK menetapkan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah sebagai tersangka OTT Gubernur Sulaw…
Pendidikan Nilai-Nilai dalam Al-Quran
Oleh : Dr H Shobahussurur MA
Ketua Masjid Agung Al-Azhar Jakarta
”Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepada, ”Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Bertubi-tubi masyarakat disuguhi adegan-adegan
dan sandiwara menjijikkan di negeri ini. Adegan itu diperankan oleh para
pejabat negara, tokoh masyarakat, dan orang-orang yang mestinya menjadi
panutan. Kita kecewa ketika menyaksikan para wakil rakyat yang terhormat itu
adu jotos, berkelahi, terlibat korupsi, dan main perempuan. Kita prihatin
menyaksikan para pejabat negara dan politisi yang semakin semangat melakukan
praktik-praktik penipuan. Para penegak hukum justru melanggar undang-undang dan
aturan-aturan yang dibuatnya sendiri.
Para intelektual cenderung menjadi “pelacur
intelektual” dengan menjual ilmu pengetahuan dan intelektualitasnya kepada
orang yang berani membayar mahal, meskipun harus melawan hati nurani, melanggar
etika profesi dan visi-misi luhurnya. Mereka disinyalir al-Quran sebagai
liyasytarû bihî tsamanan qalîlan (membelinya dengan harga murah, QS.
al-Baqarah: 79). Terjadi bisnis pendidikan secara besar-besaran tanpa
mengedepankan kepentingan bangsa yang masih rendah tingkat pendidikannya.
Akibatnya, banyak remaja, pelajar dan
mahasiswa terlibat tawuran, aksi kekerasan, pornografi, seks bebas, narkoba,
dan kenakalan remaja lainnya. Gejala broken home (kehancuran rumah tangga)
semakin tinggi di masyarakat. Hubungan suami-istri, orangtua-anak, menjadi
tidak harmonis, sehingga terjadi percecokan, perkelahian, bahkan berakhir pada
pembunuhan. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) marak terjadi di dalam keluarga
Indonesia. Penjualan dan penculikan anak kian marak dengan semakin kuatnya
sindikat perdagangan anak secara global.
Kegagalan Pendidikan Nilai
Fenomena di atas terjadi karena kegagalan kita
dalam menumbuhkembangkan pendidikan nilai di lingkungan keluarga, sekolah
maupun masyarakat. Kita seringkali menilai kesuksesan anak dalam pendidikan
dengan parameter nilai tinggi di sekolah, lantas lulus dengan nilai memuaskan,
segera mendapat pekerjaan, gaji besar, dan cepat menjadi kaya. Kita sering mengukur
kesuksesan secara pragmatis dan materialistik.
Secara kurikuler dalam dunia pendidikan,
mestinya rumusan outcome (kelulusan)-nya adalah terwujudnya pendidikan kâffah
(utuh), jasmani dan ruhani. Namun secara programatik – prosedural maupun
realita outcomes (lulusan)-nya bersifat parsial. Anak didik hampir tidak pernah
mendapatkan pendidikan secara kâffah. Target penyelesaian bahan ajar yang
konseptual teoritik–keilmuan/normatif atau struktural disipliner dan target
nilai angka (marking) atau NEM tinggi yang diiringi guru yang tidak profesional
dan asal-asalan melahirkan pendidikan dan pembelajaran parsial. Masalah potensi
ragawi dan nilai moral serta norma seringkali tidak diperhitungkan. Yang
terjadi kemudian adalah munculnya apa yang dikemukakan oleh Mc. Luhan (teori
pendulum), sebagai manusia yang memiliki otak cerdas, tapi emosinya tumpul.
Fenomena seperti ini tampak menggejala. Proses emoting–minding, spiritualizing,
valuing (menanamkan rasa, spiritualitas, dan nilai) kalah oleh proses thinking
and rationalizing (menanamkan berpikir dan rasionalisasi). Pembelajaran
berlandaskan nilai moral yang normatif, luhur, suci, religius, kalah oleh
pembelajaran theoretic–conceptual based (berdasarkan teori konseptual) dan
perhitungan untung rugi rasional–keilmuan dan atau yuridis formal.
Tujuan pendidikan yang sejatinya adalah dalam
rangka membentuk manusia seutuhnya, berubah menjadi sekadar ladang bisnis dan
industri yang melihat peserta didik dan wali siswa sebagai konsumen pasar yang
menjadi objek barang produknya. Hubungan guru dan murid menjadi hubungan
pedagang dan pembeli, sebuah hubungan untung rugi. Aktifitas kependidikan tak
ubahnya sekadar menjalankan roda hak dan kewajiban, dan tidak menyentuh rasa
kebersamaan menuju cita-cita bersama bagi terwujudnya izzul Islam wal muslimin
(kemajuan Islam dan umatnya).
Nilai-nilai itu tidak cukup hanya diajarkan di
lingkungan sekolah, rumah tangga dan masyarakat. Nilai-nilai itu mesti
diketahui (al-ta’âruf), disikapi (al-tadabbur), dipraktikkan (al-‘amal), dan kemudian
dilanggengkan (al-mudâwamah). Pendidikan nilai mestinya menjadikan peserta
didik mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jelek, mana prioritas mana
sekunder, mana yang membawa manfaat mana yang membawa mudharat dalam periku
sehari-hari.
Penghayatan terhadap nilai kejujuran artinya
seorang itu didorong untuk bersikap dan bertindak jujur kepada diri sendiri dan
orang lain. Dia membenci kemunafikan dan kepura-puraan dalam segala bentuknya.
Pendidikan nilai bertujuan untuk mengukir akhlak melalui proses
ma’rifatul-khair (knowing the good, mengetahui yang baik), hubbul khair (loving
the good, mencintai yang baik), dan ’amalul khair (acting the good,
melaksanakan yang baik), yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek
kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of
the mind, heart, and hands (kebiasaan pikiran, hati nurani, dan tangan).
Al-Quran dan Penanaman Nilai
Al-Quran memberikan dasar pendidikan nilai itu
dengan pertama kali menanamkan nilai keimanan kepada peserta didik. Penegasan
Luqmanul Hakim kepada anaknya, sebagaimana disinyalir dalam al-Quran Surat
Luqmân ayat 13: Lâ tusyrik billâh, innasy syirka lazhulmun ’azîm (jangan
menyekutukan Allah. Sesungguhnya menyekutukan Allah itu benar-benar tindak zalim
yang besar). Penanaman aqidah menjadi sangat penting untuk menciptakan pribadi
muslim yang teguh iman, tidak mudah digoyang oleh berbagai keyakinan, trend,
dan ajaran. Tauhid yang teguh, menjadikan setiap muslim menjadi kehidupan
dengan mantap, iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în (hanya kepada Engkau kami
menyembah, dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan) (QS. al-Fвtihah:
4). Sikap itu menumbuhkan perilaku totalitas ubudiyyah hanya kepada Allah,
hidup mati hanya untuk Allah. Tumbuh sikap keikhlasan berbuat semata untuk
Allah, tidak untuk mendapatkan sanjungan atau pujaan dari orang.
Al-Quran kemudian memberikan nilai ketaatan
sebagai hal penting dalam menjalani kehidupan. Undang-undang dan aturan-aturan
tanpa ketaatan menjadi sia-sia belaka. Struktur ketaatan itu dimulai dari
ketaatan kepada Allah. Mengikuti aturan dan hukum Allah menjadi mutlak tak
terbantahkan. Maka Syariah-Nya wajib dijalankan dan ditegakkan oleh setiap
muslim. Selanjutnya adalah ketaatan kepada Rasulullah SAW sebagai penerima ajaran
dari Allah dan yang menjelaskan makna-maknanya kepada seluruh ummat manusia.
Memang, ketaatan kepada manusia menjadi penting karena setiap orang membutuhkan
orang lain dan di dalam berhubungan itu ada komitmen dan aturan yang harus
ditaati. Namun ketaatan kepada manusia itu hanya berlaku ketika mereka mentaati
Allah dan Rasul-Nya. Itulah makna ketaatan kepada ulil amri (pemegang otoritas
kekuasaan) sebagaimana disebut dalam QS. al-Nisâ’: 59. Begitu pula ketaatan
kepada kedua orang tua, menjadi mutlak ketika mereka taat kepada Allah. Namun
ketika orang tua mengajak untuk menyekutukan Allah, sang anak tidak lagi
berkewajiban menaatinya. (QS. Luqmвn: 14-15).
Al-Quran menanamkan nilai kejujuran. Nilai itu
ditanamkan sedemikian rupa oleh Luqmanul Hakim kepada anaknya dengan membuat
perumpamaan bahwa jika ada suatu perbuatan seberat biji sawi, dan berada di
dalam batu, di langit, atau di dalam bumi, niscaya Allah membalas perbuatan
itu. (QS. Luqmвn: 26). Bila sebiji sawi itu adalah kebaikan maka akan dibalas
dengan kebaikan, tapi bila itu adalah kejelekan maka akan dibalas dengan
kejelekan pula. Penanaman nilai itu menjadi sangat penting agar tidak terjadi
kecurangan-kecurangan dalam perilaku kehidupan karena hakekatnya tidak ada yang
tersembunyi di hadapan Allah.
Al-Quran juga menanamkan nilai pengabdian
kepada Allah secara vertikal dalam bentuk komunikasi langsung berupa shalat,
maupun secara horizontal dalam bentuk saling ingat mengingatkan, menegur yang
bersalah, memerintah kepada kebaikan dan mencegah yang mungkar (QS. Luqmвn:
17). Jadi, semua aktifitas seorang muslim diarahkan kepada kesadaran akan
pengabdian kepada Allah, hingga yang bersifat duniawi pun sesungguhnya dalam
rangka pengabdian kepada-Nya. ”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
adalah semata untuk mengabdi kepada Tuhan sekalian alam.” (QS. al-An’âm: 162).
Al-Quran juga menanamkan nilai kewajaran,
tidak sombong dan congkak ketika berhasil mendapatkan prestasi tertentu.
Dilukiskan dalam pendidikan Luqmanul Hakim kepada anaknya sebagai ”Wa lâ
tusha’ir khaddaka linnâs wa lâ tamsyî fi al-ardhi marahâ
Post a Comment
Post a Comment